Jika kamu adalah seseorang yang memiliki masa kecil dengan pemandangan alam yang luas, memanjat pohon, mencari capung, bermain di sungai atau pinggir pantai, dan kegiatan-kegiatan berbau alam lainnya -yang belakangan kau rindukan setelah masa dewasa menempatkanmu pada kota-kota besar, maka kau beruntung. Ya, beruntung. Sebab tidak semua anak memiliki pengalaman seindah itu. Percayalah.
Entah sejak kelas berapa SD saya jarang main ke luar rumah. Entah sejak kapan pula saya punya hobi mengumpulkan uang jajan untuk membeli kertas HVS. 'Sungai atau pinggir pantai' saya saat itu adalah sebuah kios tempat fotokopi sekaligus penjual ATK yang tak jauh dari rumah. Dari sanalah saya membeli kertas HVS sambil melirik-lirik model pensil atau pulpen yang lucu. Kertas itu adalah modal untuk menjadi tempat saya 'berkarya'.
Saya pernah menangis di hadapan sejumlah orang kerabat yang kala itu mengunjungi rumah saya. Apa pasal? Sebuah buku cerita yang saya buat sendiri (dengan kertas HVS yang dibentuk serupa buku, lalu digaris-garis dengan manual, ditulisi cerita lengkap dengan gambar ilustrasinya), ketahuan oleh salah seorang tante saya. Kejadian 'ketahuan' itu kemudian menyibakkan rahasia saya yang lain, bahwa buku cerita itu saya buat dengan tujuan untuk disewakan pada teman sekelas, dari sana saya dapat tambahan uang jajan -yang berikutnya diputar kembali untuk modal beli kertas, modal untuk melanjutkan cerita seri berikutnya. Saya menangis untuk alasan yang entah. Apakah saya malu sebab menjadi seorang penyewa buku di usia segitu? Entahlah, saya lupa. Yang jelas saya menangis di depan banyak orang, menyambar buku itu, lari ke kamar dan menguncinya lalu melanjutkan kembali tangisan itu sendirian.
Saya tidur di perpustakaan bapak. Butuh waktu beberapa tahun untuk mengubah kebiasaan orang rumah untuk menyebut ruangan itu sebagai kamar saya, dan bukan lagi ruang baca. Saya pun masih SD saat itu. Dan ruangan kecil itu berisi dua rak buku kayu besar yang menutupi lebih dari separuh tembok kamar.
Di masa SMP, saya mencoba membuat puisi dan cerpen. Juga beralih dari membeli komik ke buku-buku kumpulan cerpen atau novel karya penulis FLP. Dari sana, saya 'berkenalan' dengan Asma Nadia, HTR, Leyla Imtichanah, Pipiet Senja, Afifah Afra, Zaenal Radar T, dan Adzimattinur Siregar. Bapak saya berlangganan majalah Sabili dan Suara Hidayatullah yang ikut saya lahap bersama langganan majalah Annida dan majalah Ummi. Saya pun membeli buku tulis dan menulis lebih dari sepuluh cerpen yang terinspirasi dari kejadian-kejadian di kelas saat itu.
Di masa SMA, arus novel-novel teenlit datang bak air bah. Hingar bingarnya menggemparkan Gramedia. Seiring dengan itu, agaknya fiksi Islami mulai berkurang. Anggota rak buku saya pun mulai 'disusupi' oleh teenlit-teenlit itu. Saya membacanya, meski seringkali mendapati bahwa cerita-ceritanya tidak begitu sejalan dengan apa yang kemarin-kemarin saya baca sebelumnya. Saya masih ingat saat membaca salah satu teenlit yang bahkan sampai diangkat ke layar TV dalam bentuk serial remaja. Di salah satu bagiannya, ceritanya menggambarkan tentang seorang siswi SMA yang dikesankan cupu dan tersisihkan dalam pergaulan karena dia punya hobi membaca dan menulis puisi. Sontak, saya langsung berpikiran, "Lho, berarti saya selama ini...". Hehehe..
