Kepadamu, seseorang yang bening hatinya
Kutuliskan surat ini sebagai
tanda ingat. Betapa kenangan dapat bekerja sebaik itu. Ia mereduksi
setiap jarak, sehingga mendekatkan. Pun memutar balik waktu, sehingga kita
seolah bisa duduk lagi pada masa-masa yang dikenang.
Selayaknya pertemuan yang
bersahabat karib dengan perpisahan. Mereka telah membuat perjanjian untuk
selalu datang bergiliran. Sungguh setia sekali mereka itu. Sehingga kita harus
selalu menginsyafi, semanis apapun sebuah jumpa, akan datang titik dimana kita
harus saling melepas. Memandang punggung yang menjauh, dan mengucapkan selamat
tinggal. Meski pahit. Meski berat.
Bagaimana kabarmu di sana? Apa
kau baik-baik saja?
Bahkan sebab aku begitu yakin
bahwa surat ini tidak akan sampai kepadamu, hingga aku tak perlu khawatir
membeberkannya di sini; betapa aku tidak akan letih mendoakan kebaikanmu.
Mengingati kembali hal-hal hebat tentang kau yang selalu membuatku lebih
bersemangat menatap matahari pagi. Bukankah kehadiran seorang manusia untuk
manusia lainnya adalah untuk itu? Ya, untuk membuat satu sama lain merasa lebih
berarti.
Kita tentu ingin menjadi
sebaik-baik orang seperti dalam sabda sang nabi. Orang yang bermanfaat. Di luar
sana, begitu banyak hal-hal besar yang dibicarakan. Bermanfaat untuk dunia,
tentu akan sangat luar biasa. Tapi, planet ini terlalu besar. Maka mari kita
merentangkan saja kedua belah tangan kita, juga hati kita, tentu. Untuk memeluk
hati-hati yang lain, agar kita lebih dekat pada posisi sebaik-baik manusia itu.
Mari kita memeluk hati dengan kebenaran. Kebenaran itu serupa matahari, yang
sebenarnya tetap bersinar, meski kita berada di bagian bumi yang kelam oleh
malam.
Baiklah.
Ingin kuceritakan padamu tentang
petualanganku beberapa waktu yang lalu. Lewat lembaran-lembaran buku yang
ditulis oleh seorang lelaki yang luar biasa, aku seolah sedang melewati lorong
waktu ke masa beratus tahun yang lalu. Masa dimana sekelompok manusia padang
pasir yang hidup nomaden, demikian luar biasanya diangkat kedudukannya sebagai
penguasa di muka bumi. Masa dimana setiap kebaikan ditinggikan, dan kelaliman
ditumpas habis. Masa dimana bumi seolah memiliki dua matahari dan dua rembulan.
Yang di langit, dan yang terus bersinar di sebuah tempat bernama Yatsrib. Di
sana, lelaki berwajah purnama itu memulai peradaban. Kita mengenangnya kini,
dengan hati haru dan penuh rindu, Muhammad Shallallahu alaihi wasallam.
Salah satu bagian dari perjalanan
lembaran-lembaran itu mengguncang emosiku. Terutama pada bagian saat sang
kekasih hati itu berpulang, sebab telah rampung segenap tugasnya. Para sahabat
dikecam duka yang seolah berdarah-darah. Hari itu, adalah hari paling muram
sepanjang bumi diciptakan. Para sahabat menjadi sedemikian bingung, seolah
kehilangan kompas yang selama ini begitu setia tunjukkan arah kebenaran.
Mereka, para sahabat itu begitu beruntung, dapat langsung bertanya, dapat
segera mengadu saat ditimpa sesuatu. Tak tanggung-tanggung, mengadu pada
manusia paling mulia itu.
Telah kukatakan tadi, perjumpaan
adalah karib dari perpisahan. Bahkan, dalam kisah hidup seorang nabi. Maka,
saat beliau telah pergi, tampuk pemerintahan harus tetap berjalan. Seorang
pemimpin baru harus dipilih.
Maka lihatlah bagaimana tidak ada
diantara mereka, para sahabat yang mulia, yang berlomba-lomba untuk
memanfaatkan kesempatan itu. Alih-alih mempromosikan diri, mereka bahkan saling
merekomendasikan satu sama lain. Bukankah itu jauh berbeda dengan kondisi kita
saat ini? Saat dimana kota ini, sekarang sudah nampak seperti album foto.
Baliho promosi pemimpin dimana-mana. Aku bergidik saat membayangkan di hari
akhir nanti, betapa banyak jiwa yang harus mereka pertanggungjawabkan di
hadapan Allah?
