Mungkin sejak zaman SMA saya
mengenal dunia maya. Saat itu, internet belum semurah sekarang. Dengan
telkomn*t instan, waktu itu tarifnya Rp 9.000 perjamnya. Dari seorang teman
yang saya kenal dalam sebuah lomba, saya diajari membuat blog. Blog di blogspot
yang sangat sederhana dan tidak ada pengunjungnya selain saya.
Selanjutnya, lewat seorang
kenalan pula dalam sebuah lomba lainnya, saya membuat blog di Multiply (MP).
Nasibnya sama.Sepi. Hingga kemudian suatu saat, saya tidak benar-benar ingat,
saya menemukan keasyikan di dunia MP. Saya pun mulai meng-add sejumlah kawan
yang benar-benar saya kenal di dunia maya saja.
Beberapa orang pun meng-add
saya, hingga jumlah contact saya ratusan. Oiya, bersamaan dengan itu, saya juga
punya akun Friendster yang sekarang sudah tinggal kenangan itu.
Memasuki masa FB, saya sempat
bersikukuh untuk tidak ingin membuat akun di socmed yang satu ini. Terlanjur
nyaman dengan dunia MP. Hingga MP pun kemudian berinovasi dengan fasilitas
postingan singkatnya (Quotes) yang jadi mirip dengan update status-nya FB.
Waktu itu saya sempat buat FB juga pada akhirnya, karena harus ikut dalam
sebuah grup untuk sebuah mata kuliah. Tapi saat mata kuliah itu selesai, FB itupun saya hapus seketika. Sekali lagi,
tidak nyaman.
Bagi saya waktu itu –bahkan mungkin
hingga kini, FB terkesan sangat vulgar. Semua aktivitas kita di sana akan
terbaca rekam jejaknya di wall dan bisa diakses oleh siapa saja. Waktu itu,
saya tidak tahu saja bahwa ada settingan tertentu yang bisa membatasi hal-hal
semacam itu. Maka saya tetap setiap pada MP. Hingga kemudian seorang kawan
mengeluh, bahwa untuk membuka akun MP saya, membaca tulisan saya di sana,
ternyata harus mengeluarkan banyak kuota internetannya. Akun MP itu ‘berat’,
katanya.
Maka demi dia *hehehe...*, saya kembali
membuat akun duplikasi di Blogspot (BS) yang memang lebih sederhana dan lebih
ringan untuk dibuka. Sejak saat itu, si teman tadi sering mengcopas
tulisan-tulisan saya di BS dan mempostingnya di note Fbnya. Saya masih terus
berkesetiaan sebagai ‘blogger aja’,
bahkan meski teman saya itu bilang, bahwa tiap memposting tulisan saya, selalu
banyak ‘like’ yang berdatangan, sambil terus memotivasi saya ber-FB ria, dengan
niat yang benar tentunya.
Akhirnya, suatu waktu, entah di
semester berapa perkuliahan, saya bismillah;
membuka akun FB dengan maksud untuk menjadi salah satu media untuk sampaikan
kebaikan. Maka fasilitas yang paling saya minati adalah ‘note’ dimana kita bisa men-tag
contact kita dalam tulisan itu –sesuatu
yang tidak ada di dunia blogging.
Saya sadar betul akan luasnya
jurang fitnah yang menganga di dunia maya, pada fasilitas apapun yang kita
gunakan. Namun tentu ada yang saya rasa berbeda antara dunia blog dengan FB
ini. Meski ada berbagai macam fasilitas dan settingan, bagi saya, FB tetaplah
vulgar dan teramat sangat dinamis. Cepat pula koneksinya, hingga begitu
menggoda untuk mengupdate setiap saat. Maka untuk meminimalisir hal itu, saya
punya satu prinsip kala itu; tidak akan berteman di FB dengan laki-laki yang
tidak saya kenal di dunia nyata (pengecualian untuk mengadd panitia lomba
misalnya, tapi itupun harus segera diremove kalau sudah tidak ada lagi urusan).
