"saat saling meninggalkan mempunyai sebuah alasan, apa yang membuat mereka memilih untuk tetap bertahan?"
Ini tentang sepasang jiwa, kembali kita memandang keduanya dari arah langit
melihatnya. Yang pertama adalah seorang lelaki. Telah lebih dari separuh abad
ia habiskan untuk berjalan di muka bumi. Berbagai peristiwa telah ia jalani. Ia
terlahir dari rahim perempuan yang
dirindukan. Hari-hari masa kecilnya mungkin terdengar sama dengan bocah
lelaki kampung kebanyakan. Tempatnya berlari adalah alam yang luas, jalanan
masa lalu yang lengang, dan sungai-sungai yang mengalir jernih. Itu ia jalani
hingga usia remaja. Hingga takdir mengantarkannya untuk beranjak pada kehidupan
kota. Tempat ia bergelut. Tempat ia sukses dan tempat ia gagal. Tempat
berpasang mata memandangnya remeh dan merendahkan, yang dikemudian hari malah
menunduk-nunduk memberikan penghormatan. Tempat ia merenda waktu dan berjumpa
dengan perempuan yang menemani hari-harinya, yang ia anggap akan terus berada
di sampingnya, hingga penghujung usia.
Perempuan itu pun tidak jauh berbeda dengannya. Ia juga berasal dari
kampung yang letaknya begitu jauh dari kota tempat mereka bertemu. Perempuan
itu sudah terbiasa dengan kepedihan, sebagaimana ia terbiasa pula dengan
senyuman. Hari-hari masa kecilnya adalah kombinasi antara cerita yang berisi
begitu banyak tokoh, berbagai tempat dengan begitu banyak sejarah, bahkan juga
dengan letusan senjata, peperangan, dan perjuangan yang oleh sebagian orang
hari ini disebut dengan pemberontakan. Perempuan itu mewarisi keindahan dari
kedua ibu bapaknya. Jiwanya luas untuk menampung segala salah dari manusia
lain. Kesalahan yang selalu punya alasan untuk ia hapuskan. Sesuatu yang
membuat orang-orang akan bertanya dengan herannya; dari apa hatinya diciptakan?
Keduanya lalu bertemu. Keduanya lalu ditakdirkan saling jatuh cinta. Lalu
saling mencintai. Lalu saling menyayangi. Di hadapan khalayak, tiada cela pada
pasangan ini. Keduanya adalah pejuang kehidupan pada masa lalu masing-masing.
Tipe perjuangan yang berakhir indah yang dimata banyak orang terlihat seperti ending dari cerita-cerita para putri dan
pangeran. Meski pada kenyataannya, tidak demikian.
Ya, kenyataannya memang tidak ada sesuatu pun yang berlaku selamanya. Tidak
bahagia. Tidak pula kesedihan. Keduanya akan datang bergantian, sesuai dengan
apa yang diperintahkan oleh Allah. Begitupun dengan kehidupan lelaki dan
perempuan ini. Dan mereka menjalani itu dengan caranya masing-masing. Tidak
selalu lulus, lurus, dan berhasil. Sesekali mereka terjatuh, bahkan hingga
jauh. Bahkan hingga perih menelusup. Tapi ada hal yang tidak berubah pada
keduanya, sebab apapun yang terjadi, lelaki
itu tidak pernah pergi, dan perempuan itu tidak pernah berhenti mencintai.
Segala hal berjalan dengan saling kait mengait. Sikap kita pada sesuatu
menjadi sebab bagi terjadinya sikap yang lain. Begitu seterusnya. Begitu pula
yang terjadi pada kehidupan keduanya. Apa yang dihadapan orang-orang luar
mereka nampak selalu indah, tidak sepenuhnya benar.
Bagaimanapun, lelaki itu tetap saja kaget dan tidak mengira bahwa jalan
ceritanya akan seperti itu. Apa yang ia jalani kini sungguh berbeda dengan apa
yang dulu ia impikan. Ia khayalkan. Ini nyata, jalan hidupnya menjadi berbeda
dengan orang-orang kebanyakan. Perempuan yang ia hadapi kini, tidak lagi sama
seperti yang ia kenal dahulu. Ibarat lilin, cahayanya telah meremang. Kini ia
lebih seperti kunang-kunang yang terus berupaya untuk tetap berpendar. Sesakit
apapun itu. Sepayah apapun itu.