Sementara di sekolah saat itu, saya bergabung dengan Majalah Sekolah bernama Jenius'03 dan kelompok anak SMA yang mencoba-coba membuat karya ilmiah; KIR'03. Saya pun masuk rohis dan saat ditanya akan masuk di departemen apa, saya hanya menunjukkan buletin terbitan rohis yang saya dapatkan dari senior dan mengatakan dengan songongnya, "Saya mau masuk di departemen yang membuat buletin ini...". Dan ternyata saya pun jadinya masuk departemen dakwah yang selain membuat buletin juga harus mengisi kultum senin-kamis dan mengurus kajian Jum'at. O-la-la...
Jenius'03 dan Al Iqra'03 |
Sementara di sekolah saat itu, saya bergabung dengan Majalah Sekolah bernama Jenius'03 dan kelompok anak SMA yang mencoba-coba membuat karya ilmiah; KIR'03. Saya pun masuk rohis dan saat ditanya akan masuk di departemen apa, saya hanya menunjukkan buletin terbitan rohis yang saya dapatkan dari senior dan mengatakan dengan songongnya, "Saya mau masuk di departemen yang membuat buletin ini...". Dan ternyata saya pun jadinya masuk departemen dakwah yang selain membuat buletin juga harus mengisi kultum senin-kamis dan mengurus kajian Jum'at. O-la-la...
Hingga masa-masa indah sekolah berakhir, dan saya tetap berjibaku dengan dunia kata-kata. Hingga masa kuliah pun terlewat dan saya telah dua kali mengikuti wisuda, ternyata saya masih berada di jalan yang sama; jalan pena. Dalam pada ini, saya mendapati diri saya telah menemukan arah yang tepat untuk menggoreskan tinta, dakwah bil qalam, namanya. Belakangan, saya baru sadar, bahwa di jalan dakwah pun, saya seperti 'terlalu' terarah untuk menggarap amanah yang senada, tidak pernah jauh-jauh dari dunia kata.
Saya sering menulis hal yang remeh temeh juga, apalagi sejak punya blog sejak bertemu dengan seseorang bernama Pradizza (hey, dimana kamu sekarang?). Saya menemuinya dalam presentasi akhir lomba karya tulis lingkungan hidup saat kelas 2 SMA. Saat saya mengansurkan notebook untuk ia tulisi nama dan no hp-nya, ia pun menuliskan alamat blognya. Darinya, saya belajar membuat blogspot saya yang pertama.
Hal-hal remeh yang saya tulis juga mungkin yang membuat identitas saya banyak terkuak *halah*. Kadang saya bertemu dengan orang yang membuat saya heran karena ternyata mengetahui cukup banyak hal tentang saya.
"Saya baca di blog mu...", terangnya kemudian.
Atau, orang-orang yang menganggap saya akan menuliskan semua hal yang saya alami dan saya saksikan.
"Hei, kejadian yang tadi itu jangan ditulis di blog mu yah..."
Atau, orang-orang yang mengira saya bisa membuat tulisan apapun dengan cara seksama dengan tempo yang sesingkat-singkatnya.
"Ah, saya berikan tema sekarang pun pasti langsung bisa kamu tuliskan, khan... Masa diberi waktu satu malam tapi tidak bisa..."
Hufft... Jika yang diminta adalah tulisan suka-suka seperti yang saya buat sekarang ini, mungkin memang bisa saya buat dengan lebih ringan. Tapi jika tulisannya berat, apalagi dengan tujuan tertentu, atau sebaliknya, dengan arahan yang tidak begitu jelas seperti...
"Buatkan tulisan untuk saya dong... Tentang apa saja boleh.. Tentang saya juga boleh..."
Ayolah kawan, kukatakan padamu, tidak semudah itu... Jika saya harus membuat tulisan yang baik, maka saya harus bertanggung jawab atas itu, dan bukankah kualitas selalu membutuhkan waktu?
Apakah ini keluhan? Maafkan saya yang mungkin memang tidak sepositif Pak Mario Teguh. Jika kamu mulai bosan dengan tulisan ini, silakan tinggalkan saja, sebab saya memang sedang ingin menceracau.
