Malam itu hening saja. Bulan sudah lama terbit. Menara baru saja menyelesaikan panggilannya. Anak-anak sudah masuk ke rumahnya masing-masing.
Di ruangan itu, sedang terduduk seorang gadis dengan kaus bergambar vespa biru. Ia sedang menuliskan sesuatu sambil menunggu tiga orang yang ia undang untuk datang. Tak lama, masuklah di ruangan itu tiga gadis lainnya. Seorang berkacamata, seorang dengan alis tebal, dan yang lainnya berambut kepang. Ketiganya duduk bersisian sambil saling memandang.
Si gadis-vespa-biru tersenyum pada ketiganya. Malam itu, mereka akan melakukan sebuah diskusi. Semacam bincang-bincang ringan saja, sebenarnya. Keempatnya adalah gadis yang tidak bisa berhenti untuk menarikan jemarinya pada tuts keyboard; keempatnya begitu senang menulis. Mereka hendak saling menguatkan. Setidaknya, berbagi alasan.
"Jadi, untuk apa sebenarnya kita menulis?" gadis-vespa-biru, sebagai tuan rumah, memulai perbincangan.
"Aku menulis karena," gadis beralis tebal mulai menjawab, "Aku ingin pergi ke banyak tempat tanpa harus kesana. Aku ingin bertemu dengan banyak orang tanpa harus menemuinya, lalu membincangi mereka" ucapnya, mantap. Gadis berkacamata memandangnya dengan lekat.
"Aku kadang membayangkan, bagaimana jika dunia ini kembali ke awal mula saat ia diciptakan. Saat tidak perlu ada tembok pemisah. Saat tidak usah ada wilayah-wilayah teritorial negara. Kepedulian tidak harus dibatasi oleh sekat antar bangsa. Semua orang bebas kemanapun seperti yang ia mau. Tidak usah lagi ada bangunan tinggi. Jalan-jalan beraspal yang macet. Apalagi...", pada kata terakhir, gadis beralis tebal nyaris berbisik.
"Apa?" si kacamata mulai tertarik
"Apalagi jalanan dengan banyak baliho yang tersenyum pada kita. Taukah kalian, senyum mereka banyak yang palsu! Siapa yang menjamin mereka akan tetap tersenyum saat kita menemui mereka secara nyata!", gadis beralis tebal itu menyeringai. Keempatnya tertawa kecil.
"Kalian tahu, aku sempat bertanya-tanya, mengapa Tuhan tidak menciptakan sayap untuk manusia?", alisnya terangkat. Semua mata tertuju padanya.
"Padahal bukankah kita sangat membutuhkannya saat ini? Agar tidak perlu lagi ada kemacetan atau jalan-jalan yang rusak. Namun kemudian aku menemukan sendiri jawabannya. Tuhan tidak menciptakan untuk kita sayap, sebab kita tidak butuh terbang. Sebab kita bisa menulis. Dan kedua hal itu sama saja." tutup si alis tebal sambil tersenyum puas.
"Bagimu, menulis dapat membawamu terbang kemanapun kau mau?", gadis-vespa-biru bertanya. Si alis tebal mengangguk mantap.
"Baiklah, giliranku." gadis berkacamata dengan gagang oranye itu memulai kata-katanya. "Aku menulis sebab aku jatuh cinta.". Sekarang ruangan itu berpusat pada dia. Gadis itu seolah sedang menaburkan benih-benih merah muda pada seluruh atmosfer. "Aku jatuh cinta, dan menemukan bahwa menulis adalah cara paling tepat untuk mengungkapkannya."
"Bagaimana jika orang yang kau jatuhi cinta itu tidak membacanya?", si alis tebal bertanya sambil terkikik pada pilihan katanya sendiri.
"Tak mengapa, kawan. Sungguh tak mengapa. Betapa banyak orang di dunia ini yang memendam sesuatu dalam dirinya. Semacam maksud yang tidak pernah ia utarakan dan menjadi rahasia yang ia bawa bersama jasadnya yang terkubur. Yang membedakan diantara mereka adalah, ada yang benar-benar memendamkan hal itu di kepalanya, dan ada yang menuliskannya. Aku memilih yang kedua. Menikmati rasa cinta dengan menuliskannya itu menyenangkan. Siapa di dunia ini yang bisa memilih kepada siapa orang jatuh cinta?" gadis berkacamata itu mengedarkan pandangannya ke seluruh mata yang menatapnya.
"Kurasa aku bisa." gadis-vespa-biru menjawab dengan nada bercanda.
Si kacamata menggeleng. "Seorang kawan baru saja mengabariku tentang rasa cintanya yang tiba-tiba hilang tanpa bekas! Kalian tahu, sama sekali tidak ada orang yang bisa mengontrol masalah perasaan. Banyak dari manusia yang bingung dengan perasaannya sendiri. Jatuh cinta lalu menuliskannya adalah cara untuk menerobos kebingungan itu. Mungkin, sebab itulah kadang hewan dan binatang bisa jauh lebih beruntung dari manusia, sebab mereka diciptakan tanpa perasaan. Bahkan dalam kitab suci, ada manusia yang lebih memilih menjadi tanah saja! Kita ini makhluk yang sering kerepotan dengan kemanusiaan kita!", lanjut si kacamata.
