Saat membuat tulisan (yang asalnya dimaksudkan sebagai sebuah tugas) ini, saya seketika mengingat perkataan seorang ustadz, kira-kira demikian bunyinya; kondisi masyarakat saat pertama kali dahulu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam diutus, jauh lebih rusak daripada masyarakat kita hari ini. Namun nyatanya, atas izin Allah, kemudian dengan wasilah dakwah, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam dapat mengubah mayarakatnya itu, dari kaum nomaden gurun yang tidak diperhitungkan, menjadi masyarakat besar yang menguasai peradaban dunia dalam kurun waktu yang paling lama dan tidak tertandingi hingga saat ini oleh peradaban manapun. Lebih penting dari itu, masyarakat yang tadinya sedemikian rusak itu, berubah menjadi mereka yang mentauhidkan Allah dengan tauhid yang sebenar-benarnya. Makkah, kota yang dahulu dipenuhi berhala itu, kini kita lirihkan dengan hati haru dalam untaian doa-doa, bahkan kita menyebutnya dengan nama yang begitu mulia; Tanah Suci.
Hari ini, kita pun berdakwah. Bahkan medan dakwah yang kita hadapi tidak seberat yang dihadapi saat awal kemunculan Islam dahulu. Tapi, mengapa dampak dari dakwah kita tidak seperti apa yang dulu disemai oleh generasi awal? Maka kita patut bertanya, adakah kita telah benar-benar berdakwah?
Maka benarlah, bahwa kita tidak akan sampai pada kejayaan umat seperti dahulu jika kita tidak menempuh apa yang dijalani oleh mereka, para pendahulu kita yang shalih. Olehnya itu, penting bagi kita untuk menengok kembali, adakah apa yang kita lakukan hari ini telah selaras dengan apa yang dahulu dicontohkan Sang Nabi?
Tulisan ini merupakan resume dari dua bab di Kitab Sirah Nabawiyah karya Syaikh Syafiyurrahman Mubarafaktury. Membahas pada bagian agama bangsa Arab dan kehidupan sosial mereka. Dari sini kita dapat berkaca, bahwa benarlah, dahulu Islam hadir sebagai sesuatu yang asing. Namun keterasingan itu bukanlah alasan yang membuat para pengusungnya menjadi lemah, tapi sebaliknya. Keyakinan yang kuat dan tertancap di dalam hati mereka membuat jalan nan sulit itu dapat tetap terlewati. Maka jika dengan menegakkan Islam hari ini, kita pun merasakan keterasingan yang sama, jangan berduka, apalagi minder dibuatnya. Tetaplah menegakkan kepala, bukan sebab ujub dan angkuh, tapi karena kita yakin, kita sedang menempuh jalan kebenaran. Insya Allah.
---------------------------------------------
Syi’ar dari agama Ibrahim yang didakwahkan oleh Nabi Ismail alahissalam
merupakan keyakinan yang dianut oleh sebagian besar bangsa Arab. Hingga waktu
bergulir, dan mereka sedikit-demi sedikit mulai meninggalkan agama tauhid. Hal
ini diperparah dengan kehadiran tokoh bernama Amr bin Luhay. Ia adalah pemimpin Bani Khuza’ah, seorang yang terpandang dan didengarkan oleh pendudukan Makkah.
Amr bin Luhay-lah yang pertama kali memperkenalkan penyembahan berhala kepada
pendudukan Makkah setelah ia melihat kebiasaan tersebut di Syam, negeri yang ia
anggap merupakan tempat diturunkannya para nabi, sehingga lebih dekat dengan
kebenaran.
Tiga berhala terbesar ditempatkan di kota Makkah; Manat, Musyallal, dan
Lata. Amr dengan bantuan jin bahkan hingga menggali berhala-berhala peninggalan
kaum nabi Nuh, serta membuat berhala-berhala lain sehingga tidak ada satu
kabilah pun kecuali memiliki berhalanya masing-masing. Hal ini membuat
merebaknya kemusyrikan di kalangan bangsa Arab, bahkan hingga masuk dan
memenuhi ke dalam Masjidil Haram.
Selain memfasilitasi munculnya berhala, Amr bin Luhay juga membuat berbagai
macam tradisi dan upacara penyembahan yang lagi-lagi diikuti oleh banyak orang.
Mereka mengira hal tersebut adalah bagian dari kebaikan dan tidak menyimpang
dari agama Ibrahim. Diantara bentuk upacara tersebut, yaitu: (1.) Mengelilingi,
mendatangi, berkomat-kamit di depan berhala, dengan meminta kebutuhannya dan
berkeyakinan bahwa hal itu akan memberikan mereka syafaat di sisi Allah , (2.)
