Ada yang ingin kutanyakan kepadamu, duhai lelaki yang hadir ke dunia dua
tahun sebelum diriku. Tapi sebelumnya, mari kita dinginkan kepala kita sejenak,
agar kata-kata yang keluar dari lisan pun menjadi lebih tertata. Bukan lagi
menjadi seperti suara-suara bernada tinggi yang kebanyakannya minim makna;
pesannya belum tentu sampai, tapi lebih nyata menorehkan luka.
Kita bukan lagi kanak-kanak yang mempersoalkan perihal siapa yang memakai
kamar mandi lebih dahulu. Kau bukan lagi bocah lelaki yang senang mengoleksi
beragam mainan dari pelastik yang berbentuk tokoh kartun favoritmu. Aku juga
bukan lagi gadis kecil yang saban hari mengikutimu bermain dengan sepeda roda
tiga, berupaya agar tak ketahuan, agar kau tak usir pulang, sebab teman mainmu
tentu lelaki semua. Aku bukan lagi si bodoh yang kau buat berhari-hari demam
gara-gara ketakutan saat kau kagetkan dengan boneka bayi berwajah ngeri yang
membuatku hingga kini menjadi phobia
dengan jenis mainan macam itu. Ya, kita bukan anak-anak lagi. Usia kita sudah
dua digit dengan angka dua di digit pertama. Seharusnya, kita telah bisa
berpikir dewasa.
Dan kau tahu, menjadi dewasa itu tidak mudah. Semakin banyak hal yang kita
hadapi, dan semakin banyak pula tanggung jawab yang harus kita emban. Kita
harus lebih sering bertanya pada diri kita sendiri; apa yang sebenarnya kita cari? Kita harus sudah bisa menentukan; apa yang seharusnya kita tuju? Kita pun
mestinya mampu memutuskan; peran apa yang
sedang berusaha kita lakonkan? Dan itu semua memang bukan hanya tentang
diri kita sendiri. Kita, sebagai bagian dari masyarakat yang begitu luas, umat
yang begitu besar, mau tidak mau akan selalu bersinggungan dengan orang lain
yang ada di sekeliling kita. Banyak dari mereka yang akan memberikan manfaat
kepada kita, bahkan akan sangat kita butuhkan kehadirannya. Tapi, tidak sedikit
pula yang mungkin akan membuat kita sedikit tersentak, terkaget, bahkan
terganggu. Tak mengapa, bukankah itu adalah konsekuensi menjadi manusia?
Memasuki masa-masa seperti sekarang, memang ada beberapa hal yang memiliki
persentasi lebih besar untuk dibicarakan. Ada beberapa pertanyaan yang lebih
sering muncul dan menjadi begitu krusial untuk segera ditemukan jawabannya.
Hei, lihatlah! Aku menghabiskan tiga paragraf untuk menuju poin utama yang
sebenarnya ingin kutanyakan padamu! Err.., ini perihal masa depan. Tentang
rencanamu dan mimpimu. Tentang dengan siapa kau ingin menghabiskan masa tuamu.
Ah, aku sebenarnya hanya ingin menanyakan, pertanyaan yang mungkin telah satu
juta kali ditanyakan orang-orang kepadamu –baik yang serius, maupun yang
bercanda; kapan kau (berencana) akan menikah? Atau mari kubuat pertanyaan itu
menjadi lebih berbobot dan lebih kompleks lagi; keluarga seperti apa yang
hendak kau bangun kelak?
Ya, sebab dapat kutebak bahwa telah banyak orang yang merasa heran
denganmu. Kehidupanmu, jika dinilai dari nominal gaji yang kau terima setiap
bulan, tentu sudah sangat mencukupi. Apalagi jika ditinjau dari segi usiamu
yang sudah ideal, bahkan sudah matang sekali. Ditambah lagi dengan deadline tidak tertulis yang
dikumandangkan oleh bapak dan mama perihal keinginan mereka untuk segera
menimang cucu. Ah, berat sekali ya! Aku bahkan bisa turut merasakannya –anggap saja
ini semacam solidaritas, hehe..
Aku sebenarnya ingin menanyakan langsung ini kepadamu. Bukan, bukan untuk
membuatmu menjadi lebih terbebani. Tapi lebih kepada keinginan untuk mengetahui
sebuah sudut pandang baru yang mungkin memang belum kumengerti. Ingin
kutanyakan pula kepada bapak, tapi kau tahu, bapak terlalu pendiam dan aku pun
terlalu pemalu untuk itu.
Maka biar kucoba mengidentifikasinya sendiri. Bahwa perihal kemapanan
memang tidak selalu berbanding lurus dengan kesiapan. Masalah meminang anak
gadis orang memang bukan perkara sederhana seperti membalikkan telapak tangan
atau membeli es jeruk di pinggir jalan, meski ia juga bukan hal yang terlalu
kompleks sehingga menjadi mustahil untuk dilakukan. Jadi mungkin kau punya
pertimbangan-pertimbangan lain yang luput dariku. Sesuatu yang mungkin menjadi
bahan pikiranmu selain gaji dan persetujuan bapak dan mama. Sepertinya bukan
pula tentang siapa-dan-bagaimana, sebab sepertinya kau belum melakukan ikhtiar
apapun untuk menuju ke arah sana –maafkan jika kesimpulanku begitu
menjengkelkan, salahmu sendiri kenapa tak pernah bercerita kepadaku tentang hal
ini.
