Senin, 08 Oktober 2018

Hikayat Sebuah Gigi

Gadis kecil itu meringis sambil memegang pipi kirinya. Air matanya jatuh tanpa bisa ia tahan. Rasanya seluruh tubuhnya ikut menanggung  sakit yang bersumber dari sebuah giginya yang berlubang. Pikirannya sesekali melayang pada satu siang di mana ia terlalu semangat menyantap sepotong ayam goreng saat acara 'makan-makan' dalam penerimaan rapor kelas 4 SD. Bermula dari tulang ayam yang tak sengaja ia gigit dengan keras, giginya sampai berlubang dibuatnya. Lubangnya terus semakin besar, hingga kini rasa sakitnya tak lagi tertanggungkan.

Setelah drama menangis hingga mata bengkak yang ditingkahi dengan naiknya suhu badannya, akhirnya orang tua gadis itu membawanya ke dokter gigi langganan mereka. Cukup jauh sebenarnya dengan jarak rumahnya. Tapi mereka sudah terlanjur percaya pada cekatannya jemari si dokter gigi. Dan baru kali itu, gadis kecil tadi harus menjalani perawatan gigi dalam empat babak, hingga akhirnya lubang tersebut ditutup secara permanen. Di kemudian hari, ia baru tahu, bahwa mungkin itulah yang disebut dengan perawatan saluran akar.

Waktu pun berlalu. Si gadis terus bertumbuh melewati berbagai fase hidupnya. Tamat dari sekolah dasar, menyelesaikan sekolah menengah pertama hingga selanjutnya lulus SMA. Lalu kemudian berkuliah, hingga mencapai gelar sarjana. Dalam perjalanan hidupnya itu, dengan atau tanpa ia sadari, ia jalani bersama tambalan gigi geraham atasnya yang tetap kokoh di sana.

Hingga hari itu tiba.

Beberapa hari sebelum ia berangkat ke pulau seberang untuk menjalani praktek kerja dari program pendidikan profesi yang tengah ia jalani. Saat sedang makan, sesuatu yang keras ia rasakan turut bercampur dengan makanan yang ia kunyah. Tambalan gigi!

Ya, hingga sekitar 15 tahun, tambalan gigi itu copot dan meninggalkan lubang yang menganga. Membawa ingatan si gadis pada rasa sakit di masa kecilnya. Karena kesibukannya, ia kemudian memutuskan untuk menambal giginya lagi di tempat yang lebih mudah dijangkau. Tapi ternyata, tambalan itu hanya bertahan beberapa bulan saja. Lalu kesibukannya membuat ia lupa untuk segera merawat giginya lagi, hingga rasa sakit kembali menyerang.

Ia memutuskan ke dokter gigi lain yang masih mudah ia datangi di tengah segala kesibukannya. Sebenarnya, ia ingin sekalian mencabut saja gigi itu. Habis perkara.

Tapi oleh di dokter gigi, ia disarankan untuk tetap mempertahankan giginya. Walaupun si dokter harus 'berkreasi' untuk bisa menambal geraham yang tinggal seuprit itu.

Tambalan kali itu, cukup bertahan. Bertahan untuk menyaksikannya meraih gelar profesi. Menjalani masa transisi. Hingga kemudian mengakhiri masa lajangnya...

Lalu dalam perantauan dengan kondisinya sebagai pengantin baru, di sebuah siang yang sunyi, lagi-lagi ia mendapati tambalan gigi yang kembali copot. Innalillah...

Kali itu, rasanya telah bulat tekadnya untuk mengakhiri kebersamaannya dengan si gigi. Namun, takdir berkata lain. Tak lama setelah itu, ia ternyata hamil. Dan tidak ada dokter gigi yang bersedia mencabut giginya dalam kondisi tersebut. Alhasil, si geraham dibiarkan dalam kondisi terbuka. Dengan niatan, setelah melahirkan bayinya, gigi itu pun akan segera dieksekusi.

Tapi, kesibukannya sebagai ibu baru ternyata membuatnya semakin pelupa. Hingga tak terasa, bayinya sudah berumur lebih dari tujuh bulan. Saat ia merasa lebih lowong untuk bergerak, ia memutuskan kembali menyambangi sebuah klinik gigi, untuk menanggalkan si geraham.

Ini adalah pengalaman pertamanya mencabut gigi di usia dewasa. Namun entah mengapa ia santai saja. Yang tidak dia tahu, bahwa menit-menit kedepannya akan tidak mudah. Dokter gigi itu kewalahan mengeksekusi giginya. Patah-patah, rapuh, dan masih ada sebagian akar yang tersisa. Namun, ibu beranak satu itu sudah tak sanggup meneruskan proses pencabutan gigi itu. Bendera putih. Ia menyerah. Sebelum ia benar-benar trauma...

Pulang dari sana, kepalanya pening menahan sakit pada bekas cabutan gigi yang tak tuntas. Besoknya ia demam seharian. Dalam hati ia berniat, sisa dari akar gigi itu harus segera ia lenyapkan.

Tapi lagi-lagi, takdir punya rencana sendiri. Dua bulan setelah kejadian itu, ia hamil anak kedua. Kesibukannya menemani si sulung bermain, sembari menjalani kehamilan berikutnya, membuatnya lagi-lagi lupa pada giginya yang tinggal secuil itu. Sesekali lidahnya merasakan sisa gigi di sana, sambil berharap akan ada kesempatan untuk mencabutnya.

Kemudian ia melahirkan. Harusnya prosesi cabut gigi ia segera agendakan. Tapi kesibukannya membersamai dua anak lelakinya kembali membuat ia lupa.

Hingga...

Rasa sakit itu kembali menyerang. Dan saat anak shalihnya yang kedua sudah nyaris berumur satu tahun, akhirnya ia memutuskan untuk kembali ke dokter gigi. Kali ini, ia tidak mau macam-macam. Ia akan mengembalikan gigi itu pada orang yang paling pertama menanganinya. Pada dokter gigi masa kecilnya.

Sambil menggendong putranya yang kedua, ia tempuh perjalanan panjang menuju klinik gigi itu. Lokasinya masih sama, tapi dengan tampilan yang lebih modern dan alat yang lebih canggih. Namun, dokter gigi itu tak berubah. Tetap tak banyak bicara, langsung mempersilahkannya duduk di kursi pasien. Dengan cekatan jemarinya bekerja tanpa suara.

Tak lebih dari lima menit, ia meminta pasiennya berkumur.
"Sudah, dok?" tanya wanita itu, seolah tak percaya bahwa prosesnya akan sesingkat itu. Dokter itu mengangguk, lalu kembali ke mejanya.

Wanita itu mengansurkan biaya yang harus ia bayar. Sambil menyebutkan nama ibunya yang juga masih menjadi pasien setia si dokter.
"Saya sejak kecil selalu rawat gigi di sini dok..." ucapnya.

Mendengar itu, baru kemudian ekspresi sang dokter yang sedari tadi datar berubah dengan segaris senyuman.

"Oh ya?" ucapnya sambil tersungging, memunculkan guratan keriput di samping matanya, sambil menatap lekat pada pasien di hadapannya. Seolah berusaha mengingat wajah gadis kecil yang pernah ia rawat giginya, dua puluh tahun yang lalu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)