Awalnya, perempuan itu tidak merasakan keanehan sedikitpun.
Baginya wajar, jika lelaki itu selalu mengekor laju motornya ketika ia pulang
kuliah. Lelaki yang merupakan kawan sekampusnya itu memang juga tinggal di arah
yang sama. Sesekali bahkan, mereka akan berjalan beriringan dengan motor
masing-masing sambil bercakap-cakap sekadarnya. Ya, tidak ada yang aneh,
awalnya.
Hingga kemudian perempuan itu sadar, pada sebuah
persimpangan saat seharusnya lelaki itu memilih jalur lurus, ia malah lebih
sering ikut membelok bersama dirinya. Mengikutinya hingga masuk belokan
terakhir lorong rumahnya. Lalu setelah itu, barulah ia pergi berlalu. Satu.
“Kita temani Syaikh
dan ummi cari batik, yuk! Kamu pasti tahu tempatnya, khan...”, ujar lelaki
itu suatu hari. Ia menceritakan perihal seorang dosen mereka. Dosen luar biasa
dari Timur Tengah yang tidak lama lagi akan kembali ke negaranya. Sang dosen
berkeinginan mencari sesuatu untuk oleh-oleh. Maka perempuan itu pun
mengiyakan. Ia membonceng istri sang syaikh, sementara syaikh dibonceng oleh si
lelaki. Di masa itu, masih sangat jarang ada wanita yang mengendarai sepeda
motor. Tahun delapan puluhan, bahkan masih banyak lelaki yang mengendarai
sepeda. Maka ya, perempuan itu memang cukup menonjol di kalangan para wanita. Tapi,
pergi membeli batik untuk oleh-oleh? Sepertinya masih banyak mahasiswi lain
yang bisa diajak. Dua.
Di hari yang lain, perempuan ia sedang bersantai dengan
beberapa orang temannya. Mereka memutuskan untuk pergi di sebuah tempat makan.
Perempuan ini tidak tahu, bahwa dalam perjalanannya menuju tempat makan itu,
lelaki ini ternyata mendapatinya, lalu mengikutinya. Hingga tiba di tempat
makan, ia pun ikut muncul di sana. Tanpa segan, ia ikut ngobrol dan makan
bersama perempuan dan teman-temannya itu. Lepas bersantap, dengan sigap ia
meraih bill, membayar semua pesanan. Tiga.
Perempuan itu sedang dalam masa KKN-nya, ketika sang lelaki
pada akhirnya memutuskan untuk melanjutkan studinya di sebuah kota di tanah
Saudi Arabia. Entah darimana ia mendapat informasi bahwa perempuan itu sedang
ber-KKN di kabupaten yang sama dengan tanah kelahirannya. Cukup jauh sebenarnya
jarak yang harus ia tempuh dari kampungnya, menuju kampung tempat lokasi KKN
wanita itu. Namun, entah kekuatan apa yang membuatnya seolah mampu melipat
jarak itu. Menghadirkan dirinya secara utuh di hadapan perempuan itu, hanya
untuk membawa satu kabar.
“Saya akan berangkat
ke Saudi. Kamu saya undang ke rumah saya, ada acara syukuran kecil-kecilan...”
Dan nampaknya lelaki ini mengira bahwa hanya dia yang tahu
segalanya. Dia lupa bahwa perempuan ini adalah seorang pembelajar yang baik.
Dan perempuan itu hanya butuh sedikit waktu untuk mempelajari bahasa daerah di lokasi
KKN-nya, yang berarti pula, ia telah menguasai bahasa daerah kampung kelahiran
lelaki itu. Maka perempuan itu dapat mencerna dengan jelas, saat ia bertandang
ke hajatan tersebut. Saat ia memasuki ruangan sederhana yang cukup sesak oleh
para undangan yang lain. Lalu tiba-tiba semua pandangan tertuju padanya. Lalu
mulut-mulut ibu-ibu itu menggumamkan kata-kata dalam bahasa mereka. Oleh
telinga perempuan itu, kata-kata itu tersaring dan terterjemah..
“Oooh...jadi ini
orangnya...”, bisik mereka. Perempuan itu mengernyitkan kening. Empat
***
bukan tentang 'siapa', tapi 'bagaimana' |
“Saya memilihnya,
karena dia orang yang pintar. Cerdas. Pengalaman organisasinya membuktikan
bahwa ia bisa menjadi pemimpin yang baik. Saya tidak butuh lelaki kaya. Sebab
orang yang cerdas akan menemukan sendiri jalan rezekinya.”, ucap perempuan
itu tentang lelaki yang akhirnya ia pilih
untuk menjadi suaminya. Lelaki yang memediasi hubungan mereka dengan perantara
langsung oleh istri dari Rektor kampus mereka. Keduanya memang sama-sama
dikenal oleh para pejabat kampus.
Tapi, ups! Ternyata, yang akhirnya menikahi perempuan itu, bukanlah lelaki dengan empat
keanehan di atas. Ya, takdir memang telah bekerja dengan baik. Dan perasaan
yang dipendam memanglah tidak akan berkurang hakikatnya, akan tetap sama dengan
yang diutarakan. Yang membedakannya adalah, yang pertama hanya akan diketahui
oleh pemilik perasaan, sedangkan yang kedua akan berlanjut dengan eksekusi
berikutnya.
Lalu lelaki yang terbang ke Saudi tanpa pesan itu ternyata
memilih yang pertama. Dan lelaki yang akhirnya menikah dengan wanita itu berada
di posisi yang kedua. Demikianlah takdir tercatatkan.
Lalu bagaimana nasib sang pemendam perasaan itu?
“Sudahlah. Nikahkan
saya dengan siapa saja!”, begitulah ujarnya kepada kedua orang tuanya. Saat
ia mendarat di tanah air, dan mendapati perempuan itu telah menikah, bahkan
tengah hamil anak yang pertama.
Di kemudian hari, saat anak-anak mereka telah dewasa,
kejadian masa lalu yang mengharu-biru itu, dapat mereka kenang sambil
tertawa-tawa. Mereka jadikan cerita-cerita seru yang akan disimak oleh
anak-anak mereka yang tergelak sambil geleng-geleng kepala. Lalu saat saling
bertemu dan mengenang masa muda, sang perempuan berkata diantara senyumannya
sembari menahan geli dan perasaan lucu
“Kamu ini... Siapa suruh dari dulu tidak bilang-bilang.. Hahaha..”
Dan lelaki itu pun hanya dapat tertawa. Entah mengapa,
sekarang mereka merasa semua itu hanyalah kelucuan belaka. Lima?
Ah, mungkin memang masalah masa depan yang satu itu, bukan
tentang siapa. Tapi, bagaimana.
*setelah sore yang
penuh tawa sambil mendengar cerita nostalgia
Makassar, 23 April
2013
fans..
BalasHapushahahaha...