“Apa yang kamu pikirkan akhir-akhir
ini?”
Ah, pertanyaan itu. Mengapa ia muncul di saat yang terlalu tepat?
Kepala saya mencoba mencari-cari jawabannya. Lalu lisan saya dengan cepat
menyebutkan beberapa diantaranya.
Ya, hanya beberapa. Sebab sejatinya, belakangan ini saya memikirkan begitu
banyak hal. Entahlah. Rasanya ini mengarah kepada over-thinking. Saat saya tiba-tiba bisa merasa kepala saya akan
pecah sendiri saking terlalu banyaknya hal yang terputar-putar di dalamnya.
Tiba-tiba saya memikirkan tentang masa lalu; mengapa dulu tidak begini dan
tidak begitu. Tentang masa kini; mengapa hari terlewati dan saya tidak
melakukan sesuatu yang berarti. Tentang masa depan; apa nanti yang akan saya
hadapi, bagaimana caranya, dan akan bagaimana akhirnya. Juga tentang banyak
hal-hal remeh temeh yang ditangkap oleh kornea. Saat saya melihat botol sabun
atau shampo, saya akan membaca tulisan-tulisan di labelnya dan seketika
memikirkannya sambil menatap benda itu lamat-lamat. Saya melihat hal-hal lain
dan kemudian memikirkannya dengan lebih dalam dan lebih dalam lagi. Ya, separah
itu.
Juga perihal tentang buku baru yang seharusnya telah rampung, atau bahkan
telah terkirim ke penerbit apapun yang setidaknya berkenan untuk me-review-nya. Kepastian macam apa yang
sedang saya tunggu jika saya bahkan belum menyelesaikan apa-apa. ‘Masalah’
kapan buku berikutnya itu akan nongol, menjadi tranding-question yang hanya bersaingan dengan pertanyaan kapan
menikah. Oh, betapa!
Saya pun mencoba mengusahakannya. Menangkap burung-burung ide. Menyaderanya
di atas kertas dalam bentuk bulatan-bulatan yang terhubung dengan garis-garis
menuju bulatan-bulatan lainnya. Hingga beberapa topik seperti itu. Lalu kemudian
saya memikirkan lagi tentang langkah setelah langkah setelah langkah. Hingga
akhirnya meninggalkan perangkap-perangkap burung ide itu begitu saja lalu malah
membuat outline lainnya dan memulainya kembali dari awal. Begitu terus menerus.
Terkadang di pertengahan jalan saya malah sibuk berpikir-pikir lagi tentang
warna apa yang sebaiknya muncul di cover majalah dua bulanan kecintaan kami. Apa
hal baru yang perlu kamoi bahas lagi? Belum lagi bertemu dengan warna atau tema
pembahasan yang tepat, pikiran ini malah meloncat lagi pada apa yang sebaiknya
dilakukan agar distribusinya dapat merambah pada lebih banyak lagi pembaca.
Saat telah stuck dengan itu, saya
malah teralihkan untuk mengingat kembali kapan sebaiknya saya mengeksekusi
outline buku berikutnya yang tengah berhamburan. Atau bagaimana bisa menyerap
sebanyak-banyaknya ilmu kepeunulisan untuk kemudian menyiarkannya kembali
kepada lebih banyak orang yang akhir-akhir ini terlihat membutuhkannya dan
meminta kepada saya tanpa merasa perlu bertanya apakah saya punya cukup banyak
hal untuk diberikan kepada mereka. Dan saat semua pikiran itu tidak jua
selesai, saya masuk ke kamar mandi, melihat botol shampo, lalu teralihkan pada
tulisan-tulisan di labelnya.
Lalu waktu sudah menunjukkan lewat tengah malam. Saya harus segera tidur.
Untuk besok bangun awal dan kembali melakukan rutinitas. Hingga malam tiba
kembali dan saya bisa bertemu lagi dengan diri saya sendiri; komplit dengan
semua pikiran-pikiran menggelayut yang tidak jelas juntrungannya dan tidak
jelas penyelesaiannya itu. Saya telah teramat lelah seharian dengan pekerjaan
dan juga dengan pikiran itu, lalu pada akhirnya memilih untuk membaca buku hingga
tertidur. Tertidur dan tidak satu pun dari semua itu yang selesai.
“You need a break...”
Ya. Sepertinya begitu. Saya butuh waktu yang lebih panjang untuk bertemu
dengan diri saya sendiri. Bukan lagi dalam keadaan tenaga yang sudah terkuras
habis dan di saat seharusnya saya sudah tidur kembali.
“Berjalan-jalanlah ke tempat yang kau
suka. Seorang diri akan lebih baik...”