Kau tahu, pikiranku tentangmu ini justru membuat semacam keinsyafan lain
pada diriku pribadi; aku menjadi kian tersadar; betapa beruntungnya aku berada di pihak perempuan. Di salah satu
sisi, nampaknya kaum kalian memiliki tugas yang lebih berat daripada kami.
Ikhtiar kami sebagai wanita, terbatas pada menyiapkan diri, agar dipantaskan
olehNya agar bisa bersama dengan lelaki yang shalih. Sementara kaummu, tidak
boleh sepasif itu. Kalian harus memutuskan sebuah keputusan yang berat. Lebih
dari itu, mempersiapkan kepercayaan diri yang besar, dan terakhir –dan ini yang
sungguh sangat penting; perkara nyali.
Yah, sebab percumalah segala macam kriteria yang terpenuhi jika tidak punya
nyali. Langkah akan terhenti, lalu mundur, balik kanan, dan kabur. Kuharap kau
bukan tipe yang ini. Sebab bagi kami, kaum wanita, yang seperti itu sungguh
sama sekali tidak bisa diharapkan. Maksudku, entah dari siapa aku mendengar
ini; bahwa pembeda antara lelaki dan
perempuan adalah keberaniannya. Kaum kalian harus memiliki keberanian dalam
kadar yang lebih tinggi dari kami. Sebab kalian adalah nahkhoda yang harus
menentukan kemana arah batera akan berlayar. Dan menentukan segala keputusan
itu, tentu membutuhkan keberanian yang besar. Nah, jika di awal saja keberanian
itu tak ada, lalu mau jadi seperti apa perjalanan selanjutnya? Perjalanan yang tentu
akan berhadapan dengan begitu banyak hal yang membutuhkan nyali yang jauh lebih
ekstra. Maka mereka yang tidak bernyali memang sudah tepat jika undur diri,
sebab memang mereka nampaknya belum benar-benar siap untuk memulai perjalanan
ini.
Kau bukan bagian dari mereka, bukan?
Kuharap alasanmu jauh lebih keren dan bernas dibandingkan yang terakhir
kubicarakan di atas. Yah, sebab nyali akan menghindarkanmu dari perbuatan yang
tidak bertanggung jawab semisal memberikan pengharapan yang nyatanya tidak bisa
kau tunaikan. Lebih baik kau tetap seperti itu. Kau tetaplah diam sambil
mengenyahkan semua penghalang-penghalang yang membuatmu belum dapat menjalani
ibadah seumur hidup itu. Lalu setelah kau siap, jadilah laki-laki sejati yang
siap memilkul tanggung jawab di pundakmu. Yang memuliakan wanita yang akan
mendampingimu hingga tua. Menyejahterakan anak-anakmu dan mendidik mereka
menjadi generasi yang akan membanggakan umat ini. Sini kuberi tahu, meyakinkan
hati perempuan memang tidak mudah, tapi kau tidak akan bisa menakar seberapa
sulitnya jika kau tidak pernah mencoba. Kau tidak perlu kesal karena perempuan terlihat begitu teliti jika berbicara mengenai perkara ini, sebab menentukan lelaki yang akan hidup bersamanya bukanlah perkara sederhana. Sebab, saat ia telah menyetejui satu sosok sebagai pendamping hidup, maka kepada lelaki itulah ia akan mencurahkan segenap ketaatan sepanjang usia yang ia punya. Ia akan memberikan stir kehidupannya untuk dikendalikan oleh lelaki itu, selama itu bukan maksiat kepada Allah. Ia akan mendampinginya dan memberikan yang terbaik untuknya. Tahukah kau? Perempuan hanya bisa menyimpan satu nama di dalam hatinya.
Maka jika kau memang belum siap, tetaplah diam, jangan menebar janji pada siapa-siapa,
tapi teruslah mempersiapkan diri. Aku di sini akan membantumu menyabarkan mama
dan bapak agar tidak mendesakmu. Aku mencoba memahami bahwa kau butuh proses,
dan proses butuh waktu. Maka kami tidak akan memaksamu. Suatu waktu penyair
favoritku berkata; pemaksaan adalah sikap para penjajah, dan aku benci
penjajah.
Dan setelah dua halaman ini habis kugunakan untuk menulis sejumlah kata
yang mungkin tidak akan pernah kau baca, sebenarnya, intinya, hanya satu hal
ini yang ingin kukatakan kepadamu, duhai yang lahir dari rahim yang sama
denganku; Kak, jadilah lelaki yang
shalih, maka insya Allah, Allah akan mempertemukanmu dengan wanita shalilah;
bukankah itulah sebaik-baik perhiasan dunia? Dan syukur dalam bahagiamu, serta
sabar dalam ujianmu, akan kau mulai dari dirinya. Percayalah.
Makassar, di penghujung
senja, di penghujung Maret 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)