Minggu, 28 Februari 2010

Dia Itu, Arai-ku!


Entah dari mana saya harus menulai menulis tentangnya. Hingga akhirnya saya memutuskan untuk kembali mereka-reka sosok Arai dalam salah satu kisah nyata favorit saya, Sang Pemimpi. Arai yang digambarkan sebagai seniman kehidupan, yang dalam usia sangat muda harus menerima takdirnya sebagai lone ranger, simpai keramat, manusia terakhir dalam klannya; sebatang kara!

Namun, ditengah takdirnya itu, rupanya ia adalah orang yang justru menghibur Ikal, keluarga jauhnya yang mendapati dirinya dalam keadaan yang menurutnya sangat mengenaskan. Anak kecil yang sendirian. Tapi Arailah yang kemudian membuat Ikal tersenyum saat matanya berkaca menahan haru menyaksikan keadaan anak sekecil itu. Selanjutnya Arai banyak mengajarkan tentang nilai hidup dan cara-cara untuk menghadapinya dengan cantik. Dengan tersenyum.

Sosok itu yang lamat-lamat menjelma nyata di hadapan saya beberapa waktu yang lalu. Saat di siang yang cerah saya dikagetkan dengan sebuah sms yang masuk ke hp saya yang baru reda dari sakitnya yang kadang kambuh –muncul hilangnya sinyal saat saya berada dalam ruangan.

Sms yang membawa kabar berita yang tidak mengenakkan –bahkan sangat tidak mengenakkan itu membuat saya terhenyak. Membuat saya terdiam dalam sunyi, untuk selanjutnya berpikir lama dengan mata berkaca, mencoba menempatkan diri saya dalam posisi yang saat ini dihadapi saudara saya, sahabat kental saya sejak kecil, yang beberapa waktu sebelumnya saya abadikan sosoknya dalam sebuah puisi.

Pesan singkat itu memuat kabar, bahwa ibunya meninggal dunia. Lima tahun setelah sang ayah juga berpulang. Di malam yang sama, di tanggal yang sama. Malam Jum’at, tanggal delapan belas.

Saat Allah Yang Maha Menguasai Kehidupan menakdirkan ayahnya untuk tutup usia, kami masih duduk di bangku SMA. Menikmati masa-masa puncak remaja di kelas dua. Waktu di sebuah malam saya tiba-tiba kaget dengan telepon dari salah satu sobat karib kami yang lain, mengajak saya pergi takziyah ke rumahnya.

Waktu itu, sudah beberapa hari berselang ayahnya pergi, kabar itu baru sampai kepada kami. Dia rupanya terlalu shock untuk berbagi duka itu sebab katanya ia berkali-kali pingsan saat mendengar kabar tersebut. Wajar, sebab ia masih sangat muda kala itu. Dengan empat orang adik yang juga dalam tanggungan yang tak ringan, sementara kakak tertuanya mendapat mandat untuk segera melangsungkan pernikahan atas wasiat sang ayah sebelum wafat. Pernikahan yang berarti akan dibawa pergi suami, meninggalkan adik-adiknya, sekaligus menjadikan kawan saya itu sebagai sulung dari saudaranya yang lain.

Dan dari sanalah kisah ini dimulai. Saat hidup baginya adalah sejatinya perjuangan. Jauh dari saya yang mungkin akan langsung cemberut hanya dengan satu kali gertakan ayah saya. Ia bahkan digertak dengan kehilangan ayah untuk selamanya. Tapi ia bertahan. Ia lewati semuanya dengan kesehatan ibunya yang semakin hari semakin menurun. Keluar masuk rumah sakitnya sang bunda, adik kecilnya yang harus masuk sekolah, adik keduanya yang memulai SMA, dan dirinya yang harus segera menentukan perguruan tinggi. Entah bagaimana caranya ia menghadapi itu semua sambil sesekali menelepon ke rumah saya, menanyakan kabar orang tua saya, lalu berkelakar dengan khasnya dan membuat saya terpingkal! Ya, semuanya ia hadapi dalam waktu bersamaan. Ia, dengan umur yang bahkan lebih muda beberapa bulan dari saya. Dengan postur yang jauh lebih kecil dari saya. Subhanallah…

Dan puncak saya mendapati bayang-bayang Arai adalah hari dimana saya terus berusaha menyembunyikan setitik air mata di sudut mata, dalam perjalanan menuju rumahnya sehari setelah ibunya meninggal. Dalam perjalanan panjang dari kampus ke sana, saya membayangkan akan menghadapi teman masa kecil saya (yang dulu teramat sangat cengeng dan hobi nangis itu) dalam keadaan berlinang air mata. Yang akan sesunggukan di pelukan saya, dan sayapun telah menyiapkan nasihat-nasihat tentang takdir dan doa anak soleh.

Tapi yang saya hadapi ternyata benar-benar sosok Arai. Dia menyambut saya dengan peluk hangat dan mempersilakan saya masuk di rumah mungilnya dengan senyum di sudut bibir. Selanjutnya bercerita bahwa dia akan tinggal di rumah itu sebagai yang tertua, di usianya yang tentunya belum cukup untuk bertanggung jawab atas amanah sebesar itu. Sambil berkelakar, ia menyebutkan bahwa berkali-kali ia mengoceh pada adik-adiknya, dan mengatakan bahwa itu cara paling ampuh untuk menahan tangis.
“Daripada saya menangis, Din. Mending saya marah-marah!” ucapnya

Lalu saat saya menunaikan shalat di rumahnya itu, saya kembali mendengarnya mengoceh pada sepupu kecilnya,
“Jangan nakal, memangnya kamu mau kayak kakak, sudah tidak punya ibu, sudah tidak punya bapak!” katanya dengan santai
Dan sayapun tak dapat membendung air mata itu dalam sujud terakhir saya, dengan beruntai doa agar hidupnya selalu dalam kemudahan. Lalu ba’da shalat saya setengah mati mengusap mata agar ia tidak mendapati saya menangis untuknya, sementara hari itu, tak setetes air matapun yang ia kucurkan di depan saya.
“Mungkin karena Abah sudah lebih dulu, Din. Ibu juga sakit sudah lama, mungkin saya jadi lebih siap” ujarnya sambil menatap ke langit langit ruangan. Dan sayapun hanya dapat memandang sosok mungilnya dengan wajah haru bercampur ketakjuban. Betapa Allah memang hanya menimpkan uji yang berat kepada mereka; survivor kehidupan yang sanggup bertahan.
Wallahu a’alam.

tentang sahabat masa kecilku. Saudariku, semoga Allah selalu memberkahimu!

sumber gambar:http://pixdaus.com/pics/1243252566jCZ2KYQ.jpg




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)