Ya. Sepertinya begitu. Saya butuh pandangan yang lebih luas. Saya butuh
berada di dalam akuarium saya sendiri, sambil melihat orang-orang di sekeliling
yang berada di luar dunia saya. Tidak harus sepi. Tidak harus benar-benar
sendiri. Bisa jadi saya berada di tengah keramaian. Tapi saya tetap berada
dalam akuarium, dalam dunia saya sendiri. Tanpa ada yang memanggil. Tanpa ada yang
menganggu. Tanpa ada kekhawatiran bahwa orang-orang itu akan berpikir saya ini
seperti ini atau seperti itu.
Konon, di dunia ini ada dua tipe manusia. Tipe ekstrovert dan yang introvert.
Izinkan saya menyebutkan tipe yang pertama sebagai jenis ‘orang kebanyakan’.
Sedangkan saya, jelas-jelas adalah tipe yang kedua. Saya membaca beberapa
artikel tentang jenis kepribadian ini juga mitos-mitos yang dianggap oleh ‘orang
kebanyakan’ tentang mereka; tentang kami.
Kami sering dianggap orang-orang yang kaku, bahkan sombong. Dan itu benar.
Ya, benar bahwa banyak orang yang menganggap begitu, meski hal itu adalah
sesuatu yang bisa jadi salah. Kami hanya butuh waktu yang lebih panjang untuk
berusaha agar dapat akrab, terutama dengan orang-orang yang baru kami temui,
atau jarang kami temui. Percayalah, kami selalu berusaha untuk bisa terlihat
supel seperti ‘orang kebanyakan’, meski itu tak mudah. Seperti yang saya
katakan sebelumnya, kami butuh waktu yang lebih panjang. Sayangnya, tidak semua
orang betah untuk menunggu. Dan nyatanya, lebih banyak orang yang lebih senang
sesegera mungkin menempelkan cap itu pada kami; kaku dan sombong. Sekali lagi,
tanpa berkenan memberi kami waktu. Dan itu, kukatakan padamu, sungguh tidak
adil.
Manusia adalah makhluk sosial. Dan fakta bahwa kami tidak begitu piawai
untuk bersosial ria bukanlah alasan untuk menganggap kami antisosial. Kami
bahkan punya beberapa teman dekat, kami bercerita banyak hal pada mereka;
bahkan yang remeh temeh, dalam waktu panjang, dengan cara yang sangat normal,
bahkan dengan terlihat begitu cerewet. Ya, itu yang kami lakukan pada
orang-orang yang sudah dekat dan sudah akrab dan sudah kami rasa nyaman untuk
berkomunikasi dengannya. Mereka adalah orang-orang kebanyakan, namun mungkin
punya kesabaran yang lebih besar untuk ‘menunggu’ kami untuk mencair, meski
perlahan-lahan, bahkan mungkin sangat perlahan.
Kami cepat kehabisan energi di tengah keriuhan yang mengharuskan kami
terlibat. Tidak seperti orang kebanyakan yang justru menyerap kekuatan dari
kegiatan bergaulnya, kami tidak. Kami butuh charger
bernama kesendirian. Saat kami hanya bersama diri kami sendiri. Bersama pikiran
kami sendiri. Tanpa ketakutan untuk disebut kaku, disebut sombong, atau disebut
antisosial; apalagi disebut televisi rusak. Kami sebenarnya manusia, sama seperti
orang kebanyakan. Dan menyebut kami
seolah tidak jauh beda dengan benda mati adalah tindakan yang justru tidak
manusiawi.
Dan saya pada titik ini, mulai merasa memerlukan me time itu. Berjalan sendiri. Pergi ke suatu tempat bukan untuk
bertemu dengan siapa-siapa. Memesan makanan dan minuman kesukaan saya.
Menikmatinya sambil membaca sesuatu
tanpa harus mengobrol dengan siapapun. Menghabiskan perjalanan dengan menatap
keluar jendela sambil menatap langit atau memerhatikan jalanan yang sibuk tanpa
harus menyapa atau berusaha mencari-cari topik perbincangan dengan siapapun. Menyusuri
jalan seorang diri ditengah lalu lalang orang-orang tanpa perlu khawatir
bertemu dengan seseorang atau ditatap oleh orang-orang yang akan bertanya-tanya
di dalam hati, “Mengapa kau berjalan sendirian?”
Lalu, kembali ke rumah dengan tenaga penuh. Lalu, kembali ke rumah untuk
menuliskan ini.
“Bagaimana? Kau sudah lebih lega?”
Sepertinya begitu.
Saya menatap botol shampo di kamar mandi. Tidak lagi berusaha untuk membaca
tulisan di labelnya.
Makassar, 24 April 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)