Dan lelaki itu tahu, itu semua berjalan bukan atas keinginan perempuannya.
Tidak ada langit cerah yang ingin berubah mendung saat semua orang menikmati
cahaya di bawahnya. Maka semua itu memang tidak berada dalam kendali mereka.
Lelaki itu sangat memahaminya.
Tapi bagaimanapun, ia adalah manusia biasa. Ia tersalah dan terjatuh saat
kemudian matanya sejenak buta dan telinganya mendadak tuli, mungkin sesaat pula hatinya mati. Saat
ia melangkahkahkan kaki dan terkagum-kagum pada nyala neon yang semu. Yang
sekejap saja ia nikmati, namun kemudian membawa malapetaka pada diri.
Tersebab itu, lilin perempuannya seolah benar-benar padam. Langit tiba-tiba
dilanda kelam, petir dan kilat menyambar-nyambar, ia menjad saksi, saat putra
mereka mendekap erat tubuh ibunya, memeluk perempuan itu, lalu menangis di
sana. Sesuatu yang dilakukannya hanya sekali dalam hidupnya. Matanya menangis
dengan air mata yang berlinang-linang. Bersamaan dengan itu, hati putranya itu
mengeras, rahangnya merapat dan tegang. Ia seperti sedang berlindung di bawah
pohon rindang yang dengan sengaja rubuh jatuh menyakiti tubuhnya. Menyakiti
hatinya. Ada paku-paku tajam yang menghujam di sana. Paku yang meski telah
tercerabut dan dibuang, tetap saja akan meninggalkan bekas yang tidak akan
pernah hilang. Mereka menyebutnya, seburuk-buruk
kenangan.
Keadaan menjadi sedemikian kacau. Tiada cahaya lagi. Tiada senyuman lagi.
Meski dihadapan orang-orang, tawa itu tetap menyungging untuk menutupi.
Keadaan telah sedemikian kacau. Faktanya, perempuan itu tetap saja bukan
yang dulu. Ia tetap bukan lagi lilin yang bersinar. Ia adalah kunang-kunang
yang baru terlihat terang saat yang lain gelap. Yang baru dapat dilihat mata
dengan harapan dan keyakinan yang kuat. Maka sebenarnya, lelaki itu punya
alasan untuk membenarkan kesalahan dirinya. Tapi, ia tetap meminta maaf dan
merasa khilaf. Dan ia tetap begitu, menjadi dirinya hingga ini; lelaki yang tak pernah pergi.
Sementara bagi sang perempuan, sampai kapan pun lelaki itu tidak pernah
sama lagi. Ia bukan lagi pohon yang kokoh dan menaungi, melainkan gundukan
kayu-kayu nan rapuh yang bisa patah kapan saja. Celahnya sudah nampak
dimana-mana. Tapi tetap ia mengingati perjanjian agung yang pernah dilafadzkan
oleh sang lelaki, yang Allah menjadi saksinya. Maka ia tetap menunaikan bakti
yang masih ia bisa. Masih tetap menjadi yang mengalah, seberapa berat dan
seberapa banyak pun air mata yang ia tumpahkan. Ia tahu ia hanya punya pendar.
Ia sadar ia bisa ditinggalkan kapan saja, tanpa seorang pun yang menganggap itu
salah. Karena itulah, ia tetap menguatkan diri menjalani semuanya. Baginya itu
adalah alasan terkuat yang membuatnya tidak perlu berubah menjadi apa-apa, ia
pun menjadi dirinya yang demikian hingga kini; menjadi perempuan yang tidak berhenti mencintai.
Maka kita tahu, Allah adalah sebaik-baik Dzat yang menentukan takdir. Yang
bersama tidak selalu sama. Yang dipertemukan tidak selalu sebab serupa. Yang
bertahan juga bukan hanya sebab masih baik-baik saja. Tapi, antara lelaki yang
tidak pernah pergi dan perempuan yang tidak berhenti mencintai, ada satu
kesamaan yang membuat keduanya tetap menautkan hati; keduanya memilih sebuah
keputusan yang sejalan; keputusan untuk tetap bertahan.
Langit memandang keduanya dengan syahdu; betapa ia mengasihi kedua orang
itu.
Makassar, 17 Maret 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)