Saya membaca tulisan
seorang penulis yang akhir-akhir ini saya ikuti blognya, lalu kemudian
berkicau; “Bagaimana bisa apa yang ada di
pikiran saya dituliskan oleh orang lain? Keanehan yang menyenangkan J”
Ya, beberapa waktu yang
lalu memang saya sudah berencana untuk membuat sebuah tulisan tentang kabar
saya hari ini. Pentingkah? Mungkin tidak seorang pun menganggapnya penting.
Saya hanya merasa patut untuk menuliskannya. Saya hanya ingin menulis, itu saja.
Belakangan ini, tidak bisa
dipungkiri, hidup saya terasa berubah. Lepas dari masa SMA yang begitu indah
itu, memasuki masa kuliah yang penuh dengan rutinitas dan kesibukan yang seolah
tidak pernah mau berhenti, sekarang saya memasuki fase di mana rasanya
segalanya berjalan dengan sangat lambat.
Maret 2013 adalah saat di
mana terakhir kalinya saya menyandang status mahasiswa. Selepas dari wisuda dan
penyumpahan yang berakhir di senja itu, saya kembali ke rumah dengan membawa
rupa-rupa helaian kertas yang secara simbolik merupakan hasil dari perjuangan
saya selama bertahun-tahun di kampus merah. Saat itu, saya masuk ke kamar,
memandang ke luar jendela yang terbuka. Menderetkan map-map di atas tempat
tidur, dan duduk di depan jendela. Ada semacam perasaan yang tidak begitu saya
mengerti saat akhirnya saya menghembuskan napas berat. Saat itu saya sadar,
semuanya akan benar-benar berubah. Tidak ada lagi rutinitas harian seperti
kemarin-kemarin yang menghabiskan seluruh hari yang saya punya. Saya tidak akan
sesering dulu lagi bertemu dengan kawan-kawan kuliah, bertemu dengannya. Dalam pada itu, saya
merasakan sesuatu yang mungkin di sebut dengan; emptyness. Saya merasa kosong seketika. Setelah ini, akan kemana?
Menjelang masa wisuda
sebenarnya saya sudah membuat planing beberapa hal yang akan saya lakukan.
Bahkan saya dengan sangat ambisius ingin mengusahakan untuk bisa punya
pekerjaan sebelum benar-benar lulus. Sebagai praktisi? Atau sebagai akademisi?
Semuanya masuk dalam daftar yang saya buat. Deret list yang pada akhirnya saya harus coret satu per satu.
Mom, if you asked me to stay, i will stay.
Saya selalu menganggap
bahwa tidak seorang pun bisa mendikte langkah saya. Ya, tidak seorang pun.
Karena pada akhirnya apa yang saya lakukan adalah pilihan yang saya buat
sendiri, sesuatu yang saya akan pertanggungjawabkan sendiri. I just want to live my life without regret.
Saya akan menjelaskan kepada siapapun yang bertanya perihal jalan hidup saya
ini dengan kepala tegak dan tanpa keraguan apapun. Termasuk pilihan untuk tidak
bekerja di luar rumah dahulu, sejak lulus, hingga kini. Sebuah pilihan yang
bagi sebagian orang mungkin menjadi sesuatu yang ‘lucu’. Dua gelar di belakang
nama yang diraih dengan berdarah-darah, namun akhirnya hanya tinggal di rumah?
Mungkin memang kedengarannya seperti lelucon, meski saya tidak sekalipun
tertawa tentang itu.
