Minggu, 31 Juli 2011

Aqiqah


Hari ini, seorang bayi berusia delapan hari telah memberikan kemanfaatan kepada kami. Bermula dari kegiatan pendataan gizi yang dimandatkan kepada pasukan KKN dari Universitas, suatu sore kami melangkahkan kaki masuk dari rumah ke rumah untuk mencari para bayi dan balita yang akan kami data. Hingga kami sampai di sebuah ruko dimana biasanya kami memesan kue untuk kegiatan seminar dan penyuluhan. Pemilik toko itu kerap disapa Pak Aji. Beliau masih cukup muda untuk seorang haji, pun sebagai seorang bapak yang terlihat sudah cukup sukses dengan tokonya.


Di hari pendataan itu, memang sudah nampak ada yang sibuk-sibuk di ruko tersebut. Kelihatannya, sebuah perhelatan akan digelar di sana. Dan benar saja, agenda pendataan di rumah itu berubah menjadi acara makan kue pula. Sebab, oleh Pak Aji yang baik hati, kami dipersilakan untuk naik ke lantai dua, yang tadinya bertujuan untuk sekadar bertemu dengan istri beliau untuk melakukan pendataan, malah menjadi plus-plus karena kami disuguhkan kue dan teh hangat.


Dan aha! Kami juga mendapatkan undangan untuk esoknya datang menghadiri acara aqiqah anak kedua beliau yang berusia sepekan di hari itu. Yah, setelah penantian yang panjang akan undangan (makan-makan) kepada kami –mahasiswa kkn yang mulai krisis dan melarat memuki bulan ke-2, akhirnya ada juga yang berkenan mengundang kami untuk datang. Dan dengan suka cita dan semangat empat lima, tentu kami tidak akan melewatkan undangan itu!


Maka ini bukan hanya sekadar tentang makan siang gratis yang menyenangkan, atau tentang deretan kue-kue yang manis dan membuat kami sumringah, tapi lebih dari itu; keinginan Pak Aji untuk mengundang kami datang; kami yang teman bukan, keluarga bukan, yang kebanyakan tidak mengerti bahasa bugis dan hanya bisa tersenyum sambil mengangguk-angguk sok mengerti saat mereka menggunakan bahasa daerah itu. Pak Aji yang dengan ikhlas dan senyum yang membuat kami nyaman, ingin menerima kami dengan tangan terbuka. Bercakap tentang masa-masa KKNnya yang lampau, juga tentang bagaimana ia menjadi ayah siaga untuk istri dan anak-anaknya. Semua itu, terasa hangat sekali.


Dalam momen itu pula saya menyaksikan bagaimana si adik bayi nampak begitu lucu. Sekaligus nampak sangat kecil dan tidak berdaya. Tentu, tanpa bantuan dari para orang dewasa, terlebih lagi dari kedua orang tuanya, ia tidak akan bisa melakukan apa-apa. Bukankah kita pun pernah melalui masa itu? Masa lemah saat kita akan menangis keras karena hal kecil yang mengganggu. Masa dimana kita akan begitu takut dengan hal-hal asing yang pertama kali kita temui. Atau saat langkah kita masih tertatih dan begitu banyak hal yang tidak kita mengerti. Tapi, mereka selalu ada. Mereka; kedua orang tua yang setia mendampingi. Yang bersorak riang agar kita tidak menangis saat terjatuh dalam pelajaran berjalan di masa kecil dulu. Orang tua yang rela berberat-berat menggendong saat kita sudah lelah berjalan kaki. Mereka yang dekapanannya pertama kali datang saat rasa takut menerpa dan rasa sedih menghinggap. Mereka yang tiap sentuhannya terasa memiliki ‘muatan listrik’ tersendiri saat sampai ke kulit kita. Mereka yang bangkit di malam yang hening, lalu berdoa untuk kebaikan kita, dengan ditingkahi bulir-bulir air mata yang nampak jarang jatuh di hadapan kita; agar kita belajar untuk kuat. Agar –yah, kita sadar bahwa hidup memang terkadang begitu keras!


Maka saat ini, dimasa langkah kita sudah teramat kuat. Saat kita mungkin akan agak kesal menunggu orang tua kita yang kini tidak selincah dahulu. Yang mungkin akan sering bertanya itu dan ini. Juga mungkin meminta dilayani. Mungkin, kawan, ada baiknya jika kita mengingat, betapa ada masa dimana kita sama sekali tidak berdaya tanpa mereka. Saat kita bisa dengan mudah dimangsa oleh hewan-hewan yang saat ini mungkin nampak kecil, namun saat itu begitu raksasa. Tapi ada mereka, bapak dan mama yang selalu berada di garis terdepan untuk menjadi wasilah Allah untuk melindungi kita.


Hari ini, seorang bayi berusia delapan hari telah memberikan kemanfaatan kepada kami. Pelajaran tentang ketulusan, keikhlasan, dan kebaikan budi yang tentunya lebih indah jika kita balas dengan hal yang sama. Wallahu a’lam.

Soppeng Batu-Batu, 28 Juli 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)