Menunaikan haji di sekeliling berhala, (3.) Menyembelih hewan atas nama
berhala, (4.) Memberikan sesajian kepada berhala, (5.) Bernadzar untuk
menyajikan hasil panen dan ternaknya untuk berhala, (6.) Memperlakukan
hewan-hewan tertentu seperti berhala, mereka menyebutnya al bahirah (onta
betina), al washilah (domba betina), al hamy (onta jantan). Hewan-hewan itu
harus memenuhi karakteristik tertentu untuk diperlakukan dengan cara-cara
tertentu. Berbagai macam penyimpangan ini mendapat teguran dalam berbagai ayat
al Qur’an. Padahal mereka menganggap dirinya melakukan itu semua dalam rangka
mendekatkan diri kepada Allah.
Selain penyembahan berhala, bangsa arab juga seringkali melakukan hal-hal
yang bertentangan dengan akidah tauhid. Berbagai perkara mungkari itu merebak
ditengah-tengah mereka dan dianggap sebagai sesuatu yang biasa. Misalnya,
mengundi nasib dengan anak panah, mempercayai peramal dan ahli nujum, meramal
nasib sial dengan burung, ruas tulang kelinci, atau biri-biri sebelum melakukan
suatu perjalanan. Namun, meski demikian, kita masih dapat melihat sisa-sia
ajaran agama Ibrahim ditengah-tengah mereka, yakni pengagungan kepada Ka’bah
serta pelaksanaan haji, meski tetap saja ada hal-hal baru dalam pelaksanaannya.
Hal-hal baru tersebut mereka munculkan atas dasar gengsi mereka sebagai penjaga
kota suci, sehingga tidak jarang ada prosesi yang menyimpang dari pelaksanaan
haji yang sebenarnya. Selain itu, mereka juga mendiskriminasi pendudukan dari
luar Tanah Suci yang hendak mengerjakan haji, dimana mereka harus mengenakan
pakaian yang berbeda dengan pendudukan asli, atau berthawaf dalam keadaan
telanjang. Hal ini mendapatkan teguran dari Allah dalam QS. 7:31.
Sebelumnya, kalangan bangsa Arab juga telah dimasuki oleh pengaruh dari
agama Yahudi, Masehi, Majusi, dan Shabi’ah. Bangsa Yahudi masuk ke jazirah Arab
degan dua alasan, yakni: (1.) Penghancuran negeri mereka oleh Bangsa Babilon
dan Asyur sehingga mereka pindah dari Palestina ke Hijaz Utara. (2.)
Pencaplokan Palestina oleh Romawi pada 70 Masehi dan mereka pindah ke Hijaz dan
membentuk kabilah-kabilah di berbagai tempat di jazirah Arab, hingga saat
kemunculan Islam jumlah mereka menjadi lebih dari dua puluh kabilah.
Di Yaman, Yahudi dibawa oleh As’ad Abu Karib, dilanjutkan ole putranya
Yusuf Dzu Nuwas yang melakukan pembantaian atas 20.000 pendudukan Najran pada
Oktober 523 M agar mereka mau memeluk agama Yahudi, kejadian ini terabadikan
dalam QS. Al Buruj.
Agama Nasrani masuk lewat pendudukan orang Habasyah dan Romawi di Yaman
pada 340 M. Abrahah menggantikan kedudukan Dzu Nuwas dan mendirikan gereja dan
menamakannya sebagai Ka’bah di Yaman. Ambisi Abrahah untuk mengalihkan ritula
haji ke gerejanya itulah yang memicu dikirimkannya pasukan gajah untuk
menghancurkan Ka’bah, meski hal itu tidak berhasil.
Sedangkan agama Majusi berkembang di kalangan bangsa Arab yang dekat dengan
orang-orang Persi, beberapa wilayah jazirah Arab juga menjadi tempat
berkembangnya agama ini. Sementara agama Shabi’ah berkembang di Irak. Masuknya
agama Yahudi dan Nasrani menggeser keberadaan agama ini. Sisa-sisa pemeluknya
bercampur dengan penganut Majusi atau masyarakat yang tinggal di wilayah teluk
Arab.
