Selasa, 01 Maret 2011

Di Bawah Atap Al Iqra


*)Perlu waktu beberapa lama bagi saya untuk mengendapkan tulisan ini hingga memutuskan untuk diposting. Rasanya ada yang mengganjal. Tapi akhirnya saya sadar, bahwa akan selalu ada yang kurang, jika ingin mengulang masa-masa itu lewat deret kata-kata.



Setelah tiga tahun lebih meninggalkannya, bisa dibilang tidak banyak yang berubah dari tempat itu. Hanya sebuah kursi panjang yang dipindahkan posisinya serta tempelan-tempelan di dinding yang memang akan selalu diganti setiap pergantian kepengurusan. Selebihnya, semuanya seolah terus mengulang kembali kebersamaan kami dengan bangunan mungil di salah satu sudut sekolah itu. Di bawah atapnya yang selalu bocor di musim penghujan, tersimpan banyak sekali cerita. Di berandanya yang menampilkan pemandangan sepotong langit dan deret motor yang diparkir, terdapat begitu banyak kenangan. Mushalla Al Iqra. Di sanalah banyak hal bermula.

“Kenapa diam terus dari tadi, Din?” tanya seorang kawan, sekembalinya kami dari shalat Dhuhur di mushala saat jam istirahat kedua.



“Ndak, tau. Mungkin karena tadi ketemu sama kakak-kakak yang kalem-kalem itu…” jawab saya sambil memandang lurus dengan tatapan kosong.



Ya, kakak-kakak yang mempesona itu. Mereka lembut dan menyapa dengan sangat tulus. Terasa sekali. Membuyarkan segala ketakutan saya pada segala macam senioritas yang kerap terjadi di bangku SMA. Lalu sejak saat itu, entah apa yang mengantarkan langkah ini untuk mengikuti kegiatan-kegiatan mereka. Aktivitas menunggu jemputan juga menjadi salah satu alasan saya untuk berlama-lama di Al Iqra. Dan meski tanpa ditemani seorang teman akrab sekalipun, saya tetap merasa nyaman di sana. Ada kakak-kakak yang selalu setia mengajak ngobrol. Ada teman-teman dari kelas lain yang sedikit demi sedikit menjadi akrab. Dan ada pemandangan sepotong langit yang akan selalu saya rindukan.

Lalu masa terus berlalu. Banyak hal yang terjadi dan semakin membentuk diri ini. Waktu telah mengantarkan kami untuk berubah posisi, dari adik-adik yang diayomi, menjadi kakak untuk adik-adik baru yang juga memulai cerita mereka dari rohis sederhana itu.



“Mungkin, ukhti.. Saya bahkan menyayangi kalian, melebihi saya menyayangi saudara kandung saya sendiri…” ucap seorang ukhti dengan mata berkaca. Suatu hari, dalam sebuah lingkaran di awal senja yang kami jadikan ajang untuk saling bertukar kabar.



Masa muda itu, memang tidak diisi dengan gemerlap lampu-lampu mall atau serunya nonton bioskop. Tidak ada hentakan seru musik yang mengalun atau petualangan-petualangan menaklukkan tempat-tempat baru. Hanya duduk berkumpul di Al Iqra sepulang sekolah. Kadang-kadang ditemani bermangkuk bakso yang dikerubungi beberapa orang. Saling bercerita dan bertukar kabar. Atau membentuk lingkaran dan membacakan nasihat-nasihat dari kisah orang-orang terdahulu. Hanya itu.



Saat ada yang sakit, maka yang lain –tak peduli bahwa kami berbeda kelas sekalipun, akan turut peduli. Meski mungkin hanya sekedar membawakan minyak kayu putih. Atau membantu menumpuk-numpuk kain sarung agar bisa menjadi serupa bantal. Tapi segenap perhatian itu, hingga kini terasa hangat sekali.



Kadang ada yang menangis. Tiba-tiba air matanya menitik sebab tidak mendapat izin untuk mengenakan jilbab yang telah lama ia inginkan, telah selesai ia ilmui.



“Orang tuaku tidak mengizinkan, ukhti…”



Lalu yang lain akan terus memberi semangat. Mungkin hanya sedikit tepukan dan dekapan pada bahu. Tapi percayalah, itu sudah cukup untuk menenangkan, membuatnya merasa segalanya akan baik-baik saja. Mungkin, Allah ingin kita lebih bersabar dalam tiap usaha.



Ada cerita tentang proker-proker yang sederhana. Kajian jum’at di kelas dua ipa satu. Kultum tiap senin dan kamis. Ta’lim kontemporer di hari Sabtu. Atau saat masing-masing dari kita nampak terburu-buru berpamitan sepulang sekolah, karena harus menuju tempat tarbiyah masing-masing. Lalu saat telapak tangan itu saling mendekap, kadang salah seorang dari kita berkata,



“Kalau salaman, lihat wajahnya saudarita’, ukh…” ujarnya



Lalu kita akan saling memandang dalam senyum. Dan dosa pun bergugur, dan kita meyakini itu.

Ada banyak cerita di bawah atap Al Iqra. Mengapa selalu senang saya ulang-ulang? Terasa melankolis atau terlalu mendramatisirkah? Terserah. Apapun namanya, bagaimana pun orang lain menganggapnya. Tapi, bagi saya, setiap mengingat kembali berbagai kejadian-kejadian itu, saya tergugu bahwa langkah yang telah jauh ini berawal dari sana. Dan awal itu tidak mudah. Ada geliat-geliat semangat masa muda yang kadang meminta untuk diredam. Ada berbagai macam hal yang dimulai dengan susah payah. Ada cerita-cerita indah yang seharusnya bukan hanya berakhir sebagai nostalgia, tapi juga sebagai cadangan energi saat datang masa-masa berat di langkah selanjutnya. Dan nikmat pemilihan itu dulu, tidak seharusnya kita sia-siakan. Bukan manusia yang memilihnya, khan? Bahkan bukan diri kita sendiri juga. Tapi, Allah; Rabb semesta alam.



Masing-masing kita tidak akan pernah tahu sampai kapan kita diizinkan berada dalam kondisi ini. Masing-masing kita tidak dapat menjamin dan dapat tenang dengan keadaan kita sekarang. Tapi bukankah, tidak salah jika kita terus berusaha untuk bertahan? Untuk saling bernasihat dalam kebenaran dan kesabaran. Lalu mendoakan tanpa saling mengetahui, untuk kebaikan dunia dan akhirat masing-masing.



Rasanya, perjalanan ini masih sangat panjang. Dan bukankah, akhir hidup masing-masing kita tidak ada yang mengetahuinya. Apakah semangat itu masih sama seperti awal kita memulainya dulu, ataukah kita akan menjadi bagian yang gugur dan tergantikan? Entahlah.



Di bawah atap Al Iqra. Ada banyak cerita tentang langkah pertama masing-masing kita. Dinding-dinding yang bisu itu kelak akan yang akan menjadi saksi, atas masa-masa dahulu yang kita habiskan untuk memulai tapak pertama di jalan yang sepi ini.



Ya muqallibal qulub, tsabbit qalbi ala diinik..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)