pada suatu hari nanti
impianku pun tak dikenal lagi
namun di sela-sela huruf sajak ini
kau takkan letih-letihnya kucari
(Sapardi Djoko Damono, Hujan Bulan Juni pg. 111)
Saya sedang berdiri di
depan pukis-pan, menatap dua batch terakhir adonan pukis yang baru
mencapai hasil maksimal setelah beberapa kali revisi #halah. Tiba-tiba adik sepupu saya muncul dengan sebuah bungkusan
berwarna ungu muda di tangannya, baru saja ia terima dari seorang kurir,
katanya. Dan itu adalah paket yang saya tunggu-tunggu dalam beberapa waktu ini.
Paket dari seseorang yang spesial di pulau seberang.
Senyuman bahkan sudah
mampir duluan di bibir saya sebelum melihat isi paket itu. Sebenarnya, isinya
sudah dapat saya tebak. Namun entah mengapa, sensasi tersendiri selalu saja
muncul setiap menerima kiriman macam begitu. Apalagi kali ini saya tahu betul,
bahwa sesuatu yang istimewa akan segera saya terima. Sebuah buku Sapardi Djoko
Damono, sepucuk surat cinta, dan sebuah undangan yang membawa kabar bahagia.
Kau tahu, betapa bahagianya saya saat mendengar kabar itu. Seperti ada seseuatu
yang mumbuncah di dada ini, bekerjasama dengan baik dengan sesungging senyuman
yang rasa-rasanya tidak cukup untuk mengejawantahkan kebahagiaan itu. Aneh
memang, mengingat secara intensitas berinteraksi apalagi pertemuan yang baru
hanya sekali, serta dengan bentangan jarak yang jauh, mengapa saya bisa
sepeduli itu? Namun kemudian saya menginsyafi, demikianlah ukhuwah itu bekerja.
Begitulah persaudaraan ini telah mengeratkan kita. Maka sekali lagi harus saya
sampaikan hal ini; saya sangat berbahagia
untukmu, Kak Ai.
Dituliskan pada 31 Desember 2013; sepucuk surat, buku SDD, dan undangan walimah Kak Ai |
Kak Ai. Sosok pecinta
semangka yang saya kenal lewat dunia blog di multiply dahulu. Saya sering
melihatnya malang melintang dengan postingan yang selalu ramai komentar. Atau
menemukan namanya menyempil diantara komentar rekan-rekan blogger lain yang
nampak begitu akrab dengannya. Pada suatu waktu, saya melihat postingannya
tentang buku barunya yang baru saja terbit; Surga di Telapak Kaki Ayah.
Nama lengkapnya Sari Yulianti, dan kala melihat informasi itu, saya kemudian
baru sadar mengapa ia cukup eksis di ranah MP; Ooh..rupanya penulis buku toh... Batin saya.
Hingga kemudian kami sempat
membuat sebuah lomba menulis bersama, didukung oleh beberapa blogger lainnya. Kak Ai, proyek menulis dari lomba itu
sepertinya harus kita tuntaskan tahun ini.. *sigh*. Dan sepertinya, dari
sanalah kami kemudian menjadi akrab. Bahkan meski kemudian para blogger MP
digusur dari rumahnya sendiri saat fasilitas blog MP dihapuskan, kami tetap keep in touch *ceile.. Kak Ai adalah
orang pertama yang menyapa saya dengan sebutan ‘Rifa’, nama tengah yang kemudian saya
jadikan nama pena. Kak Ai pula yang membantu saya untuk bisa masuk ke sebuah
komunitas menulis keren bernama Be a
Writer yang dikomando Mbak Leyla Imtichanah, serta turut serta dalam proses
penerbitan Jeda Sejenak dan memberikan endorsment untuk manuskripnya. Dan sungguh, saya sangat berterima kasih untuk
itu. Termasuk untuk satu-satunya pertemuan kami di dunia nyata, saat saya
berkesempatan mengunjungi kota tempat tinggal Kak Ai di Jekardah sono. Kak Ai bahkan datang ke tempat menginap saya, lebih
dahulu daripada kakak kandung saya yang juga ada di kota yang sama. Perjumpaan
kami selain lewat koneksi internet pun terjadi saat Kak Ai mengirimkan kepada
saya buku solonya beserta sebuah majalah Tarbawi dan surat cinta pertamanya
untuk saya. Surat yang ditulis di kertas surat semangka yang tentu adalah
barang yang sangat Kak Ai sukai. Surat yang hingga kini masih saya simpan, dan
akan selalu saya simpan sampai kapanpun. In
syaa Allah.
Maret 2012; sepucuk surat, buku Surga di Telapak Kaki Ayah, dan Majalah Tarbawi |
Seperti yang sudah saya
sampaikan padamu, Kak. Entah mengapa beberapa waktu yang lalu ada semacam feeling baik tentang Kak Ai yang selalu
singgah di kepala saya. Kak Ai seumur dengan kakak lelaki saya, mungkin itu
juga salah satu faktor yang membuat saya menerka-nerka, bahwa tahun ini adalah
saat yang tepat untuk mendengar kabar Kak Ai tentang hari ‘cahaya’. Dan ternyata, feeling itu benar. Sebentar lagi, Kak
Ai akan menyempurnakan separuh dien-nya.
Saya sangat bersyukur atas kabar itu. Sembari takjub demi merasakan bagaimana
Allah menakdirkan semua ini. Mustahil rasanya kita yang hanya saling mengenal
lewat dunia maya, menjadi turut dapat membersamai kehidupan masing-masing, mengetahui
satu demi satu fragmen yang kita hadapi satu sama lain, meski mungkin dengan
cara yang begitu terbatas. Sebenarnya, saya ingin sekali bisa melihat langsung
wajah bahagia Kak Ai, sambil berpesan kepada lelaki beruntung itu agar kelak
menjaga Kak Ai baik-baik *hehehe...
Tapi semoga ketidakhadiran itu, tidak mengurangi makna dari setiap doa yang
saya langitkan untukmu, Kak.
Maka pada akhirnya tulisan
ini harus saya akhiri, sambil terus berharap semoga semuanya dijaga dan
dilancarkanNya, hingga hari yang indah itu tiba. Inipun harus saya akhiri
karena saya harus bersiap untuk menulis surat cinta balasan yang hanya ada satu
di dunia J
Barakallahu fiik, Kak
Ai. Semoga bahagia selalu menyertaimu. Terima kasih untuk hadiahnya, dan untuk
semuanya.
Makassar, 6 Januari 2014
Waah terharu membacanya. Persahabatan yang manis walau di ranah maya.
BalasHapusTurut berbahagia buat Ai. BArakallah buat kalian berdua, Ai dan Diena. Semoga persahabatan ini langgeng ^__^
Aamiin..Terima kasih, Kak Niar :)
HapusPersahabatan yang indah :-)
BalasHapusTerima kasih, Mbak Leyla :)
Hapus