Dengan asumsi, orang-orang yang saya kenal di dunia nyata lebih mungkin untuk
memiliki ‘urusan yang jelas’ dengan saya. Sedangkan yang tidak, tentu akan
lebih besar fitnahnya. Itu pemikiran saya saat itu. Maka friendlist saya di FB pun heterogen, ada kawan-kawan perempuan, ada
pula kawan lelaki.
Untuk blog sendiri, saya anggap
tidak bisa membatasinya demikian. Bagaimanapun, saya ingin apa yang saya
sampaikan lewat tulisan itu mudah untuk diakses oleh siapa saja. Maka beberapa
kawan di blog, bahkan yang sangat saya sukai tulisan-tulisannya, dan kadang pun
berkunjung di blog saya, tetap tidak akan saya confirm saat meng-add saya
di FB. Prinsipnya jelas; hanya berteman di FB dengan laki-laki yang saya kenal
di dunia nyata!
Dalam perkembangan selanjutnya,
saya menemukan bahwa apa yang selama ini saya jalani di FB tetap saja tidak
bisa membuat saya berada pada posisi aman. Ternyata tetap saja ada celah fitnah
di sana. Maka memang yang lebih menenangkan adalah dengan meninggalkan keraguan
itu, ber-wara’ untuk menghindari syubhat. Setelah baca-baca, tanya-tanya, dan
beberapa pertimbangan; akhirnya saya memutuskan; menghapus nama-nama lelaki
yang bukan mahram dari friendlist FB. Salah satu pertimbangan lainnya adalah,
bahwa di FB sudah ada fasilitas Grup-Grup tertentu, misalnya grup kawan-kawan
kuliah, alumni sekolah, dll yang memungkinkan untuk tetap menjalin silaturahim
dan membicaran urusan penting, dengan kawan lelaki yang saya kenal di dunia
nyata itu –yang saya remove itu. Dan komunikasi di Grup ini tentu lebih
terjaga, karena dapat dibaca oleh semua member grup.
Pada akhirnya saya menyadari, bahwa
FB bukan hanya sekadar fasilitas yang digunakan saat ingin dipakai saja. Tapi,
kadang meski tidak ingin dipakai sekalipun, godaan untuk memakainya meski tak
butuh, dapat begitu kuat. Dan hal seperti itu yang terkadang bisa menimbulkan
fitnah, sebab penggunaannya jadi asal-asalan. Ah, sungguh.. Kita saja yang
mungkin tidak sadar betapa lemahnya perasaan kita sendiri saat dihadapkan pada
jempol-jempol yang menyukai atau komentar dengan sanjung puji, dengan cepat bisa
merasuklah penyakit hati. Jika bukan pada diri kita, maka mungkin pada orang
lain yang berprasangka. Maka, hanya Allah saja sebaik-baik penjaga.
Sebagian orang mungkin merasa
aman dari hal yang saya khawatirkan itu. Bisa jadi. Ya, bisa jadi karena
mungkin keimanannya lebih tebal daripada saya yang lemah ini. Sungguh, ini
kembali pada masing-masing pribadi.
Dengan kasus yang sama dengan FB
dulu, saat ini trend twitter mulai membahana dimana-mana. Seorang teman mengajak
saya membuat akun berkicau ini. Tidak sama dengan alasan dahulu enggan ber-FB,
saya justru dulu malas membuat Twitter justru karena merasa terlalu terbatasi.
Ya, pembatasan 160 karakter untuk
orang yang terbiasa berpanjang kata seperti saya ini tentu akan sangat
menyiksa. Tapi, ada pesona yang lain di sana. Pesona lautan ilmu. Saat ternyata
Twitland diisi oleh orang-orang terkenal, orang-orang berilmu, orang-orang
pintar, dan akun-akun bermanfaat yang kicauannya menyimpan makna. Apalagi, kita
yang bukan siapa-siapa ternyata bisa merasa begitu dekat dengan mereka,
bertanya, berinteraksi, juga mungkin, belajar adab. Ditambah lagi dengan teman
yang ternyata biasa memotong-motong status panjang saya di FB dan
mengkonversinya dalam kultwit yang konon banyak juga peminatnya.
Maka kembali, saya bismillah, membuat akun twitter juga.
Seperti akun lainnya, niatan harus kembali diperjelas. Belajar dan berbagi
(termasuk di dalamnya promosi, hehehe...)