Begitupula dengan pilihan
untuk melanjutkan sekolah lagi, yang terus terang tidak pernah mampir di
pikiran saya hingga kini. Teman-teman kuliah mungkin tahu betul bagaimana saya
selalu memilih untuk duduk di bangku terdepan, baik di kelas, maupun ruang
ujian. Mereka juga tahu bagaimana saya benci bolos atau titip absen. Indeks
prestasi kumulatif saya juga mungkin memang tidak yang paling tinggi, tapi saya
selalu bersemangat untuk belajar. Mereka menyifati saya dengan kata ‘bureng’ (buru
ranking). Lalu mengapa mantan mahasiswi yang satu ini tidak kembali ke bangku
sekolah dan menambah deret gelarnya? Beberapa orang menyayangkan hal ini,
bahkan menganggap saya orang aneh yang sedang melakukan sebuah kesia-siaan atau
minimal tidak bisa memanfaatkan kesempatan. Baiklah saya aneh. Tapi yang saya
tahu, tiap orang punya jalan hidup masing-masing. Seseorang yang tidak memiliki
template hidup yang sama denganmu
bukan berarti dapat kau anggap seperti alien yang datang dari planet lain. I’m human being. Just deal with it, deal
with your life, and stop judging.
Selanjutnya, arus
pendaftaran abdi negara kembali datang. Semua orang sibuk untuk mendapatkan
tempat demi pantas menggunakan baju dinas. Apakah itu saya anggap salah hanya
karena saya tidak pernah punya minat ke sana? Sama sekali tidak. Bercita-cita
untuk menjadi PNS adalah sesuatu yang sangat normal. Setiap orang punya
usahanya sendiri untuk mengamankan masa depan, salah satunya dengan cara itu.
Dan saya sangat menghargai itu, sebagaimana saya menghargai kedua orang tua
saya yang memberi saya makan dari gaji sebagai pegawai negara ini. Orang tua
saya menganggap pilihan saya untuk bahkan terlalu malas buat sekadar ‘coba-coba
tes’ seperti yang dilakukan beberapa orang, sebagai sebuah kejanggalan. Ibu
saya bingung dan berdoa semoga ada hikmah di balik semua ini. Ayah saya nampak
lebih bisa menerima keputusan anaknya dan mencoba memandang hal ini dari sudut
pandang saya. Saya bersyukur untuk itu.
“Sekarang kerja di mana?” pertanyaan itu selalu muncul tiap saya
bertemu seseorang yang tahu bahwa saya sudah selesai kuliah. Seolah bahwa time-line hidup memang selamanya
demikian; sekolah-lulus-jadi pegawai di satu tempat.
“Di rumah,” jawab saya singkat. Di awal-awal dulu, saya sering
dihinggapi inferiority-complex, yang secara sederhana saya terjemahkan sebagai
rasa minder. Setelah menjawab pertanyaan itu, beberapa orang cukup sopan untuk
kemudian tidak melanjutkan pertanyaan itu dan hanya tersenyum menatap saya
sambil mengangguk-angguk. Selebihnya, biasanya memberondong saya dengan pertanyaan,
bahkan pernyataan lanjutan, yang kadang terlihat (sebenarnya) tanpa bermaksud
untuk lebih tahu alasan dari pilihan yang saya jalani ini. Hmm.., hanya ingin
bertanya saja, untuk kemudian tetap menganggap saya aneh. Atau, untuk membuat
saya merasa rendah? Entahlah, tapi jikapun itu benar, maka saksikanlah, Anda
telah gagal.
“Kamu sekarang pengangguran?”
“Kok bisa? Apoteker kan dibutuhkan dimana-mana?”
“Memangnya tidak malu meminta uang terus sama orang tua?”
“Di rumah bikin apa? Tidak bikin apa-apa? Terus gelarnya untuk apa?”
Baiklah.
Pengangguran mungkin adalah
satu kata yang tidak pernah bermakna positif. Jika definisi kita tentang hal
ini adalah perihal semua orang yang tidak menjadi karyawan di mana pun. Tapi
ceritanya akan berbeda jika makna ‘nganggur’ itu kita bawa pada arti tidak
melakukan apapun. Nyatanya, saya melakukan sesuatu, saya bahkan melakukan
banyak hal. Maka, bolehkah saya lepas dari status pengangguran untuk alasan
itu?
Ya benar, apoteker di butuhkan
dimana-mana. Saya tidak pernah melamar di instansi manapun, tapi sudah lebih
dari sepuluh tawaran bekerja yang saya tolak sejak lulus dulu. Tapi, tidak
semua kesempatan harus langsung di ambil, khan? Setiap orang punya prioritas.
