Lelaki itu nampak sedang menunggu seorang tamu. Beberapa tamu datang dan pergi menemuinya malam itu, namun yang ditunggu belum juga tampak.
Hingga Isya tuntas, akhirnya bel rumahnya kembali berbunyi. Lelaki yang ditunggunya akhirnya tiba juga. Ia tidak lain adalah pamannya sendiri. Lelaki tuan rumah itu lalu mempersilakan paman yang sudah sepuh itu masuk. Diantara kebulan secangkir teh di atas meja, keduanya memulai pertemuan itu dengan basa-basi sekadarnya. Hingga akhirnya sang paman memulai pada pokok permasalahan. Pada tujuan sebenarnya mengapa ia bertamu malam itu.
"Saya tidak tahu, Nak. Mengapa justru anak saya yang sudah punya pekerjaan tetap itu, hidupnya menjadi tidak tenang...", ujar lelaki berusia tujuh puluhan tahun itu. Ia sedang bercerita tentang seorang anak perempuannya. Anaknya itu janda dengan usia masih cukup produktif. Ia memiliki seorang saudara perempuan pula, namun saudaranya ini tidak bekerja, hanya bergantung pada penghasilan suami. Sedangkan ia adalah seorang pegawai tetap pada sebuah instansi. Namun nyatanya, saudaranya yang berprofesi sebagai full-time-mom itu justru lebih 'aman' secara finansial dibandingkan dirinya.
"Anak saya itu terlilit hutang. Sampai harus meminjam di bank sebesar seratus juta rupiah...", ujar sang paman. Ada getir pada nada bicaranya saat menyebut nominal angka yang tidak sedikit itu. Lelaki tuan rumah itu terbelalak. Mengapa bisa begitu kejadiannya?
"Saya juga heran. Sementara wujud uang itupun tidak jelas. Entah dia berbisnis apa, lalu gagal. Atau memang sejak awal sudah kena tipu... Sekarang banyak orang yang menawarkan iming-iming modal yang berganda berkali-kali lipat..." ujar sang paman.
Lelaki yang kini hidup dari uang pensiun yang terbatas dan tabungan seadanya itu kemudian menceritakan, bahwa sudah tiga bulan anaknya tidak mampu membayar cicilan di bank yang dia targetkan baru lunas setelah dua tahun. Belum lagi dengan bunga bank yang melilit. Hendak melakukan gali-lubang-tutup-lubang, perempuan itu lalu mencoba meminjam pada sebuah tempat peminjaman yang juga ribawi, demi menutupi pinjaman di bank. Nyatanya, ia makin terbelilit. Pinjaman di bank tidak tuntas, di tempat yang lain pun akhirnya menjadi beban baru. Sungguh ironi.
"Lalu apa yang dijadikan jaminan di pihak banknya, Paman?" tanya tuan rumah dengan nada prihatin.
"Rumah yang saya tinggali sekarang, Nak.", kata lelaki tua itu dengan suara bergetar. Terbayang olehnya rumah yang telah ia tinggali bertahun-tahun. Dari sana semua cerita tentang keluarganya ia rajut.
Dua orang lelaki itu terdiam. Sibuk dalam pikiran masing-masing. Angin malam berhembus lewat pintu yang mereka biarkan terbuka. Udaranya yang dingin tidak serta merta mendinginkan kepala keduanya.
"Saya boleh menawarkan saran, Paman?", tanya tuan rumah sambil menatap wajah pamannya. Lelaki tua itu mengangguk.
"Bagaimana kalau Paman menjual rumah yang paman tempati itu. Sebab jika rumah itu disita, maka Paman tidak akan mendapatkan apa-apa.." ujar lelaki paruh baya itu.
Pamannya tersenyum getir sambil mengangguk.
"Ya, sudah berusaha saya jual, tapi memang belum ada pembeli yang cocok, Nak." ujarnya.
"Tapi, kalau paman jual rumah itu, paman tinggal di mana? Bukankah mencari rumah lain pun tak kalah sulit?"
"Ya..", lelaki tua itu tersenyum lagi, kali ini lebih pahit. "Dimanapun tempat yang bisa kami tinggali..", ia mungkin membayangkan wajah istrinya yang kini telah sakit-sakitan itu. "Asal ada tempat berteduh, Nak..", lanjutnya.
