Sebuah pesan mendarat di hp
saya via BBM. Seorang senior jaman SMA dulu merekomendasikan nama seorang
penulis yang (menurut penjelasannya) terkenal di seantero dunia maya.
“Dia baru saja menerbitkan buku, Kak. Judulnya Hujan Matahari...” ujar junior itu.
Dia pun menjelaskan tentang
penulis lelaki itu kepada saya. Namun, yang membuat saya kemudian menjadi
semakin tertarik untuk ikut membaca tulisannya adalah saat adik itu kemudian
mengatakan...
“Gaya menulisnya sepertimu, Kak.”
Dan, saya resmi penasaran.
Akhirnya, saya pun
berselancar di dunia maya, berbekal satu nama. Dari sana, saya bukan hanya
terkoneksi pada akun yang berisi sejumlah tulisannya, tapi juga beberapa akun
lain yang secara terang-terangan menceritakan tentang kekagumannya pada penulis
yang satu ini. Atau, pada beberapa blog yang memuat ulang tulisannya. Nama
penulis itu; Kurniawan Gunadi.
Berdasarkan tulisannya yang
saya baca di akun tumblr, saya mencoba membuat pola pada kebiasaan menulis
lulusan ITB angkatan 2009 ini. Pendek-pendek saja. Kita bisa membaca beberapa
judul dalam satu kali duduk. Namun saya rasa, justru di sana kekuatan dari
tulisan itu. Bagi saya, terkadang ada plus minus tersendiri saat membuat
tulisan yang pendek. Saya pribadi, cenderung agak kesulitan melakukan hal
tersebut. Selalu saja terasa lebih mudah jika punya ruang yang besar untuk
menulis. Kekhawatiran bahwa ada hal-hal yang tidak terbahas seringkali mampir.
Namun hal itu tidak terjadi pada tulisan Kurniawan Gunadi.
Mungkin, karena sejak awal
tema yang ia angkat memang hal-hal yang sederhana, bahkan kadang terasa
personal. Ia benar-benar menerapkan teori yang saya dapatkan di salah satu
kelas menulis Aan Masyur, saya pribadi menamainya dengan; menjaga harmoni tulisan.
Ia membuat pembuka yang
baik, yang membuat pembaca penasaran tentang apa yang selanjutnya akan ia
bahas. Kemudian disambung dengan isi tulisan yang juga menarik, dengan bahasa
sederhana, namun memiliki makna yang dalam. Dan, bagian terakhir, bagian
penutup, menurut saya merupakan kekuatan besar dari setiap tulisannya. Ada saja
‘aha-moment’, atau hembusan napas
berat, atau perasaan tertohok yang akhirnya harus saya alami saat tiba di akhir
tulisan. Seolah rasanya ingin mengatakan, ‘Ah,
orang ini harusnya melanjutkan tulisannya lagi!’. Rasanya, seperti masih
ada yang perlu dijelaskan, meski kenyataannya, sebenarnya semuanya telah cukup,
dan Kurniawan Gunadi selalu sukses menutup setiap tulisannya dengan ciamik. Apa
efeknya? Pembaca akan terus menerus mencari tulisannya yang lain!
Saat pre-order musim kedua
dari Hujan Matahari dibuka, saya segera ikut memesan. Ia menerbitkan bukunya
secara independent, namun saya rasa ia telah melibatkan tim yang solid. Sebab,
distribusinya bahkan hingga ke negeri jiran, Malaysia.
Setelah menunggu beberapa
hari, akhirnya pesanan saya datang. Saya membaca buku ini pertama kali di
tengah acara ramah tamah wisuda adik saya. Namun, terasa masih bisa fokus
dengan setiap isinya.
Hujan Matahari. Judul yang
unik. Waktu kecil, saya sering mendengar dua kata ini disebut bersamaan saat
merujuk kepada keadaan di mana hujan turun saat matahari bersinar terang.
Orang-orang menyebutnya; hujan orang mati. Jika fenomena alam ini terjadi, saat
itu kami percaya bahwa di salah satu belahan bumi, ada seseorang yang meninggal
dunia. Hingga kini, saya tidak pernah tau kebenaran dari hal tersebut.
Namun dalam buku perdananya
ini, saya rasa makna hujan dan matahari adalah sebuah simbol keseimbangan.
Bahwa dalam hidup, dua hal yang bertolak belakang memang akan selalu datang
silih berganti; positif dan negatif. Namun, keduanya tetap akan bermakna
berbeda, tergantung dari siapa yang memberikannya arti dan menyikapinya.
Tulisan-tulisan dalam buku ini dimaksudkan sebagai bahan renungan. Renungan
sederhana namun dibungkus dengan kemampuan menulis yang begitu baik. Seperti mengambil
sebuah bawang merah, kita terkadang hanya melihat permukaannya saja. Namun,
tulisan dalam buku ini seolah mencoba membuka lapisan-lapisannya hingga tuntas.
Dalam.
Hujan Matahari terdiri atas
tiga bagian besar yang membagi tulisan-tulisan pendek yang ada di dalamnya.
Gerimis, Hujan, dan Reda. Terus terang, saya tidak bisa menemukan kesamaan pada
setiap kelompok tulisan ini. Tidak bisa pula menjalin sebuah diferensiasi
antara satu bagian dengan bagian yang lain. Mungkin karena ketidakmampuan saya
menangkap maksud si penulis.
