Sip, lanjut.
Akhirnya, pada suatu pagi menjelang siang, saya menghadap pada pembimbing pertama saya, untuk pertama kalinya pula. Dengan berbekal SK Pembimbing yang sudah dicopy dan distempel di map, dan kesungguhan serta semangat di hati, saya menuju lab sementara, tempat pembimbing saya itu memang biasanya ada jika masih pagi begini.
Dan setiap pengalaman pertama memang selalu bikin deg-degan. Untungnya dosen pembimbing saya itu adalah orang yang baik dan ramah, jauh dari kesan killer. Grogi saya sedikit teratasi oleh fakta tersebut. Maka mulailah saya menghadap beliau. Ruangannya di bagian dalam lab itu. Saya sempat melewati beberapa mahasiswa lain yang juga sedang menjalankan penelitiannya. Saat itu, jadwal praktikum mahasiswa memang belum dimulai. Lab masih relatif sepi.
Setelah bertatap wajah dengan pembimbing dan menjelaskan perihal penelitian yang akan saya lakukan, saya semakin yakin bahwa saya bersama orang yang tepat. Ibu dosen itu memang sudah beberapa kali menangani penelitian dengan topik itu, bahkan beliau juga concern di tema tersebut. Bab pertama proposal saya pun disimak. Beberapa bagian dikoreksi, dihilangkan, dan ada pula yang dipertahankan. Ibu dosen juga memberikan saya referensi beberapa jurnal yang belum saya miliki. Walhamdulillah, segalanya berjalan lancar. Hingga kemudian seorang mahasiswa lain datang, duduk di samping saya, juga menghadap pada bu dosen itu. Di sanalah 'petaka' itu dimulai.
Mahasiswa yang merupakan senior saya itu masih lengkap dengan jas lab-nya. Dia pun sedang menggarap penelitian di lab itu. Pada bu dosen, dia nampak mengkonfirmasi metode kerjanya. Saya cuma ikut menyimak dan mengangguk-angguk sok tau. Rupanya, sambil konsultasi, dia pun menghadap untuk meminjam corpis (corong pisah; sebuah alat dari bahan kaca berbentuk labu dengan corong, digunakan untuk memisahkan dua jenis larutan) dari dosen itu. Corpis itu masih nampak baru, masih dalam balutan kertas koran pembungkus, malah. Pada saat corpis baru itu berpindah tangan ke si mahasiswa, entah bagaimana ceritanya, semuanya terjadi begitu cepat. Si corpis tiba-tiba saja sudah melayang di udara, dengan sukses menghantam lantai, lalu pecah berkeping-keping.
Saya terbelalak
Mahasiswa itu terbelalak.
Ibu dosen terbelalak.
Sepersekian detik, yang ada hanya hening. Saya dengan pelan-pelan mengalihkan pandangan dari corpis naas itu ke wajah dosen saya. Ada semacam kekecewaan dan raut tidak enak di sana. Oke, mahasiswa itu nampaknya sukses mengacaukan mood ibu dosen. Gaswat. Ya, ini gaswat saudara-saudara.
"Kamu itu bagaimana...", ujar bu dosen. Si mahasiswa nampak pucat. Speechless-lah dia.
"Kalau begini, kamu mau penelitian pakai apa?", ujar bu dosen. Waw, rupanya yang beliau khawatirkan bukan perihal brand-new-corpis-yang-pecah itu, tapi tentang penelitian anak bimbingannya.
"Maaf, bu... Saya ganti bu... Nanti saya ganti...", ujar si mahasiwa, takut-takut.
Kalau dari penerawangan saya sih, corpis itu kayaknya yang bagus punya. Pasti harganya mahal. Dalam hati, saya geleng-geleng. Kasian kakak ini... Sekiranya dia bukan laki-laki, pasti sudah saya tepuk-tepuk bahunya.
"Kamu kos di sini? Orang tua kamu di mana?", tanya bu dosen. Si mahasiswa menyebutkan satu nama daerah yang cukup jauh. Di luar Sulawesi.
"Kamu masih berharap kiriman orangtua kan? Kasian orang tua kamu. Sudah, kamu pakai corpis yang lama saja. Tidak usah pikirkan dulu masalah ganti-ganti. Yang penting penelitian kamu jalan dulu...", ujar ibu dosen
Mahasiswa itu lega
Saya pun ikut lega. Hehehe...
MasyaAllah, betapa baiknya Allah menakdirkan saya bekerja sama dengan orang sebaik beliau. Mendapati kejadian tersebut, semangat saya terpompa. Benar, inilah yang terbaik. Sekiranya dulu judul pertama saya yang ACC, belum tentu saya bertemu dengan pembimbing sebaik ibu dosen ini :')
Akhirnya, saya pun diminta untuk segera memulai orientasi. Menurut definisi saya, orientasi adalah kegiatan pra-penelitian dimana seorang mahasiswa akan mencoba-coba penelitiannya itu, biasanya dalam skala kecil. Hasil dari orientasi ini, jika sudah bagus, maka bisa langsung dilanjut ke penelitian. Jika tidak, maka akan ada pertimbangan tertentu. Pengalaman orientasi ini juga cukup bagus sebagai bahan mempertahankan proposal penelitian di depan seminar proposal nanti. Idealnya, penelitian baru akan dimulai setelah majelis dalam seminar proposal menerima proposal kita, atau telah memberikan masukan dan saran perihal jalannya penelitian kedepannya.
