Minggu, 31 Juli 2011

Sedih yang Menular


Bukankah kesedihan itu menular? Sebab manusia memiliki hati yang bergetar saat melihat air mata manusia lainnya. Juga suara sesunggukan yang datang dari sedih itu. Atau kejadian-kejadian penuh haru yang terpampang di hadapan mata. Itu yang siang ini saya saksikan.

“Dek, tidak ada agenda di posko siang ini, khan?” tanya kakak di ujung telepon yang lain. Selanjutnya, beliau menawarkan kami untuk turut membantu dalam penyelenggaraan jenazah; seorang ibu dari akhwat yang tinggal di daerah ini meninggal kemarin sore.

Meski pada akhirnya kami tidak ikut dalam prosesi tersebut –karena cukup banyak keluarga beliau yang lebih berhak turun tangan, tetap saja suasana seperti ini menyimpan kesan sendiri bagi saya. Aura kesedihan yang membumbung seperti awan di langit-langit ruangan. Tempat sebuah jasad dibaringkan dengan kaku. Tertutup selembar kain batik di atas tubuhnya. Tidak berdaya. Demikiankah saya pun nanti pada akhirnya?

Awal masuk di ruangan tersebut, suasana masih cukup kondusif. Para ibu-ibu hanya saling bercakap dengan suara kecil. Beberapa panganan ringan nampak di hadapan mereka. Anak kecil hilir mudik di ruangan itu tanpa beban.

“Untungnya, tidak ada yang menangis jejeritan...” bisik saya kepada teman yang datang bersama datang ke rumah duka itu.

Akhwat yang ditinggal oleh ibunya itu nampak berwajah sembab. Mungkin masih tersisa dari tangisnya yang kini tak tampak. Tapi, ia terlihat cukup tenang. Saya, mencoba membayangkan jika berada di posisinya sekarang. Saya menghembuskan napas; tak sanggup.

Tak lama berselang. Suara kasak-kusuk terdengar dari luar. Rupanya, seorang anak dari si mayit yang datang jauh dari Jayapura telah tiba. Ia memasuki ruangan itu disambut oleh beberapa orang ibu yang nampak tidak sanggup menahan air matanya. Pemuda itu duduk di sisi kanan mayat ibunya. Dan tangis itupun tumpah. Akhwat yang tadi terlihat tenang mendekat pada saudaranya, mendekapnya, lalu ikut larut dalam sedih. Pemuda itu membuka kain yang menutup wajah sang ibu. Menatapnya lekat, lalu menangis sesunggukan. Ah, betapa sedihnya pasti yang ia rasa. Mungkin, telah lama ia meninggalkan kampung halaman. Meninggalkan pintu syurga yang paling tengah itu dan pergi untuk mencari hidup di pulau lainnya. Maka saat ia kemudian kembali, ternyata sang ibu telah pergi. Jasadnya yang ada di hadapan kini tanpa nyawa. Bukankah, tidak ada lagi kesempatan meminta maaf, atau menunjukkan bakti, bahkan yang paling kecil sedikitpun? Betapa sedihnya.

Maka ini adalah tentang bagaimana kita memanfaatkan setiap detik membersamai orang-orang di sekitar kita. Berlaku baik dan memberi manfaat terbaik kepadanya. Sebab mereka tidak hidup selamanya. Mereka punya waktu akhir, titik ujung tempat mereka kembali ke asalnya. Dan saat menyaksikan itu, kita juga tentu memendam tanya; bagaimana diri kita pada akhirnya? Adakah akan mudah saat nyawa itu tercerabut? Tapi bukankah, bahkan Rasulullah Shallalahu alaihi wasallam pun merasakan sakitnya? Ah, tentunya terlebih lagi kita.

Jangankan saat nyawa tercabut, bahkan saat sedikit nikmat kesehatan saja diambil oleh Allah, maka dengan mudahnya kita akan tidak berdaya. Terbaring di atas kasur, mengharapkan bantuan orang yang lain. Saat itu, istighfar mungkin akan lebih mudah terucap. Nama Allah akan terus terngiang.

Namun, saat kesehatan itu datang kembali, rupanya kita lebih sering lupa, lalu larut dalam kehidupan yang tidak menyisa jeda untuk berpikir tentang kesudahan kita. Tentang kampung akhir kita kembali nantinya; akhirat.

Maka, atas setiap kabar berpulangnya saudara kita yang lain. Mungkin pula, atas jatuh sakitnya anggota keluarga yang kita cintai, semoga itu bisa menjadi nasihat bagi masing-masing kita. Betapa manusia tidak berdaya, kecil, dan lemah. Pun terbatas waktunya, tidak abadi masanya. Kitalah ini manusia, yang tanpa sadar terus berjalanan mendekati waktu kesudahan kita. Mungkin nanti, besok, atau sedetik lagi. Risalah ini, semoga menjadi penanda, betapa hari ini kita berbagi, untuk saling bernasihat dalam kebenaran, dan saling bernasihat dalam kesabaran. Wallahu a’lam.

Soppeng Batu-Batu, 26 Juli 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)