"Apakah cintamu terjawab dengan menusliskannya?" si alis tebal bertanya.
"Ya..", gadis itu memperbaiki letak kacamatanya. "Setidaknya aku bisa menjawabnya sendiri. Dan itu sudah lebih dari cukup, kurasa. Oh ya, dan itu membuatku semakin sadar, bahwa aku adalah manusia". Keempatnya tersenyum penuh makna. "Bagaimana denganmu? Mengapa kau tetap memilih bersahabat dengan kata-kata?", si kacamata mendelik pada gadis berambut kepang.
"Hmm..", gadis itu memperbaiki duduknya. Seolah bersiap untuk sebuah pembicaraan yang penting. "Bagiku, menulis bukan hanya masalah persahabatan dengan kata-kata.", ia tersenyum tenang. "Kalian tahu batu nisan? Ah, batu itu bahkan tidak cukup untuk ditulisi satu judul puisi..", ujarnya. Keempatnya tertawa.
"Aku menulis agar bisa hidup lebih lama dari umurku sendiri. Aku ingin bisa menuliskan kebaikan yang diambil manfaatnya oleh banyak orang, bahkan yang hidup setelah aku mati." ujarnya.
"Kau mulia sekali..." gadis-vespa-biru memandangnya lekat.
"Ah, tidak juga. Tapi memang banyak manusia mulia yang melakukan ini. Kita mungkin masih punya jeda antara kematian dengan hari kiamat. Diantara spasi itu, kita masih berkemungkinan untuk menambah catatan kebaikan dengan menuliskan hal yang baik-baik pula. Pahalanya tidak akan terputus, kawan!"
"Kita akan dikenang dengan sesuatu yang luhur. Menginspirasi. Itu menyenangkan!", sahutnya.
"Apa enaknya dikenang?", gadis berkacamata mengerutkan alisnya.
"Dikenang membuat kita bisa tetap hidup, setidaknya dalam hati orang-orang yang mengenang kita. Bukankah satu hal yang paling mengerikan tentang otak manusia adalah kemampuannya untuk melupakan?" gadis berkepang itu menyelesaikan pembicaraannya.
"Nah, kita semua sudah berpendapat. Karena itu khan, kau mengundang kami ke sini?", si alis tebal menengok pada gadis-vespa-biru.
"Kau tidak berminat untuk turut berbicara, selain mendengarkan?" gadis berkacamata ikut bertanya
"Sebaiknya kau mengatakan sesuatu.." ujar si rambut kepang.
"Baiklah." gadis-vespa-biru mengembuskan napas. "Aku menulis karena aku ingin. Aku ingin tanpa harus menjelaskan alasannya. Aku ingin mencintai menulis tanpa syarat. Bukankah itu yang orang katakan tentang cinta sejati?"
"Tidak, bahkan cinta sejatipun selalu butuh alasan, kawan." si kacamata tersenyum meremehkan. Ia merasa paling berhak untuk membicarakan cinta.
"Hahaha...", sejurus kemudian gadis-vespa-biru tertawa. "Aku ingin menulis untuk membuktikan, bahwa aku ada. Itu saja."
"Dan itu sudah cukup. Kau tidak perlu apa-apa lagi.", pemilik rambut kepang itu tersenyum hangat.
"Aku bahagia bahwa menulis telah membuat kita bahagia!", sahut si vespa-biru. Seluruh ruangan riuh. Mereka tertawa seolah sedang merayakan sesuatu. Seolah sedang ada matahari lain yang bersinar di ruangan bercat biru itu. Gegap gempita.
Lalu si vespa-biru melihat sekelilingnya. Air mata yang keluar sebab ia tertawa lepas tadi itu masih di sana. Namun nyatanya, suanasa masih saja hening. Bulan sudah lama terbit. Menara baru saja menyelesaikan panggilannya. Anak-anak sudah masuk ke rumahnya masing-masing.
Gadis itu baru tersadar, sebenarnya ia hanya berbincang dengan bagian-bagian lain dari jiwanya.
Tiba-tiba ia ingin menuliskan sesuatu sebelum melupakannya. Satu persatu ujung jarinya menekan huruf-huruf di atas keyboard laptop pemberian ayahnya itu;
Aku menulis sebab menulis meyakinkanku bahwa aku tidak pernah sendiri.
Ia tersenyum. Ya, itu sudah cukup. Ia tidak perlu apa-apa lagi.
Makassar, 5 September 2013
saya menulis karena tidak semua apa yg saya pikirkan dan rasakan bisa diucapkan dengan kata2.
BalasHapusKadang-kadang menulis juga supaya bisa ngasih kode keras. hahahaha
Saya pun sering melakukan yang terakhir. Biarpun kodenya tidak sampai, yang jelas sudah merasa plong karena sudah menyampaikan... Hiks.. #curcol :p
Hapus