Pertanyaan di judul tulisan ini tiba-tiba dilontarkan seorang remaja
bersenyum manis kepada saya. Udara yang mulai sejuk jelang ashar itu membawa
angin yang berhembus pelan, memainkan ujung jilbabnya. Selanjutnya cerita
mengalir dari bibirnya. Perihal perasaan yang tidak bisa ia cegah kepada
seseorang yang konon punya banyak fans di sekolahnya. Dan ia mengaku hanya
menyukai saja, di dalam hatinya saja, serta tidak pernah mengharap yang lebih
dari itu.
“Kak, jangan bilang sama siapa-siapa,
ya!,” ujarnya sambil menyelidik ke sekeliling. Saya tersenyum padanya
sambil mengangguk. Ah, adik ini... ini bahkan adalah perjumpaan pertama kami.
Ia dengan setia menanti saya di beranda masjid itu, lalu mencuri kesempatan
saat kami hanya berdua untuk menceritakan hal yang tadi. Saya, melihat binar
semangat di matanya. Terlepas dari gebu-gebu asmara masa muda yang tengah ia
rasa, saya justru menangkap ada semangat berkebaikan di balik pertanyaan itu. Ada
yang ingin ia pastikan, perihal dosa dan pahala yang tentu merujuk pada
kehidupan setelah kematian, kepada akhirat.
Inilah serunya bergelut di pos dakwah yang satu ini. Saat ganti-berganti di
hadapan kita wajah-wajah baru yang punya satu kesamaan; usia muda! Usia yang
baru lepas dari warna-warni kanak-kanak. Penuh gejolak namun sarat semangat.
Kadang labil namun justru membuatnya menjadi lebih berkemungkinan untuk
diarahkan kepada kebenaran. Membuat mereka mampu bermetamorfosa menjadi sosok
yang lebih matang di usianya yang belia sungguh sesuatu yang patut untuk
disyukuri. Inilah serunya bergelut di pos dakwah yang satu ini. Membuat saya
terkadang lupa pada umur yang terus bertambah. Membuat saya selalu merasa
paling muda saat berada di tengah-tengah mereka yang dewasa.
Lalu kembali kepada perihal cinta. Sebuah kata yang sudah terlalu banyak
dibahas. Ia terselip diantara berbagai aktivitas. Ia sering suka-suka muncul di
mana saja dan kapan saja. Repotnya, terkadang ia susah untuk dicegah; terasa
berada di luar kendali pemiliknya.
Suatu waktu orang yang sedang jatuh cinta bisa demikian terbuai. Menatap
langit senja seolah berwarna merah muda. Menyunggingkan senyuman tanpa alasan
yang jelas. Bahkan tidak bisa tidur sepanjang malam karena sibuk dirundung rindu.
Jikapun bisa terlelap, tetap saja ada sosok yang menyelinap hingga ke bawah
sadarnya. Oh, betapa!
Lalu perkara cinta-cintaan ini tidak lepas dari topik yang entah mengapa,
rasanya selalu saja menyelip di SEMUA lini perbincangan, setidaknyambung apapun,
pasti ujung-ujungnya akan terarahkan untuk berbicara persoalan; pernikahan!
Nah, entahkah memang ada fase dalam hidup manusia di mana seolah hanya itu
saja yang jadi masalah pelik yang harus segera terpecahkan? Para jomblo sibuk
saling sorong untuk duluan menuntaskan para lajang, sementara mereka yang
berkeluarga tidak pula lupa untuk menjadi kompor bagi para jomblo itu untuk
membahas kehidupan rumah tangga. Pokoknya di mana-mana! Di semua grup chat di
berbagai sosial media, saat berjumpa dengan kawan yang begitu sering bersama
atau yang baru lagi ketemu, di tengah forum pertemuan keluarga, saat ada sanak
famili yang bertamu di rumah, bahkan pada obrolan ringan dengan ibu berdua
saja! Huh... Dan, semua itu seolah tidak habis dibicarakan dan tidak bosan diperbincangkan.
