Selasa, 29 Maret 2011

Tiba-Tiba Aku Mengingatmu

Tiba-tiba, aku mengingatmu. Entahlah. Mungkin, sebab warna senja hari ini mirip-mirip dengan bertahun yang lalu. Saat kita duduk di beranda masjid, dan aku terpekur melihatmu menghapal ayat-ayat dengan suara yang merdu. Atau waktu kau menarik tanganku ke salah satu sudut. Memandang ke kedua bola mataku sambil berucap,
“Panjangkanlah jilbabmu, ukhti. Sebab akan kurasa lebih ringan langkah ini jika bersama kita melaluinya. Aku ingin seperti kakak-kakak kita.”

Lalu kujawab dengan rasa malu yang teramat sangat,

“Tidakkah kau dengar lantunan ayatku yang terbata-bata. Ah, aku merasa tidak pantas. Semoga nanti akan ada masanya aku menyusulmu.”
Maka kini, memang kita tidak pernah diajarkan untuk berbangga diri dengan apa yang kita punya. Apalagi dengan menganggap orang lain lebih rendah dan lebih hina. Bukankah segalanya kembali kepada penilaian Allah?

Tapi, ukhti. Bukankah uluran jilbab itu. Langkah-langkah di jalan yang sepi itu. Dan segala keterasingan, peluh, air mata, waktu, dan segala hal yang kita tuai setelah semua ini kita pilih, membuat kita dapat merasa lebih dekat denganNya. Yah, syurga terasa lebih dekat.



Masih banyak sisa kejahiliyaan dalam diriku.
Masih banyak sisa kejahiliyaan dalam diriku.
Masih banyak sisa kejahiliyaan dalam diriku.

Tapi mendapati diriku masih berada di jalan ini, membuat ayat itu senantiasa terngiang; Fa bi ayyi aalaaa i rabbi kuma tikadzdziban… Segala kesempatan ini, nikmat pemilihan ini, membuatku yakin, bahwa masih ada kemungkinan untuk bangkit, seberapa jauhnya pun kita telah jatuh.

Betapa aku iri dengan mereka. Mereka yang telah mendahului kita dengan akhir yang indah. Dengan tidak seinchipun panjang jilbab itu berkurang. Masih dengan segala label amanah yang berada di pundak mereka. Lalu Allah memanggilnya. Tidak kusaksikan langsung memang, tapi dengan mendengar kabarnya saja, membuat aku merasa betapa beruntungnya mereka yang dapat istiqamah hingga akhir hidupnya. Dan kita, bukankah kita pun ingin seperti demikian?
Tidak terbayang jika tidak di sini sekarang. Mungkin, akan ada aurat yang terumbar. Maksiat yang setiap saat. Taubat yang jauh. Ilmu yang minim. Dan kewajiban yang terlalaikan. Na’udzubillah, tsumma na’udzubillah…

Maka mungkin tidak mengapa dirimu pergi sementara. Mengambil jeda sejenak dari perjalanan kita. Sebab spasi diantara tiap kata adalah niscaya, agar membuatnya bermakna. Sebab jarak akan mencipta rindu dan merekahkan cinta. Tapi, jangan terlalu jauh. Jangan terlalu jauh. Sebab aku takut, kau akan kebingungan mencari jalan untuk kembali. Lalu, kau akan benar-benar pergi dari jalan ini.

“Dan sesungguhnya Tuhanmu (pelindung) bagi orang-orang yang berhijrah sesudah menderita cobaan, kemudian mereka berjihad dan sabar; sesungguhnya Tuhanmu sesudah itu benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. “ (QS. An Nahl [16]:110)
Ya muqallibal qulub, tsabbit qalbi ‘ala diinika..

gambar comot di sini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)