Jumat, 26 April 2013

Siap dan Menyiapkan Diri

Tiap membaca kisah itu, saya selalu bertanya; "Mengapa?"

Ya, kisah pernikahan Ummu Sulaim dan Abu Thalhah tentu sudah sangat mahsyur. Satu part yang hampir selalu ada dalam sirah yang membahas tentang salah satu dari mereka. Bahkan, Ummu Sulaim menjadi identik sebagai shahabiyah dengan mahar yang paling agung, yakni keislaman suaminya: Abu Thalhah. 

Saya tidak memungkiri, betapa rangkaian sirah itu mengajarkan kita pada keteguhan Ummu Sulaim. Beliau tidak ingin menikah dengan seseorang yang bukan Islam. Bahkan meski saat itu Abu Thalhah adalah seseorang yang dapat dibahasakan dengan lelaki-yang-berat-untuk-ditolak, dengan segala keunggulan beliau kala itu. Namun, seunggul-unggulnya beliau, Abu Thalhah kala itu adalah seorang kafir, sementara Ummu Sulaim adalah seorang muslimah yang taat. Maka singkat cerita, pernikahan itu menjadi tercatat dalam sejarah, sebab maharnya bukan main istimewanya; sebuah keislaman.

Pada titik tersebut saya tentu kagum pada Ummu Sulaim, namun juga sekaligus bertanya-tanya; "Mengapa?"

Mengapa harus Abu Thalhah? Mengapa tidak menantikan datangnya lelaki lain, dari kalangan shahabat, yang telah lebih 'matang' keislamannya. Mengapa harus Abu Thalhah, yang baru pada detik itu menerima cahaya kebenaran, mengucap kalimat tauhid? Mengapa kisah ini menjadi berbeda, dengan contoh lain semisal Khadijah yang berjodoh dengan Rasulullah Shallalahu 'alahi wasallam, yang menjadi begitu 'sepadan' sebagai sebuah pasangan? Mengapa bukan pula seperti Fatimah dan Ali yang begitu 'sepantaran' dari segala sisi?

"Mengapa?"

Contoh yang lebih ekstrim datang dari kisah Asiah, istri Fir'aun. Jika saya menggunakan 'logika-kepantasan' seperti di atas, maka jelas tidaklah pantas Asiah -seorang wanita yang dijamin syurga, bersanding dengan Fir'aun yang diabadikan namanya sebagai contoh buruk sepanjang masa.

Tapi, saya harus berhenti bertanya 'Mengapa'. Sebab demikianlah takdir yang tergariskan, dan tentu Allah tidak akan menakdirkan semua ini dengan sia-sia.

Dalam sirah pun kita belajar, mendapati sosok Abu Thalhah yang menjadi salah satu shahabat yang dikenang dengan manis kisahnya. Pasca berislam setelah pernikahannya dengan Ummu Sulaim, tidak putus sumbangsih beliau dalam perkembangan Islam. Ini jelas merupakan sebuah pertanda, betapa hidayah Allah telah merasuk ke dalam dirinya, dan tentu itu pun tidak lepas dari peranan sang istri dalam mendampingi beliau.  

Maka, izinkan saya menarik benang yang menyambungkan tiap untaian kisah ini. Tentang Ummu Sulaim, tentang Khadijah dan Fatimah, dan tentang Asiah. 

Ummu Sulaim yang mampu menuntun pada cahaya kebenaran, Khadijah dan Fatimah yang menjadi pantas untuk para lelaki terbaik, dan Asiah yang tetap bertahan dengan keteguhannya meski harus bersanding dengan seburuk-buruknya manusia. 

Satu jawaban untuk menghubungkan ketiganya, nyatanya (semoga telah) saya temukan dalam ujung sebuah majelis hari ini, saat seseorang bernasihat;

"Berikhtiarlah untuk menjadi sosok yang seideal-idealnya. Sehingga apapun yang terjadi, diri kita akan siap untuk menghadapi apa saja dan siapa saja."

Ya, satu benang merah yang dapat saya tarik adalah; mereka semua -radhiyallahu anhuma, memiliki satu hal yang membuat segalanya menjadi indah; kesiapan. 

Makassar, 26 April 2013
*CMIIW*

1 komentar:

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)