Kamis, 01 September 2011

Nanti, Akan Ada Waktunya




Lebaran adalah waktunya ngumpul. Terutama dengan kerabat dan para kenalan yang sudah lama tak bertemu. Seperti hari ini, saat Bapak dan Ibu mengajak kami untuk mengunjungi rumah guru-guru mereka. Sepasang suami istri yang dahulu pernah membagikan ilmunya. Bahwa hingga hari ini keduanya masih tetap hormat dan ingat pada sang guru, saya pikir dahulu memang mereka bukan hanya belajar tentang masalah formal yang akan didapatkan di bangku kuliah. Lebih dari itu, dari kedua pasangan ini,bapak dan ibu pasti telah banyak belajar tentang kehidupan.

Yang lelaki adalah seorang pria berusia senja yang masih jelas sisa-sisa ketampanan masa lampaunya. Konon, di usianya yang sudah berjumlah banyak, beliau masih kerap mengisi kelas-kelas kuliah dan menyetir mobil sendiri. Sorot matanya begitu tenang dan menenangkan. Gelar doctor honorist causa ia dapat atas keahliannya di bidang bahasa Arab. Karenanya, Ibu bercerita bahwa beliau kerap kali menetaskan air mata saat membaca ayat-ayat tentang adzab.

Yang wanita, dahulu adalah seseorang yang menjejakkan langkahnya di tanah-tanah asing Afrika Utara. Mesir menjadi saksi bagaimana ia bergulat dengan ruang dan waktu hingga meraih gelar Lc, saat para wanita kebanyakan masih jarang mendapatkan pencapaian yang sama. Keduanya saling berjumpa dan memilih untuk menancapkan perjanjian agung untuk hidup bersama, menua bersama.

Namun, seberapa gilang gemilangnya masa lalu, waktu ternyata tetaplah yang menuntun kita pada sunnatullah. Keduanya kini tiba pada masa dimana bahkan pembuluh-pembuluh kecil yang tersumbat itu dapat membuat runyam segalanya. Di masa itu pula penglihatan mereka sedikit demi sedikit tidak lagi seterang yang dulu. Kaki dan tangan yang dahulu lincah kini tidak dapat lagi diajak berkompromi; pergerakan jadi begitu lambat dan terbatas. Mereka, telah sampai pada fase “turun gunung” dalam kurva hidupnya. Mungkin, hampir sejajar dengan titik kala masa balita.

Maka demikianlah, nanti akan ada waktunya kita kehilangan sebagian besar power yang kita punya. Di masa itu, seberapa ingin pun kita berbuat sesuatu, akan ada yang membatasi segalanya. Seberapa mandiri apapun kita, akan tiba masa dimana kita butuh bantuan orang lain, bahkan untuk hal-hal yang sepele sekalipun.

Seseorang pernah ‘ditegur’ oleh kawannya yang lain saat menanggapi semangat ibadahnya di masa pemuda. Dengan tenang dan senyuman ia hanya menjawab, “Mumpung saya masih kuat!”. Ya, mumpung kita masih ada kekuatan! Sebab, nanti akan tiba masanya kita hanya dapat terbaring tidak berdaya, tanpa dapat berbuat apa-apa!


Seorang kakak juga pernah menasihatkan, sambil membakar semangat mereka yang bergiat di jalan yang sepi itu –jalan dimana orang-orangnya sibuk memikirkan orang lain.

“Nanti akan tiba masanya,” ujarnya sambil menatap mata mereka satu per satu. “Masa dimana kita beristirahat, dan tidak lagi dibebani dengan beban-beban ini. Tapi, tidak sekarang!”
Lalu sore harinya, kembali lagi kami diajak untuk mengunjungi kawan lama Ibu yang tertimpa musibah. Masih dalam suasana yang seharusnya suka cita, rumahnya terlalap api dan hanya menyisakan tembok-tembok hangus. Hanya televisi dan dua buah kipas angin yang terselamatkan. Kawan ibu itu, seorang janda yang mengantarkan anak-anaknya pada jalan hidup yang lurus, kami tahu hidup dengan teramat sederhana dan bersahaja.

“Tidak ada benda apapun di rumah ini, kecuali televise, kipas angin, dan lima lemari buku yang sayangnya ikut terlalap api.” Ujar beliau. Lalu ia melanjutkan cerita tentang laptop yang tidak sempat terselamatkan. Benda eletronik yang menyimpan data disertasinya untuk tugas akhir studi doctoral. “Tapi tidak apa-apa. Itu masih bias dikerjakan lagi nanti…” ia berucap sambil tersenyum. Saya memandangnya dengan terenyuh. Nampaknya, ekspresi saya lebih mirip korban kebakaran dibandingkan orang yang datang memberikan belasungkawa.

Dan ya, nanti bisa saja datang masa dimana kita akan kehilangan segalanya. Dan saat itu, kembali lagi pengakuan kita atas kayakinan bahwa segala hal adalah titipanNya, akan meminta pembuktian.

“Allah akan memberikan ganti yang lebih baik…” ujar beliau masih dalam ketenangannya. Ah…, betapa kecilnya jiwa saya dibanding dirinya!

Maka sebelum segala nikmat itu tercerabut sedikit demi sedikit karena ulah waktu, atau saat ia hilang begitu saja karena takdir yang pahit; mari kita lakukan yang terbaik, dalam perbuatan, perkataan, bahkan dalam isi hati.


Sekali lagi saya selalu merasa tidak pantas dengan tulisan macam ini. Namun, seorang kawan menasihatkan, bahwa tidak aka nada kebaikan yang kita tuliskan saat menunggu diri ini telah sempurna melakukannya. Tuliskan saja, dan jadikan cermin untuk semakin semangat mengamalkannya. Sebab mata inilah yang paling pertama membacanya. Sebab jemari inilah yang tertakdir menuliskannya.

(Kamar Indy, 1 September 2011)

gambar:https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgos1nv-hWyezfZTQLqbKJ-_5j_VlaG9j93U4bpQc2k_mqrVxZjaZQycjsIIzFjVK4fL2faeX0jElOy_zny9lp5I6cVxcE7NuMdgW-_rAm-rHC2Rvh-KGJD_Sh9X0Cehe8Zp6G2un5cGxbo/s1600/sketchbook+leaf.jpg

3 komentar:

  1. Sarat Makna diena,,,
    siapakah sepasang suami istri itu??mnetap di Makassar??

    BalasHapus
  2. ah... semoga kan ada selalu semangat yang lebih hingga tapak terakhir perjuangan...

    BalasHapus

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)