Saat terlalu lelah untuk menjawab pertanyaan ini, kadang saya hanya bisa
mengatakan, “Saat ini saya lebih
dibutuhkan di dalam rumah dibandingkan di luar rumah.”. Dan orang yang
cukup cerdas saat mendengar pertanyaan ini akan memilih untuk tidak lagi
melanjutkan pertanyaannya. Dan saya sangat menghargai itu. Beberapa yang
lainnya malah menjelaskan kepada saya bahwa saya bisa ‘menjual’ gelar yang saya
punya itu untuk dicatut oleh orang bermodal besar yang ingin buka apotek. Cukup
datang tiap tanggal baru, tinggal di rumah, dan terima gaji yang lumayan, tanpa
kerja. Sayang, saya masih cukup punya malu untuk melakukan itu. Sepaham saya,
bukan itu yang dosen-dosen saya ajarkan saya selama kuliah. Dan jikapun dari
itu saya dapat uang, saya tidak yakin rezeki itu akan berkah. Dan kita tahu,
nominal tidak bermakna apapun tanpa berkah di dalamnya. Maaf, saya masih cukup
waras untuk tidak menggadaikan gelar.
Meminta uang pada orang
tua? Anak mana yang tidak malu saat melakukannya, terlebih lagi saat ia bukan lagi
berstatus sebagai mahasiswa? Faktanya, alhamdulillah keadaan saat ini semakin
meneguhkan keyakinan saya bahwa rejeki itu lebih tahu di mana kita berada
dibandingkan pengetahuan kita tentang keberadaannya. Allah menutup satu pintu
dan membukakan pintu yang lain. Saya meninggalkan satu perkara karena Allah dan
Dia memberikan saya ganti yang lebih baik. Memaksakan diri untuk bekerja hanya
karena alasan materi? Oh, itu bukan pilihan saya. Jika Anda melakukannya,
silakan jalani hidup Anda, dan tidak usah memaksa saya untuk melakukan hal yang
sama.
Di rumah bikin apa? Nah,
biarkan saya menjawab ini sebagai inti dari tulisan ini. Di rumah, saya melakukan
banyak hal. Apalagi sejak asisten rumah tangga kami pulang kampung lalu menikah
dan melupakan janjinya untuk kembali ke rumah kami. Sebelum adzan subuh
berkumandang, saya mendampingi ibu hingga ia siap shalat subuh. Lepas subuh
saya memasak sarapan dan menyiapkan bekal makan siang untuk dibawa bapak.
Setelah saya sarapan saya membereskan rumah, mengelap debu, menyapu lantai, dan
mengepelnya. Menjelang siang saya menyiapkan makan siang untuk ibu dan saya
yang hanya berdua di rumah. Jika lowong, terkadang saya tidur siang atau
menyetrika hasil cucian yang biasanya terputar di mesin cuci sembari saya
membersihkan di pagi hari. Atau jika ada yang bisa menemani ibu saya, maka saya
akan keluar rumah untuk melakukan sesuatu yang insya Allah bermanfaat. Sorenya,
menyiapkan makan malam. Lepas makan malam, membereskan sisa makan malam untuk
dicuci piring-piringnya oleh adik saya. Jika ibu saya sudah tidur, saya
menulis. Banyak, khan?
Seorang teman saya yang
bersuamikan seorang layouter di Bogor berbaik hati untuk mengusulkan nama saya
sebagai copywriter di penerbitan
tempat suaminya bekerja. Saya saban bulan dikirimi buku-buku tebal, buku
rujukan Islam untuk dibaca dan di-review.
Hasil tulisan itu dibacakan pada rubrik resensi buku Islam di sebuah radio
swasta nasional sebagai bentuk promosi. Saya dibayar untuk itu. Saya dibayar
untuk mendapatkan buku gratis, membacanya dan belajar dari para ulama dunia,
dan untuk menulis kesan menyenangkan selama membaca buku tersebut. Saya dibayar
untuk melakukan semua hal yang saya cintai. Saya sudah cukup melakukan banyak
hal, khan? Belum cukup? Oh maaf, sekali lagi, ini hidup saya, bukan hidup Anda.
