Sosok itu memang tidak biasa. Ada beberapa keunikan yang berkumpul pada
dirinya. Ia bukan seorang yang lahir dalam keadaan Islam. Ia bahkan menerima
Islam dan menjadikannya sebagai jalan hidup, saat sudah melewati usia baligh. Selain itu, ia pun berasal dari
etnis yang tergolong minoritas. Ditambah lagi, mayoritas etnisnya itu bukanlah
seorang muslim.
Tapi, fakta tersebut tidak membuatnya menjadi penganut Islam KTP. Islam
merasuk pada dirinya. Lelaki itu, benar-benar menerima Islam sebagai identitasnya.
Seutuhnya. Ia kagum pada salah satu sosok pejuang Islam yang namanya mengharu
biru dalam sejarah. Mujahid yang ia kagumi itu adalah seorang tokoh yang gilang
gemilang karena berhasil melakukan penaklukan yang fenomenal. Seorang panglima
yang lihai. Sedangkan lelaki itu, mungkin memang tidak meneladaninya dengan
jalan pedang. Namun, ia memiliki pena yang tajam.
Setiap kata-katanya tersusun rapi dan mewujud menjadi karya. Ia membawakan
kebenaran dengan jalan yang ringan dan indah, dan banyak yang menyukainya. Ia
benar-benar mewakafkan dirinya sebagai penyampai kebajikan, yang nyatanya
berhasil memikat berbagai pasang mata untuk menyimak perkataannya. Ia bukan
hanya menyeru pada kebaikan, namun juga lantang untuk menyampaikan upaya
mencegah dari hal-hal yang munkar. Bahkan meski kemunkaran itu sudah dianggap
sesuatu yang biasa, atau meski kemungkaran itu bahkan dibenarkan oleh
orang-orang yang mengaku punya ilmu agama pula. Dan fakta bahwa ia adalah
seorang mualaf dari etnis minoritas adalah sebuah keunikan yang membuatnya
piawai untuk berbicara tentang perbedaan, untuk menunjukkan bahwa apa yang
dianggap tidak mungkin, bisa menjadi mungkin dengan keimanan.
Tapi, cobalah mengetik namanya dengan mesin pencari di dunia maya. Maka,
kita akan menemukan bahwa bukan hanya ‘pengikut’-nya yang banyak, tapi ternyata
ada pula yang tidak menyenangi langkahnya. Yang tidak menyenangi itu bukan
melulu berasal dari mereka yang memang sejak awal membenci Islam. Tapi, justru
ada pula dari kalangan yang juga mengaku tengah berada di jalan Islam yang
sama, namun memiliki pemikiran yang berseberangan dengannya.
Namun, ia tetap terus berjalan. Seperti al-Fatih yang mengobsesikan
takluknya Konstatinopel, lelaki itu memimpikan hal yang sama; tegaknya kalimat
Allah di bawah bendera khilafah. Sebuah mimpi yang seharusnya berada di dalam
dada setiap kaum muslimin. Sebuah mimpi yang dieksekusi dengan kadar yang
berbeda, pun dengan cara yang berbeda oleh banyak orang. Keunikan dan fakta
bahwa ia diterima oleh banyak kalangan membuat para pembencinya juga
bermunculan. Entahlah, mungkin bagi mereka, lelaki itu adalah kebenaran yang mengancam.
Di satu sisi, hari ini banyak sekali individu maupun pihak-pihak tertentu
yang juga sedang memperjuangkan kebenaran, lewat cara-cara yang mereka yakini
efektif. Cara itu mungkin akan terlihat tidak sama, bahkan ada pula yang nampak
bertentangan. Namun sejatinya, itu semua bermuara pada satu tujuan yang serupa,
yakni kemenangan Islam.
Tegaknya syariat Islam sudah seharusnya tidak menjadi phobia bagi siapapun.
Toh dahulu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam pun menegakkan agama ini sambil hidup berdampingan dengan damai
dengan para penganut agama yang lain. Selama mereka taat pada pemerintahan
Islam, maka mereka aman, bahkan memiliki hak-hak yang harus ditunaikan dengan
sangat adil. Maka menjadi pertanyaan yang teramat aneh, saat ternyata kaum
muslimin sendiri yang merasa takut dengan penegakan Islam. Ini jelas-jelas
sebab mereka belum benar-benar menegerti, bagaimana manfaat dan kebaikan yang
akan dibawa dengan diterapkannya aturan Allah. Seperti seorang bocah yang enggan
makan sayur hanya karena belum mencobanya saja. Ia sudah terlanjur senang makan
permen dan kue-kue manis padahal dikemudian hari, makanan itulah yang membuat
giginya berlubang dan batuk datang.
