Menuliskan tentang ‘pernikahan’ tentu bukan kapasitas saya. Lah wong saya belum menikah! Menuliskan
ini tentu lebih seperti seorang bocah taman kanak-kanak yang sok-sok menggambar
kombinasi beberapa persegi panjang dan sebuah segi tiga dan menyebutnya sebagai
‘gambar rumah’, mahasiswa arsitektur tentu akan geleng-geleng kepala dong! Atau
–meminjam analogi seorang dosen saya, seperti seorang astronom yang mempelajari
bintang-bintang lewat teropong jarak jauh atau studi literatur, pengalamannya
tentu beda dengan astronot yang konon sudah melancong ke luar angkasa secara
langsung. Jadi, jika anda merasakan aura-aura sok tau di dalamnya, jangan
bersedih dan jangan kecewa. Sebab mungkin memang tulisan ini dibangun dari
semangat sok tau itu. Hehehe.. Jika
tidak ada nilai yang bisa anda ambil dari tulisan ini, saya mohon maaf telah
membuang sekian menit dari waktu anda untuk membacanya. Anggap saja saya sedang
semacam belajar untuk menulis-nulis dan menceracau saja, atau semacam cara
untuk merenggangkan otot-otot jari. Ok?
“Setidaknya ada tiga fase yang
dialami seorang akhwat sebelum ia menikah...,” demikianlah yang
melayang-layang di otak saya dengan begitu sok tau..Hehehe.. Teori ini hanya bikin-bikinan saya sendiri. Jadi, jika
kamu tidak setuju, jangan terlalu heboh. Dan jika kamu setuju, maka jangan pula
terlalu serius. Ya, teori ini akhirnya terbentuk setelah serangkaian
pengamatan, obrol-obrolan yang ringan hingga yang intens *halah*, dan juga terhimpun dari curhatan-curhatan yang mendarat ke
telinga saya. Ya, saya memang lebih senang untuk mendengar dan mengamati, saya khan orangnya pendiam dan pemalu...Hehehe *ditabok*.
Istilah ‘akhwat’ dalam tulisan ini merujuk kepada sejumlah muslimah yang
belum menikah (kalo sudah nikah saya sebut ummahat..
hehehe..), istiqamah dengan nilai
keislaman sehingga menolak segala komitmen apapun dengan lawan jenis selain
pernikahan, rajin menuntut ilmu agama, dan/atau aktivis dakwah di organisasi
manapun. Sebab saya mengamatinya hanya di kalangan akhwat-akhwat di sekitar
saya, jadi mungkin saja ada perbedaan, yah. Makanya sekali lagi, jangan
terlampau serius J
Baiklah, mari kita mencoba menguraikan ketiga fase tersebut. Fase pertama
saya beri nama Fase Dramatis. Pada
tahap ini, keingingan menikah mulai muncul, tumbuh, berkembang, bahkan hingga
meluap-luap. Biasanya akhwat pada tahap ini sedang senang-senangnya membaca
buku-buku persiapan menuju pernikahan, melahap kisah-kisah cinta yang romantis
dari pasangan-pasangan yang menurutnya ideal, atau baru saja menelan
bulat-bulat cerita-cerita indah pengantin baru yang belum lama saling berjumpa
sebagai jodoh. Pokoknya, bagi mereka yang berada pada tahap ini, pernikahan itu
terlihat sebagai sebuah mimpi yang indah. Layaknya cerita-cerita dongeng yang
biasanya diakhiri dengan happily-ever-after.
Seperti kita-kita yang di masa kecil tidak pernah bertanya lagi apa yang terjadi
pada Cinderella setelah ia menikah dengan si Prince Charming. Pokoknya bahagiaaa
ajah!
Pernikahan dianggap sebagai tujuan. Meski mungkin jika ia melihat pada
dirinya, niat menikah itu saja yang besarnya luar biasa, sementara bisa jadi
persiapan-persiapan untuk ke arah sana, baik dari segi jasadiyah, fikriyah, dan ruhiyah,
belum juga memulai persiapannya. Ya, yang berkembang hanya pada tataran
keinginan saja. Sementara, seorang akhwat tentu menolak segala jenis hubungan
kecuali yang sudah berstempel halal. Namun apa mau di kata, hasrat sudah
bercokol di dalam jiwa, sementara keadaan belum memungkinkan ke arah sana.
