Apa kabar, Pak?
Semoga selalu dilimpahkan rezeki
atasmu dalam keberkahan, dan diberikankesehatan padamu dalam kebaikan.
Tentu kau memerlukan kekuatan yang begitubesar untuk dapat mengemban
amanah berat di pundakmu di dunia ini, pun
untukmempertanggungjawabkannya di akhirat nanti.
Pak,
tulisan ini mungkin hanya sebuah coretan sederhana yang jauh dariilmiah.
Ia juga hanyalah suara hati dari seseorang yang bukan siapa-siapa
dantidak pun membawa berita yang baru. Namun, semoga kesederhanaan ini
tidak mengurangikebenaran atas apa yang akan tulisan ini sampaikan
padamu.
Hari itu sebenarnya biasa saja. Hari
pertama dalam penanggalan bulanDesember yang seharusnya sama dengan
hari-hari lainnya. Namun, ia menjadi tidakbiasa saat isu itu berhembus
dengan kencang. Berita pun menyebar kemana-manaseolah tiada yang dapat
membendungnya. Ini tentang sebuah program yangdilakukan pemerintah
terkait dengan hari AIDS sedunia. Namanya, Pekan KondomNasional.
Sungguh, mendengar judulnya saja sudah membuat bulu kuduk bergidik.Ada
apa dengan benda itu? Mengapa ia harus dibuatkan kegiatan dalam tujuh
haripenuh?
Hingga sakit kepala saya
memikirkannya, Pak. Logika saya yang dangkal initetap tidak dapat
menangkap kesesuaian antara mencegah HIV/AIDS dengan kegiatanbagi-bagi
‘pengaman’ itu. Bahkan dari beberapa artikel yang saya baca,
nyatanyapenularan penyakit mengerikan itu masih saja bisa terjadi meski
menggunakanpengaman. Sementara fakta bahwa meningkatnya penularan lewat
hubungan seksualpun ternyata melonjak dibanding jalur-jalur penularan
lainnya. Bukankah itumengerikan? Tapi tetap saja, membagi-bagikannya
kepada khalayak ramai tetaptidak dapat masuk dalam logika saya. Apalagi
saat tempat dibaginya ternyata di antaranyaadalah kampus-kampus tempat
orang-orang intelek berada, yang meski tidak diberitahu pun nampaknya
sudah cukup tau tentang hal itu. Sementara, tidak semua darimereka
adalah orang-orang yang terjerumus pada seks bebas. Bukankah,
denganmembagikan hal itu justru bisa menjadi celah mereka menemukan inspirasi untuk justru melakuka tindakandosa itu?
Maka
belum lagi reda pening itu, jantung ini rasanya ikut terpacu
begitucepat saat beberapa testimoni dan saksi di lokasi kejadian
menyatakan langsungbeberapa hal yang bersebrangan dari apa yang
diprogramkan.
“Tiba-tiba ada yang datangmembagikan-bagikan sesuatu. Tanpa adainformasi apa-apa, ternyata sepaket kondom itu sudah ada di tangan saya!”
“Mereka
masuk ke kampussaya, membagi-bagikan kondom sambil berujar –entah
serius atau hanya bercanda, ‘Dicobasama pacarnya yah...’”
Duhai Bapak yang terhormat, apa yang sedang coba kita undang? Apa yangsedang kita nantikan? Adzab-Nya-kah? Naudzubillah...
Pak,
saya pernah berkesempatan untuk berpraktik kerja pada sebuah apotek.Di
sana dapat saya amati bahwa memang ‘benda itu’ adalah sesuatu yang
wajarsaja untuk digunakan, tentu oleh orang-orang yang memang berhak
untukmenggunakannya. Dan para pembelinya rata-rata, bahkan meski mereka
memangberhak, namun tetap saja ada rasa malu pada wajahnya. Entah
ditutup denganhelm, atau bergegas ingin segera membayar dan pergi.
Apalagi tentu orang-orangyang memang ingin menggunakannya untuk maksiat,
tentu akan lebih canggung lagi!Maka masih ada rasa malu, Pak!
Setidaknya masih ada rasa malu yang menjagaseseorang untuk mengurungkan
niat bermaksiatnya saat benda itu tidak denganmudah diakses oleh siapa
saja. Maka saat ia kemudian diobral bahkandibagi-bagikan dengan
gelontoran dana negara yang tidak sedikit jumlahnya,tentu tidak heran
jika begitu banyak yang mempertanyakan ini semua! Telah nyataadzab pada
kaum yang durhaka sebelum kita, tidakkah kita memperhatikan?
Miris
sekali rasanya, Pak. Saat kemaksiatan dibukakan pintunya begitu
luas,sementara kebaikan seolah dihalangi rapat-rapat. Baru saja kami
turutbergembira atas dibolehkannya saudari-saudari muslimah kami para
polwan untukmengenakan jilbab, tiba-tiba kabar pembatalannya datang,
dengan alasan tidakadanya anggaran. Saudari-saudari kami itu, Pak,
mereka juga para muslimah yangberkewajiban menaati perintah Rabbnya.
Telah diperintahkan dalam ajaran agamakita untuk menutup aurat, maka
nampaknya tidak masuk diakal saat ternyatajustru negara (yang begitu
kami banggakan karena menjadi berpenduduk mayoritasmuslim di dunia) ini
yang melarangnya! Saudari-saudari kami itu, Pak, merekahanya ingin
beribadah dengan bebas sebagaimana bebasnya mereka shalat, puasa,dan
berzakat. Mereka hanya ingin menjalankan tugasnya kepada negara tanpa
harusmendurhakai tugas yang telah diberikan pula oleh Allah. Lalu
mengapa merekadilarang dan dihalang-halangi? Dimana hak asasi manusia
itu? Dimana mereka yangmemprotes pelarangan rok mini itu? Dimana
toleransi itu? Ataukah bahkan negaraini telah tega bersikap diskrimintif
bahkan pada umat mayoritasnya sendiri?
Pak, masih
ada waktu untuk memperbaiki semuanya. Masih ada masa untukbersujud
taubat dengan menyungkur pada-Nya. Tidakkah kita takut pada azab
yangbukan hanya menimpa pelaku maksiat namun akan merata pada seluruh
penduduknegeri? Jika mungkin hati kita telah beku dan tidak lagi
bersemangat atas kabargembira bagi orang-orang yang takwa, maka mungkin
memang saatnya kita menetapihati dan menghadirkan lagi ketakutan kita
pada-Nya. Begitu mudah kitadilenyapkan-Nya dengan kekuasaan-Nya. Bahwa
begitu mudah bagi-Nya menggantikita dengan generasi yang lebih tahu
berterima kasih.
Duhai Bapak Presiden yang budiman, semoga hidayah Allah senantiasadicurahkan kepada kita semua. Aamiin.
“Tidakkahkamu perhatikan, bahwa sesungguhnya Allah telah menciptakan langit dan bumidengan hak[? Jika Dia menghendaki, niscaya Dia membinasakankamu dan mengganti(mu) dengan makhluk yang baru.” (QS. Ibrahim [14]:19)
Makassar, 3 Desember 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)