Rabu, 31 Oktober 2018

Kepergian Bapak dan Hal-Hal yang Saya Pelajari


Fayyadh, bayi lima bulan itu akhirnya tertidur. Tapi saya masih urung untuk segera membawanya ke kamar tidur kami di lantai dua. Saya harus menunggu adik yang mengantar ibu saya ke dokter, saya tidak bisa meninggalkan Bapak sendirian, meski saya tahu beliau sudah tertidur.

Entah apa yang membawa saya untuk berinisiatif menengok Bapak di kamar. Lalu mendapati sarungnya yang basah. Sepertinya setelah ganti popok terakhir, terlupa untuk memakai popok kembali. Maka saya menepuk pundak Bapak perlahan. Membantunya bangun untuk bersih-bersih di kamar mandi, lalu kembali memakaikan baju, popok, dan sarung baru. Bapak hanya diam. Pikiran saya terbang ke beberapa hari yang lalu saat Bapak tiba-tiba mengecup kening saya saat saya tuntas memandikan dan memakaikannya pakaian baru. Sebuah kecupan yang ternyata menjadi kecupan terakhir beliau kepada anaknya ini.

Setelah itu Bapak kembali masuk ke dalam kelambu. Lalu terduduk di atas tempat tidur, dengan tatapan kosong, dan masih dalam diam. Berkali-kali saya memintanya untuk kembali tidur. Bapak hanya mengangguk dan tak juga berbaring. Entah apa yang ada dalam pikirannya. Di masa-masa akhir hidupnya dengan dua kali operasi di kepala yang otomatis mengganggu kinerja otak Bapak, saya selalu berusaha menerka-nerka; apa yang sedang Bapak pikirkan?

Kepergian Bapak untuk selama-lamanya adalah kejadian paling berpengaruh dalam hidup saya. Betapa rasa kehilangan itu bukan hanya meninggalkan duka, tapi juga berbagai pelajaran hidup untuk kami yang ia tinggalkan.

1.Ikatan Darah, Ikatan yang Tak Pernah Putus.
Sepanjang hidup saya sebagai seorang anak, tak bisa dipungkiri bahwa saya pun turut menyaksikan betapa orang tua saya pun adalah manusia biasa. Ya, mereka juga melakukan kesalahan. Tapi, bagaimanapun, atas ikatan darah yang kita punya, akan selalu ada maaf atas segala kesalahan tersebut. Bahwa meski darah kita dicuci oleh seluruh samudera di dunia ini, tetap tidak akan luntur ikatan itu. Pada akhirnya, sebagai seorang anak, rasanya tiap jerih payah yang orang tua lakukan tidak akan pernah dapat terbayar dengan bakti sehebat apapun, pun tidak akan bisa terhapus dengan kesalahan sebesar apapun.

2.Kenangan dalam Hati Seorang Anak.
Suatu hari, putera pertama saya sedang batuk keras. Semalaman tidurnya rewel, terganggu oleh batuknya sendiri. Alhasil, saya dan suami harus meronda bergantian untuk menggendong Fayyadh hingga kembali tertidur. Dalam pada itu, saya tiba-tiba tidak bisa menahan air mata saat sedang menggendong Fayyadh yang tengah sakit, saat ingatan saya terbawa pada kejadian saat saya sakit cacar di masa SD dulu. Di malam hari, Bapak masuk ke kamar saya, berbaring di samping saya dan semalaman mengusap punggung saya yang gatal tapi tak boleh di garuk. Dengan itu saya tertidur.  Dan betapa kenangan tentang hal itu tidak bisa saya lupakan. Sesuatu yang membuat saya kerap kali bertanya-tanya; kenangan macam apa yang akan saya tinggalkan untuk anak-anak saya?

3.Dunia; Yang Tertinggal dan Yang Tersisa
Tiap rasa sesak terhadap dunia hadir dalam benak saya, kepada kepergian Bapak-lah saya selalu berpulang. Saya menjadi saksi bagaimana beliau berikhtiar menjemput rezeki dari hari ke hari. Namun pada akhirnya, yang saya saksikan adalah helaian kain kafan saja yang menemani beliau kembali ke pelukan bumi. Maka di dunia ini, sebenarnya apa yang kita cari? Sungguh hanya sekejap, hanya sekejap saja hidup ini jika dibandingkan dengan kehidupan setelah mati.

4.Sahabat Sejati yang Selalu di Sisi
Suatu hari saya menyuap Bapak saat beliau masih di rumah sakit, pasca operasi kepalanya yang kedua. Tiba-tiba Bapak menyebutkan satu nama yang belum jua muncul untuk menjenguknya.
“Mungkin sedang sibuk, Pak...” ujar saya yang kemudian menemukan mata Bapak yang berkaca-kaca.
“Mungkin dia sudah lupa sama saya...”.
Di akhir-akhir hidup Bapak saya mendapati sahabat-sahabat sejati beliau yang mengelilinginya di masa Bapak berada dalam fase post-power. Tidak lagi memangku jabatan apapun setelah tahun-tahun yang panjang memegang posisi-posisi strategis, sedang sakit pula. Maka benarlah, sahabat sejati baru dapat kita nilai saat kita sedang berada 'di bawah'. Mereka yang tetap ada, tanpa tendensi apa-apa.

Bapak, terima kasih untuk pelajaran yang Bapak tinggalkan meski tanpa harus terus berada bersama kami. Semoga Allah menyayangi Bapak di sana. Anak perempuan ta' rindu, Pak...

011118
Pada dua tahun kepergian Bapak rahimahullah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)