Jumat, 21 Januari 2011

Kesetimbangan


Maha Suci Allah yang mempergilirkan segala sesuatu dengan teramat seimbang. Memberikan kita dua pilihan hidup yang tanpa celah; bersyukur pada nikmat, atau bersabar saat takdir tak seindah harap.

Beberapa waktu yang lalu, saya mendapatkan kabar bahagia bertubi-tubi dari beberapa orang kakak yang baru saja melahirkan anak pertamanya. Mujahid-mujahid kecil yang kelak akan meneruskan perjuangan ayah dan bunda mereka. Juga dari tetangga dekat –yang juga masih kerabat, yang mendapat anugerah bayi kembar, Rauza-Razita yang hanya bisa dibedakan dari lesung pipitnya.

Bersamaan dengannya, saya juga mendengar beberapa kabar tentang kepergian orang-orang di sekitar. Kabar duka yang datang secara tiba-tiba dan sejenak menghentak kesadaran. Bahwa hidup memang bukan untuk selamanya.

Ya, kelahiran dan kematian terlihat seolah dipergilirkan. Kepergian satu jiwa untuk berpindah ke dimensi lain, diikuti dengan kedatangan jiwa lainnya yang disambut oleh riuh kemeriahan dunia. Semesta seolah mencari kesetimbangan dengan mengisi ruang kosong yang ditinggalkan. Layaknya reaksi kimia yang juga selalu melakukan hal yang sama. Bergeser kepada keadaan seimbang. Mungkin, memang demikianlah sunnatullah.

Sama seperti saat kita berpisah dengan seseorang, mungkin tak lama kemudian kita tertakdir untuk bertemu dengan orang baru dalam hidup kita. Pertemuan baru selalu menghadirkan pesona baru dan semangat baru. Berbeda dengan itu, perpisahan –setidaknya bagi saya, akan selalu sedikit banyak menggelisahkan. Baik karena seorang kawan yang harus kembali ke kampung halaman, atau karena harus ikut dengan pasangannya ke bagian lain dari bumi Allah. Saya selalu membutuhkan waktu, dan tidak dapat langsung menerimanya saat masa itu datang. Harus ada jeda bagi saya untuk menguat-nguatkan diri dan mengingatkan jiwa bahwa setidak enak apapun itu, perpisahan pun bagian dari takdir –episode yang harus kita terima dalam hidup.

Tapi bukankah, kematian dan kelahiran, perjumpaan dan perpisahan, tidak sesederhana reaksi kimia yang kita pelajari di masa sekolah? Sudah seharusnya ada pemaknaan di sana.

Setiap kelahiran, yang kadang diartikan sebatas bertambahnya anggota keluarga baru, sebenarnya adalah sebuah cerita panjang yang diawali dengan perjumpaan dua insan yang memang ditakdirkan akan bersama. Lalu dilalui dengan penantian, selanjutnya kurang lebih sembilan bulan masa kehamilan yang berat. Belum lagi proses melahirkan yang konon mempertaruhkan segalanya; jiwa dan raga. Ya, sama sekali tidak sederhana.

Apalagi dengan kematian. Ia adalah momen akhir dari fragmen dunia yang akan terlewati; sebuah kepastian yang nyata. Dan prosesnya pun tidak begitu saja. Kita semua tahu betapa mengerikannya sakaratul maut. Belum lagi masa-masa yang harus dilewati sebelum itu, dan setelah itu. Perjalanan sejak di barzakh hingga perhitungan segala amalan.

Kematian bukan akhir, justru sebuah awal perjalanan panjang yang mungkin jauh lebih berat dari kehidupan itu sendiri. Mengapa ia harus disaksikan oleh mereka yang masih hidup? Terlebih lagi, mengapa kita harusnya memaknainya dan melihatan tanda kebesaranNya dalam kejadian ini? Sebab, tentu telah terlambat untuk memaknainya saat masa kematian itu telah sampai kepada diri kita sendiri. Bukankah saat nyawa telah sampai di kerongkongan maka telah tertutup semua kesempatan? Lalu dengan meyakini bahwa tidak ada kepastian kapan masa itu datang, mengapa kita masih saja lengah terhadapnya? Demi Allah, kematian adalah sebaik-baik nasihat.

Perpisahan dan perjumpaan pun demikian. Selalu ada makna dan rahasia Allah di baliknya. Bersinggungannya kita dengan seseorang di satu titik, lalu berpisah di titik yang lain adalah bagian dari perjalanan yang sudah pasti ada alasannya.

Ya, saya selalu percaya bahwa dalam hidup tidak ada hal yang sepele. Tiap detiknya adalah rangkaian sempurna yang saling bertaut. Sebuah tarbiyah sepanjang hayat yang sudah seharusnya memberi pelajaran. Bukankah teori gravitasi yang melambungkan nama Newton, hanya bermula dari peristiwa jatuhnya sebutir apel dari pohonnya? Sepele kita rasa, tapi tidak bagi yang mengambil pelajaran di baliknya, dan Newton membuktikannya pada dunia.

Maka hidup akan selalu menjadi tidak bermakna, kecuali bagi orang yang ingin mencari arti dari tiap peristiwa di dalamnya. Wallahu a’lam.

(Weekend notes, January 22 2011)

Teriring salam perpisahan untuk Kak Rifqah-Nur Fajariani Rahman; maafkan segala salah dan terima kasih untuk ada di saat-saat tidak nyaman di awal masa kuliah saya. Semoga kita dapat istiqamah; berbungalah dimanapun kau ditaman. T_T

sumber gambar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)