Ia bukan sedang menghadapi sebuah musibah, atau baru saja mendengar kabar
duka dari seseorang. Ucapan tadi, ia lirihkan justru saat ia resmi diangkat
menjadi seorang pemimpin. Dinasti Umayyah kala itu, serta merta menjadi berada
di bawah kekuasaannya. Namun, mengapa kalimat tersebut yang meluncur dari
lisannya?
Kelak, namanya akan dikenal dalam sejarah, terpatri dengan tinta emas.
Keadilannya tidak perlu dipertanyakan. Kemakmuran yang bertubi-tubi datang juga
tidak usah diceritakan, bahkan hingga serigala pun enggan memangsa domba.
Kezaliman ia hapuskan. Serta berderet cerita-cerita manis lainnya yang nyata
pernah terjadi di atas bumi Allah. Ia, seorang pemimpin yang begitu memahami arti
dari sebuah tanggung jawab. Ia tahu bahwa amanah begitu besar tengah dititipkan
pada dirinya. Ia tentu sadar bahwa segala hal itu kelak akan
dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Kita mengenang namanya dengan penuh
haru dan rindu, Umar bin Abdul ‘Aziz.
Mari melintas pada generasi sebelumnya. Maka kita akan dapati seorang
lelaki lainnya, dengan nama yang sama. Terkenal dengan fisik yang tegap dan
kepribadian yang keras. Namun, kita juga menjumpai riwayat perihal garis hitam
di pipinya yang timbul akibat banyaknya ia menangis karena rasa takutnya kepada
Allah. Ia pun seorang pemimpin yang hadir dalam sejarah Islam dalam kisah yang
juga tak kalah gemilang.
Dia adalah pemimpin kaum muslimin dengan 12 tambalan pada bajunya. Ia
membuat heran orang yang mendapatinya membawa tempat air di atas pundaknya,
lalu ia menjelaskan, “Aku terlalu kagum
terhadap diriku sendiri oleh karena itu aku menghinakannya”. Kisah lainnya
direkam oleh Ibnu Katsir juga dalam al Bidayah Wannihayah, saat musim paceklik
tiba dan kulit sang Amirul Mukminin ini menghitam tersebab tak makan kecuali
dengan roti dan minyak saja, tiada keluh dari lisannya. Bahkan ia berkata, “Akulah sejelek-jelek penguasa apabila aku
kenyang sementara rakyatku kelaparan...”. Kita mengenang namanya dengan
penuh haru dan rindu, Umar bin Khattab.
Hari ini, kita tentu merindukan sosok-sosok seperti keduanya. Ah, bahkan
yang mendekati sedikit pun rasanya sudah cukup membuat kita akan begitu
mensyukurinya. Kita rindu pada pemimpin yang ingin turut menangis bersama kita, yang menyadari sepenuhnya bahwa jabatan bukan kebanggaan, tapi ujian.
Kita rindu pada pemimpin yang menegakkan kebenaran serta menjaga kita tetap
dalam ketakwaan, bukan malah memporak-porandakan barisan. Kita rindu pada
pemimpin yang lurus tauhidnya, yang tidak menganggap Islam sebagai baju yang
kekecilan baginya. Yang tidak perlu risih menyebut kebijakannya adalah bentuk
interpretasi atas nilai-nilai Islam. Yang tak perlu sibuk mencitrakan dirinya
toleran, tapi nyatanya justru diskriminatif pada hakekat yang sebenarnya.
Kita mengenang dengan sepenuh haru dan rindu, sosok Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, pemimpin
terbaik sepanjang masa. Dia, yang paling indah wajahnya, dan paling baik
akhlaknya. Dia yang telah terluka untuk memperjuangkan kebenaran yang kini
telah sampai kepada kita. Dia yang senang duduk bersama kaum yang papa, yang
meneladankan sebaik-baik teladan. Ia yang begitu murah hatinya, sangat lemah
lembut, dan sangat besar cintanya kepada orang-orang beriman.
Pemimpin yang kita rindukan itu, semoga kelak bisa hadir di tengah-tengah
kita. Dan kita, perlu selalu menatap diri kita untuk dipantaskan mendapatkan
pemimpin yang kita rindukan. Adakah telah lurus aqidah kita? Adakah telah benar
ibadah kita? Adakah telah indah akhlak kita? Adakah telah lembut hati kita? Adakah
telah sepenuh ikhtiar kita mengumpulkan ilmu syar’i seperti berpeluh-peluhnya
kita untuk ilmu duniawi? Adakah kita memang telah memandang barisan Islam ini
sebagai satu kesatuan yang padu, tanpa harus melihat di bawah bendera apa kita
bernaung dan jalan perjuangan apa yang kita pilih? Jangan-jangan, sebenarnya
justru kita ini yang tidak siap untuk dipimpin oleh pemimpin shalih dengan
sistem yang sesuai syari’at Allah?
Sebab setiap kita akan bertanggung jawab atas pilihan kita masing-masing.
Saat kita memilih untuk maju, atau untuk berdiam diri, atau bahkan untuk
mengutuk dan mencela, ataukah kita membuka hati dan menelisik jalan yang akan
kita tempuh, pada akhirnya semua kembali kepada diri kita masing-masing. Pada
akhirnya Allah jua yang akan menilai apa yang ada di dalam hati dan apa yang
tengah kita usahakan.
Kita rindu, pada sosok-sosok yang mengingat kita dalam doanya, dan kita pun
mendoakan atasnya. Mungkin, pemimpin yang kita rindukan itu, pun sedang
merindukan kita. Wallahu a’lam.
Makassar, 8 April 2013
Mari mendoakan negeri kita, pemimpin kita, dan diri-diri kita..
Juga kaum muslimin di seluruh permukaan bumi Allah
Mari mendoakan negeri kita, pemimpin kita, dan diri-diri kita..
Juga kaum muslimin di seluruh permukaan bumi Allah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)