Saya pun memulai orientasi. Tadinya, saya begitu kemaruk ingin meneliti tentang bakteri dan fungi endofit dari sampel terpilih; daun sambiloto (Andrographis paniculata). Tapi, setelah orientasi saya lakukan, pembimbing saya mengarahkan untuk fokus pada fungi saja, karena hasil yang ditunjukkan oleh bakteri tidak begitu bagus.
Oiya, tentang tiga orang pembimbing saya, dua diantaranya adalah sepasang suami istri. Pembimbing pertama saya itu ibu dosen yang saya ceritakan di atas. Pembimbing kedua saya adalah suami beliau, seorang profesor yang disegani di fakultas kami. Dan pembimbing ketiga saya adalah dosen wanita yang saya hormati dan diam-diam saya adalah fans beliau. Hehehe...
Nah, hal inilah yang memudahkan saya untuk konsultasi. Karena dalam satu kali jalan, saya bisa langsung menemui dua pembimbing sekaligus, karena mereka berdua memang tidak terpisahkan. Berada di bidang, lab, dan ruangan yang sama. Ibu dosen begitu banyak membantu saya saat akan menghadapi pak profesor. Beliau berdua itu, memang adalah pasangan serasi. Keren deh, pokoknya. Entah mengapa, tiap saya memandang ibu dosen pembimbing pertama, saya seringkali tiba-tiba teringat pada sosok ibu Ainun Habibie. Auranya mirip. Hehehe..
Lalu dosen perempuan yang merupakan pembimbing ketiga saya pun sangat luar biasa. Kenapa saya nge-fans? Selain karena baliau adalah dosen yang cerdas dan mengajarnya bagus, beliau juga orang yang sangat humble. Beliau tidak segan menyapa mahasiswa duluan saat berpapasan di luar wilayah fakultas. Saya pernah mengalami itu saat turun dari angkot dan tidak sadar bahwa beliau ada di belakang saya. Sama-sama ingin menyebrang. Melihat sosok beliau selalu mendatangkan keteduhan. Ibu dosen ini selalu mengenakan gamis dan jilbab rapi yang menjulur menutupi dada, senyumannya juga sangat menenangkan. Bahkan, saat saya dan seorang kawan datang ke rumah beliau untuk berkonsultasi, meski kami sama-sama wanita, ibu dosen tetap berpakaian rapi dengan gamis dan jilbabnya saat akan menemui kami. Seorang senior bercerita tentang beliau, tidak seperti beberapa orang yang kadang tidak menanggapi sms atau tidak boleh dihubungi lewat telepon, ibu ini bahkan bersedia menelepon mahasiswa.
"Jika ingin menghubungi ibu, dan sedang tidak ada pulsa, sms atau misscalled saja, maka beliau akan menelepon balik. Katanya, karena beliau tau kita-kita ini masih dibiayai oleh orang tua, seharusnya selektif dalam memilih pos-pos pengeluaran, termasuk pulsa..." demikian senior itu menjelaskan. Duh, saya langsung terharu... Mudah-mudahan makin banyak dosen seperti beliau. :')
Setelah digarap beberapa bulan, dan mondar mandir kampus-"lab sementara" berkali-kali, alhamdulillah saya bisa maju untuk mengajukan proposal dalam majelis seminar. Pengalaman pertama seminar itu betul betul bikin dag-dig-dug-dhuer deh. Tegang abis. Saya sih suka pura-pura tenang, padahal dalam hati cenat-cenut. Partner seminar saya dari kalangan kawan seangkatan waktu itu adalah Noela Natalia (bagaimana yah kabar dia sekarang? :') Entah mengapa, sejak masa maba, saya memang seringkali bersinggungan dengan anak ini. Orangnya ceria dan lincah, juga agak panikan. Ela juga termasuk mahasiswi farmasi yang cukup tekun, buktinya, di kemudian hari dia lebih dahulu ujian sidang daripada saya. Untungnya saya bisa mengejar sehingga kami wisuda sama-sama. Etapi, kondisi Ela yang suka panik membuat saya jadi tidak panik. Lho? Iya, entah mengapa dari dulu, saya selalu begitu. Jika sekitar saya panik, maka saya akan sebaliknya, jadi tenang. Maka, jika orang-orang tenang, saya yang suka panik sendiri. Hehehe, iya, saya memang aneh :) #bangga.
Seminar proposal pun terlewati. Sedikit flashback pada seminar proposal, alhamdulillah 'ala kulli hal, di awal-awal semuanya berjalan lancar. Beberapa pertanyaan bisa saya jawab sambil mempertahankan mimik sok tenang. Namun, diakhir-akhir waktu, pertanyaan berikutnya muncul dan sempat membuat saya kelabakan. Pada saat seperti itu, jawaban andalan adalah: "Iya Pak, nanti dikonsultasikan lagi dengan pembimbing", atau "Baik bu, nanti akan saya pelajari lagi.". Tjakep. -__-"
(bersambung)
Makassar, 9 September 2013
Masih mengenang-ngenang masa lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)