Minggu, 31 Juli 2011

Padamu, Lelaki Shubuh


“Katakanlah: "Aku berlindung kepada Tuhan Yang Menguasai subuh” (QS. Al Falaq [113]:1)


Bagaimana kejadian di subuh hari? Saat dinginnya menjadi hangat dengan selimut yang ditarik semakin erat. Sehingga kombinasi ini mencipta suasana yang sangat mendukung untuk melepas penat dan mengharapkan tambahan tenaga dari pulas untuk aktivitas di pagi hari. Tapi, ada sesuatu yang tak dapat terluputkan. Tentang masa yang hadir setiap harinya, namun mungkin, bagi sebagian orang seringkali luput dan agak sulit untuk ditemui. Waktu subuh yang hening.

Padahal, telah tersedia dunia dan seisinya pada masa itu. Bukan! Bahkan lebih dari dunia dan seisinya untuk dua rakaat yang ditegakkan sebelum fajar. Lebih dari itu, ada keutamaan untuk hadir berkumpul pada shaf-shaf yang rapat bagi kaum lelaki. Melepaskan diri dari cengkaraman sepaket tempat tidur dan selimutnya. Lalu bangun berdingin-dingin dengan kucuran air yang mengalir dari keran. Mungkin, dengan mata yang masih segaris , kemudian meraih pakaian takwa, lengkap dengan sarung dan peci. Ya, harus bergegas! Harus bergegas!

Melewati potongan malam yang tersisa, pekat. Dingin. Sunyi. Diantara rumah-rumah yang penghuninya masih tenggelam dengan mimpi. Ataupun para pelajar yang tertidur di atas tumpukan buku di meja belajar masing-masing. Mereka, para lelaki subuh menerobos itu semua. Menuju sebuah titik yang darinya lamat-lamat terdengar suara dari menara. Suara yang memanggil. Mengingatkan, bahwa di sana ada sesuatu yang jauh lebih baik dari tidur. Subuh datang. Sambut dia!

Lalu tiap rakaat ditegakkan. Ayat-ayat diuntaikan. Mungkin dengan suara yang masih menyisa parau dari sang imam. Mungkin, hanya dengan beberapa bari shaf saja, bahkan dengan beberapa orang saja. Mereka, mungkin para lelaki dengan umur yang semakin senja. Yang merasa sudah lebih dekat dari asal muasal ia tercipta. Oleh para pemuda, dengan menggelitik mereka menyebutnya; bau tanah!


Tapi, ah... Semua orang pun sejatinya demikian. Sebab nenek moyang kita semula dari sana. Masalah keyakinan; akan dekat atau jauhnya ajal, sebenarnya bukan masalah umur yang semakin menua. Sebab sejarah manusia, telah mengajarkan bagaimana belia pun dapat lebih dahulu menjemput ajal. Bagaimana jika kita sadar saja, dan mempersiapkan segalanya dari sekarang


Sebenarnya memang telah terasa, bagaimana subuh ini lebih menggigit dan mengilukan. Dingin. Dan benar saja, saat rakaat pertama mencapai rukuknya, hujan mulai turun dan menggegerkan atap-atap rumah. Demikian juga dengan kubah masjid itu. Basah.


Semakin dekat pada salam, semakin keras hujan turun. Hingga shalat subuh benar-benar selesai, tak ada pertanda hujan akan usai. Lelaki dengan janggut memutih itu memandang ke luar masjid. Hari kelabu, lebih gelap dari biasanya. Ia melanjutnkan dzikir, berharap saat selesai dari dzikirnya, hujan pun lebih mereda. Agar ia bisa pulang. Agar ia bisa segera bersiap untuk kembali mencari penghidupan. Tapi hujan terus turun. Rintiknya seolah tak ada keinginan untuk henti.

Kini, lelaki itu berdiri di ambang pintu masjid. Satu persatu jama’ah yang lain berlarian pulang dengan berpayungkan sajadah. Mungkin, rumah mereka relatif lebih dekat. Namun, tidak dengannya. Entahlah, dia ingin menunggu saja. Menikmati hujan subuh hari dan ketenangannya. Kesejukannya. Lalu mencoba memikirkan penciptaan dan pengakhiran dirinya. Dan bagaimana pembangkitannya, yang mungkin banyak dilupakan, atau bahkan didustakan.

Diantara rintik hujan yang tidak usai itu. Ia melihat warna lain selain kelam. Payung bercorak bunga yang nampak dibawa oleh seseorang dengan tubuh yang lebih kecil darinya.


“Bapak, ayo pulang! Saya bawakan payung untuk bapak!” ujar anak perempuan itu sambil mengansurkan payung kepada lelaki tadi.

Sang lelaki tersenyum. Subuh dan hujan. Dan seorang ananda yang menjemputnya pulang.

“Kelak, Nak. Jadilah kau hamba yang selalu menanti subuh datang.” lirihnya.


Soppeng dan Subuhnya yang dingin, 25 Juli 2011

Tiba-tiba hadir siluet sosok bapak yang berjalan diantara subuh,

dan suara dzikir pagi mama tak lama setelah itu. Ah, rindu!



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)