“Rasa cinta ini bahkan melebihi cinta
saya pada saudara kandung saya sendiri...”, ujarmu di suatu senja, bertahun
yang lalu. Sebuah perkataan yang masih kuingat hingga kini. Bahkan mungkin
tidak akan pernah kulupakan. Seumur hidup.
Kepadamu, seseorang yang
indah pribadinya,
Aku tidak ingat betul, kapan dan bagaimana saat pertama kali berjumpa
denganmu. Yang jelas seingatku, setiap kali melihat kau, aku selalu
menganggapmu berada pada tingkatan yang lebih dibandingkan kami-kami ini.
Apakah itu adalah efek dari kacamata yang kau kenakan? Atau karena memang
wajahmu yang selalu menyiratkan ketenangan? Entahlah.
Nyatanya, tentu hanya atas takdir Allah-lah garis hidup kita bersinggungan.
Dan kau adalah satu dari beberapa orang yang Allah takdirkan hanya kutemukan
sisi baiknya saja. Tanpa cela? Ya, sepertinya itu kata yang tepat untuk
menggambarkannya. Dan kau harus tahu betapa aku bersyukur atas hal itu.
Tutur katamu yang halus, bahkan meski saat kau tengah bercanda. Kau mungkin
bukan orang yang sangat supel, namun siapapun yang berada di dekatmu akan
merasa nyaman. Intinya, kau adalah orang yang begitu mudah untuk dicintai,
bahkan mungkin pada pandangan yang pertama kali. Allah mencintaimu, setidaknya
itulah hipotesisku atas hal ini.
Kau adalah seseorang yang sangat manis senyumnya. Namun suatu hari kudapati
dirimu menangis tersedu-sedu. Bukan karena masalah yang sedang menimpamu. Bukan
pula perihal remeh temeh nan sepele yang kadang banyak dikeluhkan orang-orang
kini. Hari itu, kau menangis berlinang-linang justru sebab sedih melihat salah
seorang kawan yang tidak lagi berada pada jalan kebaikan. Punggungmu bahkan
hingga bergetar sambil berulang-ulang mengucapkan namanya. Kau kecewa pada
dirimu sendiri, mengapa tidak dapat lebih lama membuatnya bertahan di jalan
cahaya.
Di kali yang lain, sebuah senja kita isi dengan mengujungi rumah seorang
kawan. Kita menghabiskan waktu hingga maghrib mendekat dengan tertawa-tawa dan
berbincang tentang banyak hal yang ringan bertiga. Sungguh tidak ada yang salah
waktu itu. Hal yang kita bicarakan pun adalah sesuatu yang wajar-wajar saja.
Namun betapa kutemukan kembali keindahanmu saat aku tiba di rumah dan pesan
singkatmu telah mendarat di ponselku. Kau tidak pernah kudapati berprasangka
buruk pada siapapun, namun kau begitu berhati-hati jika itu perihal dirimu
sendiri. Lewat pesan singkat itu, kau meminta maaf. Ya, kau meminta maaf sebab
khawatir jika perbincangan kita tadi bernilai sia-sia. Kau meminta maaf jika
saja ada perkataanmu yang salah, padahal tak ada.
Hingga akhirnya, waktu pun terus berjalan. Semakin hari, kehidupan ini
semakin menunjukkan rupa yang sebenarnya. Hidup pada akhirnya bukan hanya
sekadar rutinitas harian yang terus berulang. Namun semakin banyak diwarnai
dengan hal-hal yang tidak kita duga. Termasuk dengan kepergianmu. Sebuah
perpisahan yang menjauhkan raga kita, namun untungnya tidak dengan hati kita.
Wahai kau yang indah
pribadinya,
Beberapa waktu yang lalu kita bertemu kembali. Dan seperti yang sudah
kuduga, tidak banyak yang harus kukhawatirkan tentang dirimu. Kau baik-baik
saja. Kau tetap bertahan untuk menjadi tetap indah. Seindah saat kita bertemu,
dan saat kita berpisah dahulu.
Kau kemudian bercerita tentang banyak hal. Hingga rasanya, waktu perjumpaan
kita itu tidak akan pernah cukup untuk membahasnya tuntas. Ya, kita telah
melewati begitu banyak hari tanpa masing-masing berada di sisi. Tentu begitu
banyak pula yang telah terjadi.
Kau mengatakan tentang keputusan yang harus kau jalani, meski sama sekali
tidak kau sukai. Tapi kau tetap melalui itu dengan cara terbaik yang kau bisa.
Lalu Allah kemudian menunjukkan hikmah-Nya. Pada perjalanan yang kau tak kau
senangi itu, justru di sanalah kau menemui apa yang selama ini kau cari. Maka
sekali lagi, pada dirimu ayat-ayatNya dapat kubaca...
“Boleh
jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat
baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia
amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang
kamu tidak mengetahui.” (QS. Al Baqarah [2]:216)
Lalu perpisahan yang kedua harus kembali kita
jalani. Kali ini tanpa ada rencana kapan akan bertemu kembali. Pada perjumpaan
terakhir itu, kau berucap lirih, jangan-jangan kita tidak akan lagi berjumpa
lagi. Namun biarkan kuberitahukan kepadamu, betapapun jarak akan membentang jauh, pada
akhirnya justru hal itulah lagi yang menginsyafi kita, bahwa terkadang
angka-angka dalam satuan kilometer itu tidak selalu menyimpan banyak makna. Bukankah
ada begitu banyak orang yang dekat secara jarak namun hatinya saling
berjauh-jauhan? Maka, kita selalu punya doa-doa yang mampu untuk melipat
rentangan itu. Pada akhirnya, perjumpaan-perjumpaan jasad bisa saja kita hibur ketiadaannya
dengan kedekatan jiwa. Aku akan selalu mendoakan kebaikan untukmu, bahkan
mungkin melebihi untuk diriku sendiri. Aku berjanji.
Uhibbukifillah, yaa Ukhti...
Makassar, 30 Desember 2013
Kau tahu bagaimana rasanya
kembali menulis setelah rasanya sekian lama tidak melakukannya?
Ya, seperti berjumpa
dengan sahabat lama!
subhanallah
BalasHapus