pada sekelebat senyum yg
tertangkap di sudut mata
pada letak-letak titik yg makin
mendekat
pada arah perjalanan yg
membuatmu bertanya
'ke mana kau akan pulang?'
(Sajak Kemana Kau akan Pulang, SSYB pg. 58)
Sejak kejadian ‘bentor
rampok’ beberapa waktu yang lalu, tidak dapat dipungkiri saya mengalami
beberapa perubahan. Hari-hari setelah kejadian itu bahkan saya memutuskan untuk
tidak keluar rumah dulu kecuali diantar dan dijemput. Tapi, sebab hal itu tentu
akan sangat menyulitkan diri saya pribadi dan orang lain, tidak beberapa lama
kemudian, saya mencoba memberanikan diri untuk kembali menjadi bagian dari
pengguna transportasi umum. Saat itu, saya terkadang berjumpa dengan beberapa
orang yang telah membaca tulisan tersebut, kemudian bertanya dengan moda
transportasi apa saya berangkat dan kembali ke rumah, yang selanjutnya bertanya dengan nada
khawatir.
“Kamu tidak trauma?”
Ditanya begitu, saya paling
hanya nyengir saja. Meyakinkan orang tersebut bahwa saya baik-baik saja dan
saya tetap menggunakan pete-pete dan bentor seperti biasa. Meski di dalam
hati, tidak bisa saya nafikan bahwa bahkan hingga hari ini, perasaan insecure –tidak aman, itu masih saja
ada.
Saya menjadi ‘cukup’
khawatir jika harus terpaksa menumpang bentor asing yang bukan langganan di
pangkalan-pangkalan bentor tempat saya biasa berangkat atau turun dari angkot.
Tidak seperti dulu, saat saya akan merasa lebih ringan jika daeng-bentornya gampang deal ongkos,
sekarang saya justru khawatir jika ketemu daeng bentor jenis begitu. Bawaannya
curigaaa saja..
Begitupun saat berada di
angkutan umum lainnya. Jika di angkutan yang sama, apalagi jika sedang sepi,
saya bersama seseorang dengan penampilan yang ‘tidak meyakinkan’, kecurigaan
itu selalu saja muncul. Bahkan mengarah kepada ketakutan dan pikiran-pikiran
paranoid lainnya.
Saya terkadang menghibur
diri dan menganggap hal tersebut hanya sebatas kewasapadaan saja. Tapi ah,
terkadang batas antara suudzhan
dengan waspada memang bisa terasa sangat tipis. Dan baru jika ternyata
kecurigaan itu tidak terbukti, ujung-ujungnya saya akan merasa bersalah karena
sudah berpikir macam-macam tentang orang lain.
Jika diingat-ingat, ‘gangguan
dalam perjalanan’ yang saya alami ini bukan yang pertama kali. Waktu SD dulu
(mungkin sekitar kelas lima atau enam), saya pernah sedang berjalan kaki dari
rumah seorang tetangga dan dalam perjalanan pulang, saya melewati segerombolan
anak muda yang sedang nongkrong. Tanpa saya sadari, rupanya beberapa orang dari
mereka melontarkan semacam kalimat-kalimat dengan maksud mengganggu saya. Saya sejak
dulu punya kebiasaan sering menunduk ketika berjalan, saya pun sebisa mungkin
selalu berjalanan di sisi jalan yang tidak ramai dengan orang-orang, apalagi
kerumunan seperti itu. Sebab berjalan sambil menunduk itulah, saya tidak
menyadari bahwa mereka itu sedang bermaksud untuk mengganggu. Alhasil, saya
tetap melanjutkan berjalan hingga tiba di rumah. Belakangan, baru saya ketahui
bahwa kejadian itu ternyata disaksikan pula oleh seorang tetangga depan rumah
saya, masih terhitung kerabat pula. Tidak senang melihat saya diperlakukan begitu
(bahkan meski saya tidak menyadarinya dan
tidak terjadi apa-apa pada saya),
ternyata di belakang saya, si tetangga itu justru malah jadi ribut dengan
gerombolan itu. Mereka sampai saling berkejaran dan adu jotos hingga lebam dan
bengkak di bagian telapak tangannya karena menghadiahi salah satu dari
gerombolan itu bogem mentah. Baru setelah itu, si tetangga tadi datang ke rumah,
memperlihatkan babak belurnya dan menceritakan kejadian tersebut. Saya tentu
saja kaget. Ibu saya pun mengingatkan untuk lebih berhati-hati lagi, sekaligus
lebih aware lagi dengan sekeliling. Saya cuma mengatakan bahwa di majalah Bapak
saya membaca ada perintah untuk menundukkan pandangan. Ibu saya menjelaskan
bahwa menundukkan pandangan bukan berarti berjalanan menunduk hingga tidak tahu
apa yang terjadi di sekitar. Diberi tahu begitu, saya manut saja sambil menyaksikan
ibu memasangkan perban pada telapak tangan tetangga saya itu.
Di masa SMP pun pernah ada
kejadian yang lain. Saat itu, jarak antara rumah saya dengan jalan raya tempat
angkot lewat bisa ditempuh dengan jalan kaki sekitar sepuluh hingga lima belas
menit. Saban hari saya pulang pergi sekolah dengan aktivitas tersebut. Pada
suatu kesempatan, di hari Jumat atau Sabtu (saya
ingat karena saat itu mengenakan seragam Pramuka), dalam perjalanan pulang
menuju rumah, saya bertemu dengan seorang siswa berseragam Pramuka pula, namun
postur tubuhnya lebih besar, mungkin dia siswa SMA.
