Biasanya, saya hanya punya satu alasan saat kemudian menangis sesunggukan sebelum tidur; karena ibu yang sakit. Tapi kali itu berbeda, saya menangis sebelum tidur saat memikirkannya. Memikirkan lelaki pertama.
Saya di masa kanak-kanak melihatnya sebagai seseorang yang tahu segalanya. Ia bisa menjawab dengan benar saat saya menanyakan perihal pe-er matematika. Atau saat saya bertanya tentang IPS atau IPA. Apalagi jika menyangkut pelajaran pendidikan agama Islam.
Dia yang merekam suara cadel saya yang bernyanyi-nyayi dan menceracau tidak jelas dan diselingi dengan hapalan surah-surah pendek dan bacaan-bacaan shalat.
Saya masih mengingat, saat ia ikut tidak tidur waktu saya sakit cacar di masa SD, hanya demi mengusap-usap penggung saya yang gatal.
Saya masih merasakan nyeri di hati, serta penyesalan yang dalam, waktu saya menolak menemaninya pergi ke dokter saat saya berusia SMP, hanya karena alasan 'malas'. Baru setelah saya menatap punggungnya yang pergi menjauh meninggalkan rumah, saya menangis sejadi-jadinya karena tersadar telah melakukan hal yang sangat buruk. Dan lebih buruknya lagi, dimasa-masa setelah itu saya kerap kali mengulangi kesalahan-kesalahan lain padanya. Kesalahan yang baru belakangan membuat saya menyesal setengah mati.
Tapi, seburuk apapun saya, lelaki itu tetap saja tidak beranjak. Meski mungkin raganya pergi ke sana kemari. Meski terkadang percakapan antara kami menjadi sedemikian beku dan semakin jarang seiring dengan kesibukan saya dan kesibukannya.
Kini, saya yang dulu harus memandang wajahnya sambil melongok ke atas, dapat melihat pancaran matanya tanpa harus mendongak seperti itu lagi. Pada titik itu saya sadar, bahwa saya terus bertumbuh, sementara ia tetap seperti itu. Saya mendaki kurva kehidupan, sementara ia menuruninya.
Mungkin, lelaki itu bukanlah manusia yang sempurna. Ia pun melakukan kesalahan dan kekhilafan di dalam hidupnya. Dia pun punya kekurangan dan mungkin nampak tidak perfect di mata orang lain.
Tapi saya tidak peduli dengan itu.
Dia tetap adalah nama yang selalu akan ada dalam doa saya.
Perjalanan ini telah mengajarkan bahwa saya tidak bisa tidak mencintai dan menyayanginya.
Lelaki pertama yang darahnya mengalir pada darah saya. Yang wajahnya ada pada wajah saya.
Bapak, terima kasih untuk selalu ada.
Makassar, 19 April 2014
Bapak, maafkan anakmu ini...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)