Apakah tulisan ini seperti sedang membuka diri saya terlampau terang-terangan? Terserahlah kalian ingin menganggapnya apa. Hanya saja, tetap tidak baik untuk membahas tentang seseorang atau tentang tulisan seseorang yang bagi kalian tidak pantas dituliskan, apalagi dalam sebuah kelompok-kelompok terbuka atau kelompok rahasia, lalu memberikan komentar-komentar yang tidak menyenangkan tentang hal itu. Saya rasa, itu namanya gosip. Dan, tidak ada manusia yang senang di gosipi. Terlebih lagi, jika kalian bukan berasal kelompok gender yang secara fitrawi memang senang menggunakan mulut dan perasaannya. If you know what i mean... Berhentilah menjudge seseorang dari tulisannya saja jika kamu tidak mengenalnya secara personal. Termasuk, berhentilah berekspektasi yang macam-macam sebelum mengetahui pribadi seseorang. Dan itu, tidak akan kamu dapatkan hanya dengan membaca blognya. Percayalah.
Ok.
Pada titik ini, sebenarnya saya hanya ingin berkontemplasi. Memikirkan kembali perihal eksistensi saya di jalan pena. Khususnya, jalur dakwah bil qalam.
Saya menyenangi menulis, membaca, dan dunia kata-kata. Mendapatkan amanah yang sejalan dengan itu merupakan sebuah kesyukuran yang besar. Tapi juga sekaligus membuat saya jadi sulit membedakan, apakah saya menjalani ini memang karena benar-benar ingin berdakwah, atau hanya karena saya menyenanginya saja?
Jika saja saya punya kesempatan untuk menuliskan kata-kata indah, namun dengan maksud kemunkaran, apakah saya tetap akan melakukannya karena sebab alasan cinta pada dunia tulisan? Atau sebaliknya, jika amanah ini bukan lagi tentang tulis-menulis, apakah saya akan tetap menjalaninya dengan riang gembira seperti sekarang? Memperjuangkannya meski terkadang saya merasa sendirian? Saya mulai mencoba menakar itu, dan melihat ke dalam diri saya sendiri.
Belum lagi bahwa, berdakwah lewat media ini sungguh sangat banyak rintangannya. Sulit menjadi orang yang menyembunyikan amalan sebab salah satu jalannya adalah publikasi. Orang-orang mengenal namamu, mengetahui tulisannya, mungkin membahasnya dengan orang lain tanpa kau tahu. Bahkan, diantara mereka ada orang yang belum pernah kau temui sama sekali. Apakah itu menyenangkan? Ya, di satu sisi mungkin itu bisa menambah jalur-jalur silaturahim, namun di sisi lain juga ada lubang besar yang menganga, yang kapan pun bisa menangkap dan memakanmu kapan saja. Siapa yang peduli dengan popularitas jika nyatanya di hadapan Allah kau bukan siapa-siapa? Dan saat kau terbuai dengan semuanya, apalagi jika sudah disusupi dengan iming-iming harta, maka kau akan kesulitan untuk menemukan makna keikhlasan. Dan dakwah, tidak pernah memerlukan orang-orang yang tak ikhlas.
Di jalan pena ini, saya masih harus bertanya dan melihat ke dalam diri saya sendiri. Saya hanya takut, jangan sampai pahala yang saya harapkan darinya ternyata hanya angan-angan saya belaka. Ternyata hanya bagaikan debu yang akan hilang berterbangan hanya dengan satu kali tiupan angin yang paling sepoi sekalipun.
Saya takut, ternyata ekspektasi saya-lah yang salah. Ekspektasi perihal sesuatu yang saya pikir amalan jariyah namun ternyata bukan. Dan yang salah, tentu saja bukan dakwah bil qalam. Yang salah sudah pasti dia; seseorang yang saat saya berada di depan cermin, dapat dengan mudah saya pandang wajahnya.
Makassar, 26 April 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)