Hingga akhirnya para sahabat
bersepakat untuk membaiat Abu Bakar Ash Shiddiq. Sosok itu, kau tahu, aku
selalu membangun cinta setiap mendapati sosoknya dalam lembaran kisah. Lelaki
teduh dengan tutur kata yang lembut. Lelaki dengan tubuh kurus, namun berhati lurus. Ia yang dicintai oleh sang
nabi, dan keimanan kualitas langit. Kepemimpinan ada di tangannya, saat
gelombang fitnah membabi buta. Saat arus murtad muncul dimana-mana, dan
sebagian dari mereka menerima shalat namun enggan tegakkan zakat.
Kala itu, bahkan Umar bin Khattab
yang terkenal tegas, meminta Abu Bakar untuk berlembut perangai pada mereka
yang menolak berzakat. Namun, lihatlah bagaimana Abu Bakar tunjukkan ketegasan
dalam kelembutannya. Diperanginya orang-orang itu; mereka yang berzakat hanya saat Rasulullah
hidup, dan meninggalkannya saat Rasul tiada. Diteruskannya utusan Usamah bin
Zaid nan belia untuk misi yang dahulu telah dicetuskan oleh Rasulullah.
Dihadapinya gelombang perpecahan dengan kepalanya yang dingin dan cendikia.
Sosoknya, begitu luar biasa. Kelak, aku bermimpi ingin menamai anakku dengan namanya.
Namun, ya. Perjumpaan telah
berkarib dengan perpisahan. Khalifah pertama pun menemui ajalnya. Saat hegemoni
dunia kala itu, Persia sudah nyaris tumbang. Saat tentara Romawi sudah
berhadap-hadapan dengan muslimin yang menyerang mereka. Tidak sempat ia
saksikan tuntas. Amirul Mukminin, menyelesaikan takdirnya.
Apa kira-kira di pikiran Umar bin
Khattab? Saat ia diangkat sebagai pemimpin berikutnya, tanpa Rasulullah di
sisi, tanpa Abu Bakar yang menjadi kawan diskusi? Sungguh begitu berat...
Begitu berat menanggung rindu pada para terkasih yang telah mendahului. Bahkan
karena itu, Bilal sang muadzin, tak pernah lagi mampu tuntaskan lantunan azan,
sebab ia langsung sesunggukan begitu sampai pada panggilan sang nabi.
Lalu bagaimana kita?
Bagaimana lagi kita, orang-orang
yang hidup demikian jauh jarak dan masa dari mereka?
Suatu hari, saat mengalami
perpisahan dengan orang-orang yang baik. Kadang, ada saat dimana sebuah
perjumpaan kembali, begitu terasa mustahil. Namun, aku berpikir, bahwa ada satu
cara, agar kembali dapat bertemu dengan orang-orang yang baik itu. Bahkan, pula
bertemu dengn para manusia mulia yang kita ceritakan di atas. Cara itu adalah dengan istiqamah.
Itulah berjalan dengan takwa, hingga menuju surga.
Di surga sana, tempat segala
gundah dan sedih tertuntaskan. Bahkan segala jerih dan letih terbayarkan dengan
lunas, hingga kita merasa hanya tinggal di dunia barang sekejap saja. Di surga
itu, terdapat segala yang diidamkan hati, dan yang diingini diri. Di sana,
bahkan kita dapat menatap wajahNya; wajah Allah yang kita ibadahi sepanjang
usia. Berjumpa dengannya; Rasulullah Shallalahu alaihi wa sallam yang kita
teladani, bertemu Abu Bakar Ash Shiddiq yang begitu dicintai, dan orang-orang
terbaik yang peroleh balasan, atas setiap kebaikan.
Tapi Surga itu, adakah telah
benar-benar kita yakini keberadaannya? Apakah kita telah sedemikian percaya
pada eksistensinya? Ataukah hanya kita anggap sebagai dongeng orang-orang
dahulu belaka? Entahlah. Semuanya nyatanya hanya bisa dijawab oleh setiap amal-amal
kita.
Maka denganmu pun begitu, jika
nanti kita bertemu lagi, bahkan meski kini pertemuan itu lebih tidak masuk akal
daripada anak keledai yang melewati lubang jarum, nampaknya masih ada
kemungkinan yang bisa kita percaya. Jika kita terus berjalan, meniti jalur
cahaya. Sedikit demi sedikit. Bagai menghindari taman yang penuh dengan duri.
Penuh dengan hati-hati. Mungkin, Dia akan berbaik hati berikan rahmatNya, agar
kelak kita bisa berjumpa dalam keadaan yang lebih indah. Di sana. Di surga. In Syaa Allah.
Makassar, 7 September 2013
jadi kangen... sudah kangen, malah...
BalasHapuskangen juga, ukhti :D
Hapus