Hatinya berdegup kencang ketika melihat undangan pernikahan yang selalu nampak
menawan dari kakak-kakak yang sudah menuntaskan masa lajang. Senangnya
membicarakan tentang mimpi-mimpi masa depan dengan senyuman yang selalu
terkembang, disertai dengan canda-candaan dengan pipi yang bersemu merah. Namun
terkadang, akhirnya semua hal itu berujung pada kegalauan, baik yang disadari
ataupun tidak, baik yang diakui ataupun disangkal.
Jika boleh menganalogikan dengan warna, maka fase dramatis ini berwarna
merah muda. Mungkin, dengan simbol love-love
dimana-mana dan bunga-bunga bermekaran di beberapa sudutnya. Fase ini masih
cukup ‘aman’ jika akhwat yang sedang berada di dalamnya mampu sedikit menahan
diri. Lebih baik menghindari curhatan-curhatan ‘mengundang’ di media sosial,
apalagi jika akunnya masih terkonek dengan akun lawan jenis. Sangat rentan
terjadi ketergelinciran pada hal-hal berbau hubungan tanpa status, atau yang
paling parah; menjadi korban PHP (pemberi
harapan palsu, red)
Melewati fase dramatis, selanjutnya beralihlah ke fase kedua. Izinkan saya
memberinya nama; Fase Realistis.
Pengembangan fase dramatis ke realistis ini ditandai dengan semakin munculnya
kedewasaan berpikir. Akhwat yang tadinya melihat bunga-bunga di mana-mana
setiap mendengar kata menikah itu, akhirnya mulai mencoba untuk menyelami lebih
jauh tentang makna pernikahan. Pada saat itulah, ia akan mendapati, bahwa
menikah tidak selamanya indah. Walimatul
‘ursy bisa saja menjadikannya ratu sehari yang full riasan dan full
senyuman. Hari pernikahan dengan segala keribetan persiapannya mungkin
terselenggara dengan penuh perjuangan, namun yang paling penting sebenarnya
adalah hari-hari setelah pernikahan itu. Dan, hari-hari yang panjang itu
nyatanya; tidak selamanya indah.
Bukankah kesempitan dan kelapangan itu dipergilirkan? Maka bagaimana bisa
kita membayangkan kehidupan yang hanya diisi dengan kegembiraan melulu? Pada
fase realistis, si akhwat mulai menyadari hal ini. Maka, pelan-pelan, euforia
fase dramatis mulai menyurut, letupannya sedikit demi sedikit meredam. Ilmunya
telah semakin banyak , pikirannya telah semakin terbuka. Hal ini menyebabkan si
akhwat bukan lagi hanya sibuk membuat list tipe-tipe calon pangeran idealnya,
tapi justru lebih melihat kepada dirinya sendiri; apa yang sudah ia persiapkan?
Ia mulai melihat undangan walimah itu bukan sebagai tujuan, tapi justru
sebagai sebuah pintu masuk untuk menuju sebuah tempat, atau mungkin sebuah
lorong panjang yang diisi oleh berbagai macam hal yang entah apa; tidak pernah
bisa tertebak sebelum benar-benar dihadapi, tidak pernah bisa benar-benar
ditakar sebelum telah dilalui.
Pada fase realistis, alih-alih sibuk bermimpi dan berandai-andai tentang
warna cat apa yang bagus untuk rumah masa depannya, si akhwat justru semakin
melihat kehidupan, termasuk kehidupan setelah menikah, sebagai satu hal yang
kompleks. Bagaimanapun, menikah adalah ibadah. Dan tidaklah ia disebut ibadah
melainkan diniatkan untuk mendapatkan ridha Allah. Dan, segala hal yang
berkaitan dengan Allah, tentu tidak ada yang sifatnya sepele, tidak ada yang
boleh dianggap bahan mainan apalagi bercanda. Bukankah bercanda dengan nama
Allah bahkan bisa menjadi penyebab batalnya syahadat? Nah.
Fase realistis adalah saat dimana si akhwat mulai berpikir bahwa menikah
tidak sesimpel ‘aku cinta kamu’ dan ‘kamu cinta aku’. Tidak semudah menyebut
‘aku mengagumimu’ dan ‘kamu mengangumiku’. Bukan hanya sekadar
tentang kita sama-sama suka warna biru dan senang menatap langit di kala senja.