Namun, saya merasakan tiga
pengalaman yang berbeda saat membaca tulisan dalam buku ini. Pengalaman itu
tidak terbagi berdasarkan bagian secara satu per satu. Namun, tulisan di
awal-awal saya rasakan bersifat menuturkan cerita. Dengan apik, terkadang sosok
penulisnya muncul sebagai seorang lelaki, atau seorang perempuan, bahkan sebagai
seorang bocah. Cerita-cerita itu seperti dibentangkan di hadapan kita untuk
kita tonton saat membaca buku ini. Pada bagian tengah, mulai terasa ‘suara’
penulis yang seolah berbicara langsung kepada pembacanya. Seolah sedang
mengajak pembacanya saling berhadap-hadapan, lalu membincangkan tentang apa
yang ada di isi kepalanya. Hal yang sama
saya rasakan pula saat membaca tulisan Salim A. Fillah.
Nah, di bagian akhir, saya
merasa mulai seperti sedang mencuri dengar. Kurniawan Gunadi terasa seperti sedang
berbicara dengan dirinya sendiri, sambil mempersilakan pembacanya untuk menguping.
Beberapa tulisan nampak dibuat secara sengaja untuk menjadi auto-spirit bagi penulisnya. Semakin
kebelakang, warna dari tulisan-tulisannya mulai menjadi semburat merah muda.
Penulisnya mulai sering membicarakan ‘kau’ yang entah siapa, dengan berbagai
perasaan yang ia pendam untuk ‘kau’, juga bagaimana ia menyimpan dengan rapi
isi hatinya, untuk nanti ia ungkapkan saat tiba waktunya. Ada kesantunan dalam
setiap tulisannya. Ada sisi religius yang kental dan pengakuannya dalam
pencarian jalan kebenaran. Ada kontemplasi yang mendalam dan membawa dirinya
pada kenyamanan hidup dengan jiwa yang damai.
Beberapa bagian saya tandai
sebagai part favorit saya. Pada
tulisan berjudul ‘Harapan’ misalnya, penulis menganalogikan manusia bagai hujan
atau matahari. Yang mungkin tidak diinginkan oleh sebagian orang, namun ia akan
tetap datang pada mereka yang menginginkannya. Layaknya hujan. Layaknya matahari.
Konsep tentang ‘memahami’
orang lain juga berhasil menyempurnakan pemaknaan saya tentang hal ini. Selama
ini, saya selalu beranggapan, bahwa sedekat apapun kita dengan seseorang, maka
mustahil kita bisa memahaminya seratus persen. Adalah dusta saat seseorang
menganggap dirinya bisa memahami hidup orang lain begitu saja padahal ia tidak
pernah menjadi orang tersebut secara utuh. Titik. Yang saya pahami hanya sampai
di sana. Lalu, Kurniawan Gunadi melengkapkannya;
“Tidak ada orang yang benar-benar bisa memahami orang lain. Yang ada adalah
seberapa lapang hatinya untuk menerima kehadiran orang lengkap dengan
karakternya itu dalam hidupnya.” (Memahami, hal. 133)
Penulis ini juga
menggambarkan pertemuan –yang ia sebut ‘jodoh’, sebagai sesuatu yang bisa
terjadi jika dua orang berada pada satu impian yang sama, satu tujuan yang
sama. Hanya orang-orang yang memiliki tujuan serupa yang akan dipertemukan
dalam sebuah perjalanan.
Di beberapa tulisan juga
Kurniawan Gunadi banyak mengangkat tema tentang dunia lelaki dan dunia
perempuan. Rasa-rasanya, pengetahuan lelaki ini tentang perempuan cukup
komprehensif. Begitu pula dengan bagaimana ia memaknai peranan antara lelaki
dan perempuan dalam kehidupan. Sebuah kutipan menarik yang menggambarkan
bagaimana ia hormat pada kaum Hawa tergambar dalam bagian ini;
“Laki-laki akan tampak kuat jika ada perempuan di dekatnya. Pelindung pun
tidak selalu berarti lebih kuat dari yang dilindungi.” (Hidup Laki-Laki, hal. 149)
Dan akhirnya, buku ini pun
ditutup dengan tulisan berjudul ‘Hujan Matahari’ yang saat menuntaskannya,
membuat saya melengos saat ternyata halaman isinya sudah habis. Faktanya, buku
ini membuat saya berharap perjalanan saya tadi siang bisa lebih panjang agar
saya bisa tiba di rumah setelah menyelesaikan membacanya. Kadang saya
tersenyum. Kadang mengangguk-angguk. Yang pasti, saya terbawa. Dan, tiba-tiba, saya merindukan hujan.
Saya baru saja
menyelesaikan buku Lapis-Lapis Keberkahan dan menemukan di sana bahwa salah
satu momentum turunnya berkah adalah saat hujan turun. Dikisahkan tentang para
sahabat yang kerap bermain hujan saat rintik mulai turun dari langit. Mereka
bahkan mengeluarkan barang-barangnya agar terkena air hujan. Sungguh menarik
sekali. Dan, saya berharap pula Hujan Matahari dapat membawa berkah, bagi
penulis dan pembacanya.
Oh iya, akhirnya, satu hal
yang ingin saya katakan pada junior yang merekomendasikan buku ini adalah, “Dik, kamu salah. Kurniawan Gunadi menulis
dengan cara yang jauh lebih baik daripada saya.”
Makassar, 27 September 2014.
Ya, saya tuntas hujan-hujanan.
Buku ini tidak dijual di toko buku, Ganesha. Silakan ikut preordernya di blog penulisnya; kurniawangunadi.tumblr.com
BalasHapus