Ada selapis bening yang serta merta muncul di mata si tuan rumah. Kesedihan itu merebak tiba-tiba. Lelaki tua dihadapannya ini, di masa lalu bukan tidak pernah pula berjaya. Namun sayang, di hari tuanya, nyatanya ia masih disibukkan dengan perkara-perkara yang sungguh berat. Dimasa dimana seharusnya ia sudah bisa hidup tenang, menikmati gaji pensiun dan pendapatan anak-anaknya. Bukankah pernikahan tidak akan memutuskan hubungan antara ayah dan anak? Bukankah justru sebuah pasangan harus saling bahu membahu, bahkan saling mengingatkan untuk terus membantu kenyamanan hidup orang tua mereka? Faktanya, bukan itu yang terjadi pada kehidupan lelaki tua itu. Dan ternyata, cerita itu belum berakhir sampai di sana..
"Sekarang, anak saya yang terlilit utang itu ternyata pun sedang sakit. Ada pembengkakan di kelenjar getah bening di lehernya... Sementara biaya berobat dan tindakan medis untuk itu pun tidak sedikit..", ujarnya.
Lelaki tuan rumah itu terbelalak. Ia menelan ludah. Apakah ini yang dimaksud dengan sudah jatuh tertimpa tangga pula?
Malam semakin merangkak. Sinar bintang masih tertutup lampu-lampu kota.
Sebelum pamannya pamit, sang tuan rumah sempat menyelipkan bantuan sekadarnya. Sebuah amplop yang segera berpindah tangan itu diterima lelaki tua dengan mata berkaca. Ucap terima kasihnya begitu lirih dan nampak hanya sebagai gerakan bibir. Berat. Begitu berat yang tengah ia hadapi.
Lelaki tuan rumah itu memandang punggung pamannya yang bergerak menjauh. Menghampiri sepeda motor tua yang menemaninya dalam kunjungan itu. Dirapatkannya jaket lusuh yang ia gunakan untuk menahan angin malam. Ia mengangguk sedikit sebelum benar-benar pergi berlalu.
Lelaki tuan rumah itu masih berdiri di depan pagarnya. Ia mengingati kembali pesan agama tentang bahaya riba. Riba yang membuat pelakunya berdiri layaknya berdirinya orang yang kemasukan setan. Ia mengingati kembali bahwa jalan kesuksesan memang tidaklah mudah, tidak dapat disulap dengan seketika, apalagi dengan modal-modal besar yang tidak jelas juntrungannya.
Ia menatap rumahnya yang kini sudah semakin layak. Mengenang kembali masa-masa dimana ia memulai segalanya dari bawah. Berkuliah sambil menjadi kuli. Menikah lalu tinggal di rumah tripleks. Menabung untuk membangun rumah batu yang selesai begitu lambat. Hingga akhirnya mencapai apa yang ia capai sekarang.
"Orang-orang terkadang memandang kesuksesan pada titik suksesnya saja. Mereka lupa, bahwa ada begitu banyak anak tangga yang harus didaki bersusah payah untuk mencapainya. Mereka tidak tahu, bahwa bapak dulu pernah jadi kuli bangunan..." ujarnya pada putrinya di suatu kesempatan. "Nak, kita mungkin memang tidak punya bakat bisnis, tapi kita masih punya keahlian lain tempat kita bisa bekerja keras... Kelak, warisan kami bukanlah sawah berpetak-petak, atau kebun yang banyak. Tapi pada saat itu, kamu harusnya sudah tahu, apa warisan paling berharga yang sudah kamu miliki sebenarnya..", lanjutnya.
Makassar, 19 September 2013
Saat malam ini, Mama untuk kesekian kali kembali bertanya perihal kabar seorang tante yang sebenarnya sudah lama tiada. Sampai kapan Mama akan terus menunggunya datang?
Duh .. terenyuh baca ini Diena. Memang banyak kasus yang kayak gini ... banyaaaak.
BalasHapusPelajaran berharga ini DIena, yang datang kepada Diena. Dalam posisi seperti Diena, kita belajar bagaimana yang sebaiknya kita baktikan kepada orangtua kita.
Dalam posisi saya sekarang, saya harus sudah mulai berpikir keras, bagaimana agar kelak hal ini tidak terjadi kepada saya. Bagaimana sebaiknya saya mendidik anak2 saya ...
Miris ya ...
Iya, miris sekali kak..
Hapus