Tidak. Tidak sesederhana itu. Sebab faktanya, menikah adalah ibadah terpanjang,
bahkan mungkin sepanjang sisa usia.
Pada fase ini pula, berbagai macam pergolakan hidup selain tentang pernikahan
juga mulai bermunculan. Maka, si akhwat mulai melihat kehidupan ini dengan
sudut pandang yang lebih luas. Bahwa hidup seorang jomblo, eh singel maksud saya *ehem*, tidak melulu tentang memikirkan bagaimana ia mengakhiri masa
lajang. Banyak hal lain yang harus ia lakukan, banyak persoalan lainnya yang
harus ia selesaikan. Maka sembari menuntaskan segala hal yang harus ia
tuntaskan, ia pun tak lupa mengumpulkan ilmu tentang itu, mempersiapkan diri
untuk menghadapinya, berdoa dengan tulus dan lembut kepada Allah. Tak ada lagi
doa-doa yang maksa; pokoknya saya
pengennya berjodoh dengan si anu atau si
itu!
Ia sadar, bahwa jodoh adalah bagian dari takdirNya, yang bisa jadi berada
di luar kendali dirinya. Bukan lagi tentang ‘siapa’, tapi perihal ‘bagaimana’.
Maka ia berikhtiar, dengan menunggu dan menjaga diri. Dengan memastikan
pikirannya tetap pada track-nya; realistis.
Fase berikutnya saya sebut sebagai Fase
Menenangkan Diri. Nah..nah..nah.. Yang ini cukup seru juga. Fase di mana si
akhwat sudah melewati masa realistis yang begitu tenang, bahkan cenderung flat. Si akhwat memasuki masa dimana ia
merasa sudah cukup siap untuk menikah. Sudah merasa timing sudah sangat tepat, dan preparasi ke arah sana pun sudah fix. Malah, undangan dari kawan-kawan
lainnya sudah mulai berdatangan. Satu per satu
teman menuntaskan masa lajang mereka. Dari teman-temannya itu, mungkin
ada yang ia nilai sebenarnya belum cukup siap seperti dirinya. Tapi nyatanya,
ia yang siap ternyata belum dijemput juga. Namun, kedewasaan tetap ada pada
fase ini. Maka dari itu, menenangkan diri dilakukan secara otomatis. Ibarat
reaksi autoimun di dalam tubuh yang
langsung menyasar pada organ target secara spontan tanpa harus diperintah.
Ia sadar sesadar-sadarnya bahwa takdir setiap orang sudah ditentukan lima
puluh ribu tahun setelah bumi diciptakan. Ia yakin bahwa tidak akan mati
seorang anak adam sebelum menikmati semua rezeki yang sudah ditakdirkan
untuknya, termasuk bertemu dengan semua orang yang harus ia temui. Ia yakin,
segala fase-fase pranikah ini akan ia lewati dengan baik-baik saja, tanpa
kegalauan, tanpa keresahan, apalagi air mata. Curhat-curhatnya cukup mendarat
saat ia bermunajat kepada Allah saja. Segala keresahan tak beralasan,
bisik-bisik tidak bertanggungjawab yang tidak nyaman, ataupun sindiran-sindiran
yang tidak rasional, yang kemudian seolah mencapai titik kulminasinya, ia
anggap bisa jadi merupakan pertanda semakin dekatnya ia dari solusi dan
pertolongan Allah.
Seperti Nabi Musa ‘alahissalam
yang justru baru memeroleh mukjizat membelah lautan saat laut merah sudah
menghampar di hadapannya dan Fir’aun sudah ready
di belakangnya. Sudah mepet banget!
Atau seperti Nabi Ibrahim ‘alaihissalam
yang sudah siap menyembelih sang buah hati yang juga sudah pasrah, namun
kemudian dipertukarkan dengan domba. Atau mungkin pula seperti Muhammad Shallallau ‘alaihi wasallam yang sudah
berhadap-hadapan di medan Badar dengan tentara kafir yang berkali-kali lipat
jumlahnya, lalu Allah menurunkan bala bantuan para malaikat. Maka, ini masalah
keyakinan.