Dapat disimpulkan bahwa keberadaan agama-agama ditengah bangsa Arab kala
itu sarat dengan berbagai macam penyimpangan. Hal ini menyebabkan nilai-nilai
agama yang mereka anut tidak melepaskan mereka dari kebiasaan, kepercayaan, dan
tradisi orang-orang musyrik. Mereka yang mengaku mengikuti agama Ibrahim
kenyataannya menjadi penyembah-penyembah berhala. Penganut Yahudi menjadikan
pemimpinnya sebagai sesembahan yang membuat hukum-hukum baru. Sementara umat
Nasrani mempercayai paganisme dan membuat konsep yang mencampuradukkan antara
Allah dengan manusia. Kesemuanya itu tidak membawa kebaikan bagi kondisi bangsa
Arab di masa itu.
Sedangkan dalam kehidupan sosial, masyarakat Arab membagi dirinya dalam
kelas-kelas masyarakat. Kaum terpandang dan bangsawan mendapatkan kehormatan di
tengah kaumnya. Para lelaki memiliki kedudukan melebihi para wanita yang tidak
mempunyai hak dan pilihan. Sementara di kelas masyarakat lainnya, hubungan
antara laki-laki dan wanita lebih bebas, buruk, dan menjijikkan. Saat itu, di
tengah mereka terdapat empat macam jenis pernikahan. Dalam riwayat Abu Daud
dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anhu, keempatnya dijelaskan sebagai berikut: (1.) Pernikahan
spontan, lelaki menikahi seorang wanita dengan melamarnya dan memberikan mas
kawin. (2.) Istibdha’, yakni seorang suami mencari bibit anak yang baik dengan
meminta istrinya mendatangi lelaki lain yang terpandang hingga ia hamil, lalu
diambil kembali oleh suaminya tersebut. (3.) Poliandri, seorang wanita
berkumpul dengan sejumlah lelaki (jumlahnya di bawah sepuluh), lalu setelah
hamil , ia akan menunjuk seorang diantara lelaki itu dan lelaki itulah yang
menjadi ayah dari bayi tersebut. (4.) Wanita pelacur dengan tanda silang di
depan pintu rumahnya, didatangi oleh sejumlah lelaki, setelah ia hamil, maka ia
akan mengundi diantara lelaki tersebut
yang akan mengakui anaknya, dan ia tidak boleh menolaknya.
Bangsa Arab menjadikan wanita-wanita mereka sebagai taruhan dalam
peperangan. Kebiasaan pernikahan juga melazimkan poligami tanpa adanya batasan
jumlah dan aturan-aturan. Perzinaan merebak, terutama di kalangan awam dan
hamba sahaya. Mereka juga mengubur hidup-hidup anak perempuannya. Mereka hidup
dalam fanatisme kabilah sehingga sangat rentan menyulut peperangan
antarkabilah. Disimpulkan bahwa kondisi sosial bangsa Arab saat itu begitu
rapuh dengan merebaknya kebodohan dan khurafat. Kedudukan wanita begitu
terhina, kekayaan dikuasai oleh penguasa, dan rakyat dijadikan tameng untuk
menghadang serangan musuh.
Di sisi ekonomi, bidang perdagangan menjadi hal yang paling berkembang dan
diminati oleh bangsa Arab. Namun, hasil kerajinan kebanyakan muncul dari negeri
Yaman, Hirah, dan pinggiran Syam. Kekayaan hanya memicu peperangan sementara
kemiskinan tetap merajalela.
Ditengah kondisi kepercayaan, sosial, dan ekonomi yang berkesan kacau dan
tertinggal, bangsa Arab masih memilki keunggulan dari sisi akhlak. Mereka
dikenal sebagai orang-orang yang dermawan, meski kedemawanannya itu kerap kali
ditunjukkan dengan kemurahan hati mereka saat melaksanakan pesta minum khamr
yang begitu mereka banggakan. Selain itu mereka terkenal sangat teguh dalam
memenuhi janji, pemberani dan enggan menerima kehinaan, pantang mundur, lemah
lebut dan suka menolong orang lain, memiliki pola hidup yang sederhana yang
dibalut dengan kejujuran serta meninggalkan dusta dan pengkhianatan. Keluhuran
akhlak yang sangat berharga inilah yang menjadi sebab bangsa ini dipilih untuk
mengemban risalah yang menyeluruh dan memimpin umat serta masyarakat manusia.
Hal-hal negatif yang turut menyertai akhlak baik tersebut ternyata dapat
direduksi dengan sentuhan perbaikan. Perbaikan dari cahaya kebenaran yang
selanjutnya menyapa mereka setelah masa jahiliyah tersebut terlewati; cahaya
Islam.
Makassar, 24 Maret 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)