Sekarang, meski masih
sering bingung saat ditanya saya bekerja di mana, saya jadi lebih senang dengan
jawaban; penulis serabutan. Ini adalah bahasa saya untuk freelance-writer yang menurut saya terlalu keren untuk diri saya
pribadi. Kata serabutan itu harus mengikut di sana sebab rasanya terlalu jumawa
jika saya menyebut diri sebagai penulis. Saya hanyalah seseorang yang senang
menulis dan mencintai dunia kepenulisan seperti saya mencintai warna biru, sama
sekali belum pantas disebut penulis. Saya menulis semua hal; proyek buku saya
sendiri, di majalah tempat saya diberi amanah, di tabloid yang menyebut saya
kontributornya, membuat teks-teks untuk dibacakan di acara tertentu, atau
menerima permintaan menulis dengan tema apapun yang diinginkan oleh orang yang
memintanya. Saya menulis semua hal, baik dibayar, ataupun tidak. Lagipula,
dibayar karena menulis kadang membuat saya khawatir. Ah, hanya ini kebisaan
pas-pasan yang saya miliki sekarang, hanya ini yang bisa saya sumbangkan untuk
ummat, jika untuk ini pun saya mengharap balasan materi di dunia, lalu apa yang
akan tersisa untuk saya di akhirat? Saya seperti akan mengais-ngais amalan
seuprit di hadapan Allah. Betapa memalukannya... T_T
Akhirnya, alih-alih dikenal
sebagai apoteker yang senang menulis, mungkin sekarang orang-orang akan lebih
mengenal saya sebagai penulis serabutan yang tahu (sedikit) tentang obat.
Mungkin akan ada yang kecewa dengan ini, guru-guru atau mungkin dosen-dosen
saya mungkin akan lebih bangga jika saya menerapkan ilmu yang mereka ajarkan
dulu. Untuk itu, saya minta maaf. Tapi, saya tinggal di rumah, menjaga agar ibu
saya meminum obat-obatnya dengan tepat di saat yang tepat dengan dosis yang
tepat, memastikan tidak ada interaksi antara obat yang satu dengan obat yang
lain, memberi tahunya kapan sebaiknya minum obat dan kapan hanya perlu
istirahat, merebuskan beberapa tanaman obat untuk beliau minum secara berkala, i hope i am still a pharmacyst even if i
just stay at home. I hope...
Dan saya menuliskan ini bukan untuk membela diri atau mencari pembenaran atas apa yang saya lakukan. Jika di mata orang lain saya dianggap salah, maka tidak mengapa. Toh, dianggap salah tidak akan mengurangi jatah usia saya. Hanya saja saya berharap kita tidak menjadi manusia yang terlalu terburu-buru untuk menganggap diri kita tahu tentang hidup orang lain. Terlalu cepat merasa paling menderita di dunia ini lalu sibuk berdengki-ria dengan hidup seseorang yang hanya ia lihat di luarnya saja. Seseorang yang kita anggap sangat normal, bisa jadi melalui hal-hal yang berat dalam hidupnya, hanya saja, karena tidak semua harus diceritakan. Tidak semua harus dijelaskan dengan gamblang kepada kita.
Dan kini, setelah lebih
dari setahun berlalu dan ijazah dkk saya masih rapi di dalam lemari, lalu ada
yang bertanya pada saya; “Diena, bagaimana
kabarmu?”
Saya hanya mencoba kembali
membayangkan bocah kecil bernama Diena di masa itu sedang menulis biodata di
buku diary-nya. Lalu dengan mantap menuliskan sesuatu di kolom ‘cita-cita’
dengan satu kata; penulis. Kini, saya
merasa lebih dekat kepada cita-cita itu.
Maka, jika ada yang
bertanya kabar, saya akan menjawab dengan tenang, tanpa keraguan; “Saya baik-baik saja.”
Makassar, 20 September 2014
Menuliskan hal yang awalnya terasa berat ternyata
hanya membutuhkan satu hal; kejujuran pada diri
sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)