Lalu aturan bagi diri sendiri pun harus jelas pula; hanya akan memfollow
akun yang kiranya memang benar-benar manfaat, menghindari fitnah. Jika pun
memfollow untuk alasan menyambung silaturahim (baca: gaul) dengan beberapa
kawan yang sudah kenal di dunia nyata, maka hanya boleh yang wanita saja. Untuk
followers sendiri, sebab twitter adalah mikroblog, maka perlakuan yang sama
seperti di BS dan MP pun saya berlakukan. Siapa saja, monggo, jika memang ingin memfollow dan merasa bisa mengambil
manfaat, asal tidak mempersyaratkan follback.
Kemudian mention-mentionan itu, betul-betul diupayakan untuk yang aman-aman
saja. Sekali lagi, semoga Allah akan terus menjaga.
Bagi sebagian orang, mungkin
menganggap ini terlalu berlebihan, kikuk, tidak santai, dan kaku. Tapi bagi
saya pribadi, dunia maya memang harus diperlakukan seperti itu. Sebab meski
memang tidak benar-benar nyata, toh pada akhirnya harus dipertanggungjawabkan
pula. Terlebih lagi, terkadang kita merasa agak kelepasan dalam menggunakannya,
justru karena ia bersifat maya. Aih, di dunia nyata saja ada banyak aib yang
bisa disembunyikan, apalagi di tempat yang maya, bukan?
Sebagian yang lain mungkin
menganggap saya masih cukup ‘berani’ dalam hal ini. Apalagi dengan ‘muncul’
dengan nama pribadi, sama sekali tidak menutup diri. Belum lagi dengan
kebiasaan yang sulit berhenti hingga kini; membicarakan diri sendiri. Ah,
Allah.. Cukuplah Engkau saja yang menilai niat kami. Beberapa saudari saya
kenal benar-benar berhati-hati. Hanya berteman dengan murni perempuan di FB,
plus memprotect akun Twitternya. Kepada mereka, saya salut dengan upayanya
menjaga diri, tentu ini bukanlah pertanda bahwa keimanan mereka tipis, sehingga
harus begitu membatasi diri, bahkan mungkin bisa jadi sebaliknya. Tetap saja,
tiap orang punya alasan masing-masing. Dan tiap kita beramal dengan keilmuan
dan pemahaman kita masing-masing. Sumbernya jelas; Al Qur’an dan Sunnah. Semoga
Allah mengistiqamahkan mereka yang terjaga, dan memberikan kita semua hidayah
untuk mengikuti jejaknya.
Maka, semua aturan yang saya buat
untuk akun-akun saya itu, tentu tidak mutlak. Besok-besok, mungkin akan ada
yang berubah. Semoga, perubahannya ke arah yang lebih baik.
Mungkin ada orang yang
menganggap, berdakwah lewat dunia maya itu tidak begitu bernilai, tidak nyata,
dan hanya buang waktu saja. Tapi saya selalu ingat sebuah tulisan ustadz Fauzil
Adhim tentang da’i pelosok yang rela berjauh-jauh dari keramaian untuk
sampaikan dakwah. lalu mengapa kita, yang telah terfasilitasi dengan media,
begitu malas meski hanya sampaikan kebenaran lewat sosial media? Wallahu a’lam.
Makassar, 6 Januari 2013
saya malah ketinggalan..
BalasHapussaya baru punya fs pas orang udah ramai pindah ke fb...hehe
baru punya twiter setelah orang udah puya banyak falower #tapi belum sekalipun bercuap-cuap di tuiter..
Blog..uhm baru seteahun ini..tgl 4 kemarin tepat setahun..
FB..ini yg aktif...
Tak apalah kak.. Keaktifan di dunia maya tidak menunjukkan apa-apa kok :)
HapusBismillah
BalasHapusSetuju...
^_^
Sesama penghuni twitland, saya pun menemukan org2 berilmu lebih mudah di twitland berharap kecipratan kebaikannya,, Insya Allah
Aamiin...~~~
HapusBetul mba, berbuat baik tidak mengenal waktu dan tempat, tapi kudu mengenal juga situasi dan kondisi :)
BalasHapusya, setuju!
Hapus