Awalnya, dia berjalan di
depan saya. Namun kemudian dia melambat hingga langkah kami menjadi sejajar. Dia
mulai menegur saya dengan pertanyaan standar, mengira saya murid madrasah Tsanawiyah,
karena saya mengenakan jilbab. Saya hanya menggeleng sambil terus melangkah,
bahkan mempercepatnya. Dia bertanya macam-macam dan saya menanggapi sekadarnya,
mulai merasa tidak nyaman.
Saat tiba di persimpangan
jalan, ia sambil tersenyum lalu berujar.
“Besok saya tunggu di sini, ya...”, ucapnya. Saya hanya menatapnya
sekilas lalu segera kabur dan tidak ingin menoleh lagi. Setelah kejadian itu,
saya memilih untuk menempuh jalan memutar yang lebih jauh agar tidak perlu
melewati persimpangan itu.
Mengingat berbagai kejadian
tersebut, saya menjadi menginsyafi, bahwa memang selalu saja ada kemungkinan
kita mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan di luar sana. Di sisi lain, ada
perasaan kesyukuran yang selalu muncul ketika saya berhasil tiba dengan selamat
di tempat tujuan, pun saat sampai di rumah dalam keadaan baik-baik saja.
Kesyukuran yang kemarin-kemarin mungkin tidak begitu saya maknai.
Belakangan saya
memperhatikan bahwa memang hari ini kita kerap kali menyaksikan hal tersebut;
kejahatan ada dimana-mana sehingga kita bisa terancam kapan saja. Bahkan
teknologi yang canggih serta hitung-hitungan keselamatan yang apik pun belum
bisa menjadi sebuah jaminan bahwa semuanya akan selalu aman. Saya mendengar
berita tentang orang-orang tidak bersalah yang tiba-tiba diculik, disekap, atau
disakiti saat ia dalam perjalanan. Atau tentang pesawat luar negeri yang hingga
kini belum ditemukan, bahkan setelah berbagai negara turun tangan untuk
mencarinya.
Nyatanya, tiap hari ada
saja orang-orang yang berangkat dari rumahnya namun tidak pernah tiba di
tujuan, dan ada pula mereka yang sudah mengabarkan kepulangan namun tidak juga
sampai di rumahnya.
Sementara kita, setiap
harinya meninggalkan rumah, tiba di tempat yang kita tuju, lalu kemudian
kembali lagi ke rumah dalam keadaan sehat wal
‘afiyat. Rutinitas itu kita lakukan setiap harinya, demikian berkali-kali
sejak dahulu hingga nanti, tapi pertanyaannya adalah; sudah berapa kali kita mensyukuri itu semua?
Kini, saya merasakan
bahagia setiap berjalan ke ujung lorong dan menemukan sudah ada bentor
langganan yang standby di sana. Kebahagiaan
yang sederhana. Sekarang, saya menikmati ketenangan saat bisa menapakkan kaki
di rumah dan pulang dengan aman sentosa. Saya sesungguhnya, hanya sedang
mencoba menurunkan ambang kebahagiaan itu, sehingga menjadi lebih mudah untuk
merenungi kesyukuran yang seharusnya ada di dalamnya.
Seperti rasa nyeri yang
memiliki ambang, dimana baru saat ambang itu dicapai kita bisa merasakan
nyerinya. Maka saya percaya, kebahagiaan pun demikian. Hanya saja terkadang,
kita agak bias dalam menentukan sikap puas dan bahagia. Kita khawatir
kebahagiaan akan mengungkung mimpi kita dan membuat kita menjadi stuck di satu titik karena telah menjadi
bahagia dan tidak ingin meraih titik yang lebih tinggi berikutnya. Padahal
sebenarnya tidak. Sangat berbeda antara orang yang tidak bersyukur dengan orang
yang tidak mudah puas dengan pencapaiannya, agar ia bisa mendapatkan sesuatu
yang lebih baik lagi. Jangan sampai hanya karena kita memiliki mimpi yang
membumbung hingga ke langit, kita menjadi lupa untuk bersyukur pada hal-hal
kecil yang diberikan Allah dalam hidup kita. Bahwa mungkin, hal kecil tersebut bisa jadi
merupakan sesuatu yang besar bagi orang lain yang kurang beruntung di luar
sana.
Hari ini, setiap kita telah
sampai di tempat tujuan, atau telah tiba di rumah setelah melewati perjalanan
pulang; bersyukurlah. Percayalah bahwa semua hal-hal rutin itu terjadi bukan
tanpa sebab. Ejalah kembali doa yang kita lantunkan saat akan keluar dari
rumah;
“Bismillahi, tawakkaltu ‘alallahi laa hawla wa laa quwwata illa
billah...”
Dengan nama Allah (aku keluar). Aku bertawakkal kepada Allah, tiada daya
dan upaya kecuali karena pertolongan Allah. (HR. Abu Dawud)
Saat kita telah tiba dengan
selamat, maka sesungguhnya sepanjang perjalanan yang kita lalui, Allah telah
menolong kita, melindungi kita. Dan, tiada daya dan upaya tanpa pertolonganNya.
Ah, betapa lemahnya kita sebenarnya... Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)