Sebagian umat hari ini, memandang syariat sebagai sebuah jalan yang sulit,
bahkan menganggapnya akan mengekang apa yang mereka sebut sebagai hak asasi.
Mereka terus melakukan hal-hal yang jelas-jelas bertentangan dengan nilai
Islam, tanpa menyadari bahwa itu semua hanya membawa pada kehancuran, baik di
dunia, terlebih lagi di akhirat kelak. Jelas saja, sebab nyatanya hari ini kita
berada dalam keterasingan yang kedua. Ghurbatuts
tsaani, saat kebenaran, penegakan al Qur’an dan as Sunnah itu dianggap
sesuatu yang aneh dan tidak up to date.
Persis seperti yang dialami oleh kaum kafir Quraisy yang kala itu sudah teramat
jauh dari ajaran Nabi Ibrahim. Mereka sudah terlalu lama tidak mendengarkan
ajaran yang shahih sebab terjadi masa dimana terputusnya para utusan, nabi dan
rasul. Akhirnya, saat Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam muncul di tengah-tengah mereka, membawa ajaran dengan inti
yang sama persis dengan apa yang dulu didakwahkan oleh pendahulu mereka, Nabi
Ibrahim dan Ismail, para kafir Quraisy itu, tidak bisa lagi menerimanya. Cahaya
yang terang benderang itu mereka abaikan dan mereka anggap sebagai dongeng
orang terdahulu belaka. Penyembahan berhala mereka sucikan dan mereka kira
merupakan jalan untuk menyembah Tuhan. Khamr dan zina mereka lazimkan dan
mereka anggap sebagai hal yang biasa. Saat ajaran Islam datang, mereka melongo,
mereka terkaget. Mereka menertawakannya dan menganggapnya layaknya lelucon yang
hanya akan diterima oleh para budak dan orang tertindas saja.
Saat ini, masa dimana kebenaran juga tengah berada di jarak yang nampak
begitu jauh. Maksiat menjadi leluasa menunjukkan diri. Sementara umat menjadi
bingung dengan munculnya penyeru-penyeru dengan tampilan surban dan gamis,
namun memelintir ayat; mengatakan yang bathil sebagai haq, dan mengatakan yang
haq sebagai bathil. Mengatakan jilbab tidak wajib, dan menganggap pilihan
membuka jilbab adalah hak asasi yang tidak sepatutnya dipertanyakan dan
dipermasalahkan. Inilah zaman dimana bidang ilmu lain hanya akan didengarkan
jika dibicarakan oleh pakarnya, kecuali tentang agama. Saat berbicara tentang
agama, seolah-olah semua orang berhak, bahkan yang tidak berilmu sekalipun.
Sungguh tidak adilnya...
Saat itulah, kebenaran menjadi terancam. Mereka yang berupaya menegakkan al
Qur’an dan as Sunnah dianggap berlebih-lebihan. Seolah surga begitu murah dan
jadwal kematian bisa diatur kapan saja. Seolah hanya ampunan saja yang Allah
punya, padahal adzab-Nya pun amat pedih. Seolah saat kita mati, kita akan
berakhir seperti tanah yang tidak akan dimintai tanggung jawab atas tiap
amalnya. Berbagai label disematkan kepada mereka yang membawa kebenaran. Para
penyeru kebaikan dianggap patut diwaspadai karena dapat mengancam persatuan.
Mereka lupa, bahwa Islam pernah menyatukan dua per tiga belahan bumi dalam
tempo yang sama sekali tidak pernah bisa ditandingi oleh peradaban apapun.
Kebenaran itu terancam, namun ia tidak akan pernah beranjak. Ia akan selalu
ada. Dijaga oleh orang-orang yang bening hatinya. Mereka yang terpilih untuk
terus berpendar meski kegelapan sudah begitu kelam. Mereka yang tidak akan
pernah goyah dan meyakini bahwa Allah akan menolong orang-orang yang menolong
agamaNya, serta menegakkan kedudukannya di muka bumi ini. Mereka tidak lelah.
Mereka tidak putus asa. Mereka tetap berjuang, meski dalam hening, meski lelah,
meski harus meneteskan peluh bahkan darah. Mereka mengorbankan dirinya,
mengorbankan dunianya, tersebab begitu yakin, bahwa akan ada hari dimana kita
tersadar bahwa dunia ini hanya sekejap saja. Hanya serupa satu jenak masa di
suatu pagi atau senja, jika dibandingkan dengan tempat akhir kelak, akhir yang
tiada lagi akhirnya. Mereka itu para penjaga. Para penyala lentera. Adakah kita
masuk di dalamnya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)