Mimpi. Impian. Kata-kata itu belakangan menjadi begitu populer di masyarakat. Semangat menggantungkan mimpi setinggi mungkin dan menggapainya dengan segenap kekuatan sangat mengharu-biru akhir-akhir ini. Anjuran untuk jangan takut bermimpi pun muncul dimana-mana. Ada yang salah? Mungkin tidak juga. Selama mimpi itu adalah sesuatu yang baik dan orang yang memiliki impian itu memiliki keinginan yang kuat untuk mewujudkannya. Mimpi-mimpi baik yang terwujud mungkin bisa turut membuat dunia ini menjadi tempat yang lebih indah. Mungkin.
Matahari masih sibuk terus menyinari dunia di siang yang terik itu saat
saya hanya berdua dengan ibu di rumah. Beberapa waktu belakangan ini, ibu
mencoba sebuah alat terapi baru yang digunakannya dua kali setiap harinya. Juga
ada sejenis obat baru dalam bentuk air minum yang dikonsumsinya secara rutin.
Kombinasi kedua hal baru itu nampaknya memberikan semangat baru untuk ibu.
“Waktu kecil kamu begini... sekarang gantian...” ujar ibu sambil terus
berusaha menjaga keseimbangannya. Saya berjalan di belakangnya, menuju ambang
pintu WC. Sejak nampak lebih bersemangat, ibu mulai mencoba untuk berjalan
sendiri tanpa bantuan pundak saya atau tanpa dibantu kursi beroda.
“Kalau Mama sembuh...,” wanita yang paling saya cintai itu menatap
langit-langit kamar. Saya berbaring di sampingnya. “Mama mau berjalan ke masjid
setiap mendengar adzan...” ujarnya sambil tersenyum. Ada selapis bening yang
nampak di kedua bola mata ibu. Saya, melihat harapan di sana.
“Nanti saya yang temani!” ujar saya sambil mengepalkan tangan ke udara.
Bersemangat. Ibu masih terus tersenyum.
Itu mimpi ibu.
Sederhana saja. Bukan tentang mengelilingi dunia. Bukan perihal memiliki
ini atau itu. Bukan juga untuk bisa menjadi apa atau menjadi anu. Mimpi ibu
hanya itu; berjalan ke masjid tiap mendengar adzan.
Saat sendiri di kamar selepas shalat maghrib, saya terdiam di atas sajadah.
Menghapus sendiri air mata yang mengalir pelan dengan spontan saat saya
mengingat perbincangan kami siang tadi.
Dalam pada itu, saya sadar. Mimpi saya pun masih sama. Saya masihlah bocah
perempuan lima belas tahun yang lalu, yang di atas sajadah menangis seorang
diri, lalu mengusap air matanya sendiri, sambil mengangankan dan mendoakan
untuk terwujudnya sebuah mimpi; melihat ibu terus tersenyum, tanpa harus
menanggung sakit apapun lagi.
Sederhana saja.
Makassar, 5 September 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)