Selasa, 23 April 2013

Lelaki, Perempuan, dan Lima Keanehan


Awalnya, perempuan itu tidak merasakan keanehan sedikitpun. Baginya wajar, jika lelaki itu selalu mengekor laju motornya ketika ia pulang kuliah. Lelaki yang merupakan kawan sekampusnya itu memang juga tinggal di arah yang sama. Sesekali bahkan, mereka akan berjalan beriringan dengan motor masing-masing sambil bercakap-cakap sekadarnya. Ya, tidak ada yang aneh, awalnya.

Hingga kemudian perempuan itu sadar, pada sebuah persimpangan saat seharusnya lelaki itu memilih jalur lurus, ia malah lebih sering ikut membelok bersama dirinya. Mengikutinya hingga masuk belokan terakhir lorong rumahnya. Lalu setelah itu, barulah ia pergi berlalu. Satu.

Kita temani Syaikh dan ummi cari batik, yuk! Kamu pasti tahu tempatnya, khan...”, ujar lelaki itu suatu hari. Ia menceritakan perihal seorang dosen mereka. Dosen luar biasa dari Timur Tengah yang tidak lama lagi akan kembali ke negaranya. Sang dosen berkeinginan mencari sesuatu untuk oleh-oleh. Maka perempuan itu pun mengiyakan. Ia membonceng istri sang syaikh, sementara syaikh dibonceng oleh si lelaki. Di masa itu, masih sangat jarang ada wanita yang mengendarai sepeda motor. Tahun delapan puluhan, bahkan masih banyak lelaki yang mengendarai sepeda. Maka ya, perempuan itu memang cukup menonjol di kalangan para wanita. Tapi, pergi membeli batik untuk oleh-oleh? Sepertinya masih banyak mahasiswi lain yang bisa diajak. Dua.

Di hari yang lain, perempuan ia sedang bersantai dengan beberapa orang temannya. Mereka memutuskan untuk pergi di sebuah tempat makan. Perempuan ini tidak tahu, bahwa dalam perjalanannya menuju tempat makan itu, lelaki ini ternyata mendapatinya, lalu mengikutinya. Hingga tiba di tempat makan, ia pun ikut muncul di sana. Tanpa segan, ia ikut ngobrol dan makan bersama perempuan dan teman-temannya itu. Lepas bersantap, dengan sigap ia meraih bill, membayar semua pesanan. Tiga.

Perempuan itu sedang dalam masa KKN-nya, ketika sang lelaki pada akhirnya memutuskan untuk melanjutkan studinya di sebuah kota di tanah Saudi Arabia. Entah darimana ia mendapat informasi bahwa perempuan itu sedang ber-KKN di kabupaten yang sama dengan tanah kelahirannya. Cukup jauh sebenarnya jarak yang harus ia tempuh dari kampungnya, menuju kampung tempat lokasi KKN wanita itu. Namun, entah kekuatan apa yang membuatnya seolah mampu melipat jarak itu. Menghadirkan dirinya secara utuh di hadapan perempuan itu, hanya untuk membawa satu kabar.

Saya akan berangkat ke Saudi. Kamu saya undang ke rumah saya, ada acara syukuran kecil-kecilan...

Dan nampaknya lelaki ini mengira bahwa hanya dia yang tahu segalanya. Dia lupa bahwa perempuan ini adalah seorang pembelajar yang baik. Dan perempuan itu hanya butuh sedikit waktu untuk mempelajari bahasa daerah di lokasi KKN-nya, yang berarti pula, ia telah menguasai bahasa daerah kampung kelahiran lelaki itu. Maka perempuan itu dapat mencerna dengan jelas, saat ia bertandang ke hajatan tersebut. Saat ia memasuki ruangan sederhana yang cukup sesak oleh para undangan yang lain. Lalu tiba-tiba semua pandangan tertuju padanya. Lalu mulut-mulut ibu-ibu itu menggumamkan kata-kata dalam bahasa mereka. Oleh telinga perempuan itu, kata-kata itu tersaring dan terterjemah..

Oooh...jadi ini orangnya...”, bisik mereka. Perempuan itu mengernyitkan kening. Empat

***

bukan tentang 'siapa', tapi 'bagaimana'
Saya memilihnya, karena dia orang yang pintar. Cerdas. Pengalaman organisasinya membuktikan bahwa ia bisa menjadi pemimpin yang baik. Saya tidak butuh lelaki kaya. Sebab orang yang cerdas akan menemukan sendiri jalan rezekinya.”, ucap perempuan itu tentang lelaki yang  akhirnya ia pilih untuk menjadi suaminya. Lelaki yang memediasi hubungan mereka dengan perantara langsung oleh istri dari Rektor kampus mereka. Keduanya memang sama-sama dikenal oleh para pejabat kampus. 

Tapi, ups! Ternyata, yang akhirnya menikahi perempuan itu, bukanlah lelaki dengan empat keanehan di atas. Ya, takdir memang telah bekerja dengan baik. Dan perasaan yang dipendam memanglah tidak akan berkurang hakikatnya, akan tetap sama dengan yang diutarakan. Yang membedakannya adalah, yang pertama hanya akan diketahui oleh pemilik perasaan, sedangkan yang kedua akan berlanjut dengan eksekusi berikutnya. 

Lalu lelaki yang terbang ke Saudi tanpa pesan itu ternyata memilih yang pertama. Dan lelaki yang akhirnya menikah dengan wanita itu berada di posisi yang kedua. Demikianlah takdir tercatatkan.

Lalu bagaimana nasib sang pemendam perasaan itu?

Sudahlah. Nikahkan saya dengan siapa saja!”, begitulah ujarnya kepada kedua orang tuanya. Saat ia mendarat di tanah air, dan mendapati perempuan itu telah menikah, bahkan tengah hamil anak yang pertama.


Di kemudian hari, saat anak-anak mereka telah dewasa, kejadian masa lalu yang mengharu-biru itu, dapat mereka kenang sambil tertawa-tawa. Mereka jadikan cerita-cerita seru yang akan disimak oleh anak-anak mereka yang tergelak sambil geleng-geleng kepala. Lalu saat saling bertemu dan mengenang masa muda, sang perempuan berkata diantara senyumannya sembari menahan geli dan perasaan lucu

“Kamu ini... Siapa suruh dari dulu tidak bilang-bilang.. Hahaha..”

Dan lelaki itu pun hanya dapat tertawa. Entah mengapa, sekarang mereka merasa semua itu hanyalah kelucuan belaka. Lima?

Ah, mungkin memang masalah masa depan yang satu itu, bukan tentang siapa. Tapi, bagaimana.


*setelah sore yang penuh tawa sambil mendengar cerita nostalgia
Makassar, 23 April 2013

1 komentar:

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)