Keyakinan yang melenyapkan keraguan. Baik sangka kepada Allah yang
menghilangkan semua kekhawatiran, gundah gulana, perasaan sunyi, sepi, dan
kesendirian. Di dalam hatinya telah menggema kata-kata penuh optimisme menatap
hari depan; “Biarlah truk-truk pada
gandengan, sebab aku tidak sendirian; ada Allah.”
Nah, demikianlah tiga fase dalam teori ini. Ketiga fase ini tidak harus
terkait dengan usia, yah. Sebab kata orang bule di sono, “age is just about number”. Bisa saja ada yang usianya masih belia namun
sudah sampai pada tahap realistis, begitu pula sebaliknya. Rentang waktu tiap
fase juga belum tentu sama. Mungkin ada yang masa dramatisnya panjang sekali,
ada pula yang hanya sekejap, demikian pula dengan dua fase lainnya. Susunannya
juga bisa saja berbeda. Mungkin realistis dulu, tau-tau malah jadi dramatis, eh
realistis lagi, habis itu baru menenangkan diri. Jadi, syarat dan ketentuan
berlaku, dan efeknya bisa sangat bervariasi pada setiap orang *halah*.
Pada akhirnya, bicara tentang begini-beginian memang haruslah merujuk
kepada sumber-sumber yang bisa dipercaya dan berpengalaman (cop, saya ndak masuk hitungan!). Hati ini juga harus bisa kuat,
jangan maunya diikuti saja terus... Sebab terkadang kita sulit membedakan
antara suara dari nurani dan yang datang dari hawa nafsu. Maka konon, ilmu akan
sangat berperan. Maka perbanyaklah menuntut ilmu, mengisi hari-hari dengan yang
bermanfaat, perkuat hubungan kepada Allah dengan ibadah, dan bergaullah hanya
dengan orang yang positif-positif saja.
Tentu ada perbedaan yang sangat mencolok antara Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, dengan
Fir’aun, dengan Abu Thalhah Radhiyallahu
‘anhu. Yang pertama adalah lelaki paling sempurna, yang kedua adalah
manusia yang jadi contoh buruk sepanjang masa, yang ketiga adalah shahabat yang
baru masuk Islam setelah ia menikahi seorang muslimah. Sosok ketiganya sangat
berbeda, namun mari kita meninjau para pendamping mereka. Adalah Khadijah binti
Khuwailid, Asiyah isteri Fir’aun, dan Ummu Sulaim. Dan, saya menemukan
persamaan pada ketiga wanita tersebut. Meski ketiganya mendapingi tiga orang
lelaki yang sangat berbeda, tapi mereka sama-sama memiliki satu hal; kesiapan.
Kesiapan ibunda Khadijah untuk membersamai pasangan menghadapi beratnya
perjuangan kebenaran, kesiapan Ratu Asiyah untuk tetap teguh pada keyakinan
meski yang menentang adalah lelaki yang paling dekat, dan kesiapan Ummu Sulaim untuk
melihat potensi kebaikan yang mengintip dari seseorang yang baru saja menerima
kuncup-kuncup hidayah yang baru akan mekar.
Saya teringat perkataan seorang saudari saya di masa ia sedang menjalani
proses menuju pernikahannya, “Dien, kata
orang,” ucapnya sambil menatap mata saya, “Kita tidak akan pernah
benar-benar merasa siap...,” lanjutnya. Saya mengingat kata-kata itu,
menyimpannya dalam saku dan dalam hati untuk selalu saya bawa-bawa. Saya tahu
saudari saya itu bukan sedang menyuruh saya terjun bebas tanpa persiapan apa-apa
sebab kita katanya tidak akan pernah siap. Justru, ia sedang mengajarkan bahwa;
yang penting sudah usaha, yang penting sudah maksimal, semoga Allah membantu
menggenapkan.
Baiklah, nampaknya saya harus segera mengakhiri tulisan ini sebelum aura
sok tau saya semakin menguar kemana-mana. Hehe...
Terakhir, Kata Tere Liye, setidaknya ada 3 tingkatan tentang ‘nilai’ sebuah
tulisan; pertama menghibur,
berikutnya bermanfaat, dan yang
tertinggi; menginspirasi. Dan untuk
tulisan ini, saya tidak muluk-muluk dan sudah cukup bersyukur jika kamu –Ya!
Kamu yang masih setia hingga bagian akhir tulisan ini, terhibur setelah
selesai membacanya. Mariki’ di’... J
Makassar, 16 Mei 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)