Ini bukan yang pertama kalinya ada yang curhat tentang perasaannya ke saya.
Dan bukan pertama kalinya pula saya menanggapinya dengan cara yang sama. Cara
yang cenderung menggunakan pendekatan yang mungkin saja kurang tepat, meski mungkin pula tepat. Saya bukan
seorang konselor, bukan pula psikolog, tidak pernah pula mendalami ilmu
psikologi apapun. Saya menanggapi curhatan-curhatan itu lebih dengan kacamata
saya sendiri, dengan bentukan apa-apa yang selama ini saya pelajari dan saya
alami, dengan sedikit insting dan kalkulasi-kalkulasi yang lebih dekat pada
permainan otak daripada hati.
Maka tak heran, jika saat seorang kawan, sahabat, dan saudari di jalan
Allah yang bercerita tentang perihal yang serupa, saya lebih sering menggunakan
analisis dengan logika dan mengaitkannya dengan hal-hal teoritis yang tekstual.
Maka saya pun memaklumi, jika kemudian yang curhat itu, setelah selesai
memercikkan isi hatinya kepada saya, lalu saya memberikan semacam saran yang
bagi saya bersifat final, maka itu tidak selalu membuat hati mereka sejuk.
Kawan lama yang tidak sengaja berjumpa di angkutan umum harus tertegun beberapa
saat setelah mendengar saran saya setelah ia curhat. Sahabat yang saya sayangi
bahkan harus mencari ruangan lain di kantornya sebab ia menangis setelah chit-chat dengan saya dan saya
memberikannya semacam langkah solusi versi saya. Salah seorang saudari saya
bahkan menganggap saya seolah sedang menjatuhkannya ke jurang dengan
uraian-uraian dan simpulan-simpulan yang saya tarik berkenaan dengan kisah yang
ia tumpahkan.
Jika tidak disebut sebagai pembenaran, saya sebenarnya pun sudah berusaha
untuk berhati-hati dalam hal ini. Meski pada akhirnya mungkin yang saya katakan
itu bukanlah sesuatu yang ingin mereka dengarkan. Tapi saya hanya tak ingin
menjadi terlalu lembek menghadapi masalah hati, pun tidak ingin terlalu keras
agar ia tak patah berkeping-keping. Percayalah, saya sudah mencoba untuk
bersifat senetral dan seseimbang mungkin dan lebih memilih jalan damai.
Tapi..
Tapi..
Tapi..
“Betul juga sih, Din...” ujar kawan lama saya itu
“Mungkin memang saya yang
sedang mellow.. By the way, tenkyu ya..” ucap sahabat saya kemudian
“Ukhti, setelah kau
mendorongku ke jurang, kau malah tinggal di tepinya dan menungguku untuk
kembali bangkit sambil terus berdoa. Syukran...”, demikian kata saudari saya itu.
Dan saya bahagia. Dan saya merasa setiap orang memang akan memberikan
sebuah ‘respon-antara’ saat menerima
sesuatu. Untuk kemudian mencerna dan
menerima hal tersebut. Dan menurut pengakuan mereka, setelah itu mereka merasa
lebih baik. Entah mereka menjalani apa yang saya sarankan atau tidak, saya
tidak tahu. Sebab saran untuk berhenti,
putus, atau tinggalkan, nyatanya memang tidak semudah mengucapkannya.
Meski mereka mengaku merasa lebih lega, seringnya setelah itu justru saya
yang tinggal merenung sejenak atas kata-kata saya sendiri. Mengubah rasa
menjadi hal yang berbeda dengan seketika, apakah semudah itu?
.
.
.
Seharusnya semudah itu.
Ya, akan semudah itu jika kita menelusuri jalan Umar bin Khattab. Khalifah
kedua yang terkenal dengan ketegasan dan keberaniannya, nyatanya begitu mudah
memutarbalikkan perasaan cinta dengan segera. Kecintaannya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang pada
mulanya ia akui berada di bawah kecintaannya pada dirinya sendiri, dengan mudah
segera ia ubah menjadi berada di atas kecintaan pada dirinya. Sekejap!
Sebab nyatanya, hati itu sudah seharusnya tunduk pada perintah kita. Bukan
sebaliknya. Dan apa yang kita perintahkan padanya sangat erat kaitannya dengan
pemahaman dan hal-hal yang kita yakini benar. Saya terlalu logis dalam hal ini?
Biarlah.
Tapi itu Umar bin Khattab. Shahabat yang dijamin surga. Ia yang syaithan
mencari jalan lain ketika berpapasan dengannya. Ia yang meluruskan shaf shalat
dengan kilatan pedang. Ia yang meraih hidayah dengan mendengar ayat al Qur’an. Yang
bencinya segera berubah cinta, dan kejamnya segera berganti dengan tegas dalam
kebenaran. Yang keislamannya menjadi pembeda!
Lalu saya menengok kedalam diri saya sendiri. Jika saya yang mengalami hal
yang sama seperti yang dialami para perempuan yang memercayakan perihal
perasaannya itu, apakah menjalani apa yang saya sarankan akan semudah itu?
Mengubah rasa menjadi hal yang berbeda dengan seketika, apakah semudah itu?
.
.
.
Ya, seharusnya semudah itu.
Makassar, 11 Maret 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)