Beberapa orang menjadi begitu bersemangat jika membahas hal ini. Entah
karena memang ingin segera menuju sana, atau karena merasa seru dan terhibur
saja. Ada juga yang secara ekstrem memilih untuk bergabung jika topik mengarah
ke pada tujuan itu. Entah karena memang benar-benar tidak berminat atau justru
karena takut dicitrakan ngebet nikah. Ada yang ini dan itu, entah dan entah...
Saya sendiri cenderung memilih untuk menikmatinya saja. Suatu kali saya
dibully di sebuah grup saat semua member seolah memepet saya dengan pertanyaan
seputar itu. Makin dipepet begitu, daripada kentara sekali menderita, lebih
baik saya ikuti saja arusnya, makin melebaykan perbincangan itu hingga
selebay-lebaynya. Hingga akhirnya mereka yang bertujuan membuat saya bergidik,
justru berbalik jadi bergidik sendiri karena kelebayan saya. Nah, itulah yang
saya maksud dengan menikmati. Menikmati adalah, saat moncong senjata mengarah
padamu, bisa kamu arahkan berbalik ke orang yang tadi menodongmu. Haha!
Tapi, hal serupa belum mampu saya akomodir jika yang membully saya adalah
bapak atau ibu. Kalau ini sudah tentang mereka, saya mau tak mau harus mati
kutu. Hal paling masuk akal yang bisa saya lakukan hanyalah memutar otak agar
arah pembicaraan berhembus ke arah yang lain. Kemanapun! Yang penting bukan ke
sana!
Dan hawa-hawa menegangkan itu seringnya muncul saat ibu atau bapak baru
menerima kabar seputar anak teman-temannya yang baru dilamar, atau yang akan
menikah, atau yang sudah melahirkan cucu untuk orang tua mereka. Itulah masa yang
berat, kawan!
Meski pada akhirnya, harus pula ada yang diakui dengan jujur, minimal pada
diri sendiri. Meminjam perkataan seorang kakak, bahwa mungkin memang kita harus
berhenti untuk ‘sombong’ bahwa kita tidak membutuhkan ‘pundak-yang lain’, padahal butuh. Atau
mengakui bahwa selain usia kita yang terus bertambah, ada juga bapak dan ibu
yang terus menua. Bergelut dengan waktu yang menambah garis halus di wajahnya
dan uban-uban di kepalanya. Ada dua belah tangan yang mereka khawatirkan kelak
tidak lagi cukup kuat untuk menimang generasi ketiganya jika harus menunggu
lebih lama.
Suatu waktu, ibu saya berbicara panjang lebar dengan menyebutkan nama,
ciri, dan proyeksi masa depan si anu, si ini, dan si itu. Macam-macam dan
rupa-rupa. Namun, saya hanya tanggapi ringan, dengan diam, dengan senyuman, dan
dengan gelengan yang kesemuanya bermakna; tidak. Ada perkara substansial yang saya kira bukan hanya merujuk pada standar 'biasa' yang justru menjadi fokus yang harus dipertimbangkan. Dan, ibu telah dengan resmi menyifati saya dengan kata 'keras' untuk hal-hal semisal itu. Kemarin-kemarin beliau merasa cukup dengan mendoakan dan menanti perkembangan dari saya sendiri, tapi sampai kapan?
Hingga akhirnya ibu saya
terdiam sejenak, menatap tajam dan lurus ke arah saya, lalu terbitlah sebaris
kalimat dari lisannya;
“Memangnya kamu menunggu siapa?”, ujarnya sambil mengernyitkan kening.
Saya beku. Kata-kata yang biasanya berbaris rapi untuk saya atur dan susun
seolah terlihat menjadi begitu nakal, lari ke sana kemari dan tak sanggup saya
tangkap. Saya akhirnya hanya mampu menatap balik ibu, menghembuskan napas
berat, nyengir sedikit, lalu sesegera mungkin menghilang dari pandangannya.
Makassar, 18 September 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)