Perempuan itu menangis lagi. Ini untuk kesekian kalinya sejak sekitar
delapan bulan yang lalu saat ia selesai menerima selembar ijazah dan sekali
lagi menjadi peserta di gelaran wisuda. Perempuan itu menangis lagi di
hadapannya. Sungguh, ia lebih rela ada ratusan orang lain yang menangis dan
curhat kepadanya, lalu ia akan menasihatkan kata-kata bijak dan beberapa ayat
atau hadits dan membuat orang-orang itu kembali tersenyum. Itu lebih baik
daripada menghadapi perempuan yang kini berlinang air mata itu. Mulutnya
terkunci. Matanya ia kerjap-kerjapkan untuk menghindari lapisan bening itu
jatuh menjadi bulir-bulir. Perempuan itu berkata tentang masa depannya,
harusnya ia bekerja sesuai profesinya, atau melanjutkan kuliah yang masih bisa
perempuan itu biayai, bukan mengeram di rumah seperti sekarang. Papar perempuan
itu, sesunggukan.
“Aku telah jadi penghalangmu, Nak...”,
ujar perempuan itu. Ia harusnya tahu, anaknya sungguh merasa nyaman berada di
rumah. Telah lama ia ingin menebus bertahun-tahun masa kuliah yang membuatnya
hanya menjadi anak kost di rumahnya sendiri. Hanya pulang untuk singgah
beristirahat dan mandi, lalu pergi lagi. Hanya bisa menatap sekilas pada
wajah-wajah anggota keluarga kemudian kembali terbang pada rutinitas yang tiada
habisnya. Telah lama ia ingin sebenar-benarnya pulang. Dan masa selepas studi panjang non stop hingga menambah dua
gelar di belakang namanya itu, ingin ia bayar tunai, lalu Allah menunjukkannya
cara seperti sekarang.
“Jangan sedih begitu. Aku baik-baik saja, Bu...” ucapnya sambil menyisir
rambut perempuan yang baru saja selesai ia mandikan itu. Perempuan itu masih
sibuk menghapus air matanya sambil berbicara tentang opname di rumah sakit atau tentang panti jompo. Ia juga sering berpikir untuk pulang ke kampungnya saja, berkumpul dengan sanak saudaranya yang lain.
"Jangan bicara begitu, Bu..." lagi-lagi hanya itu yang bisa ia ucapkan sebagai tanggapan.
Perempuan itu seharusnya tahu, bahwa anaknya tidak lagi peduli atas
komentar siapapun. Ia belajar untuk menyadari bahwa tidak semua perkataan harus
didengarkan, bahkan tidak semua pertanyaan harus di jawab. Mengetahui fakta
tentang sesuatu tidak membuat orang lain akan memahami. Dan tidak seorang pun
berhak untuk menilai kehidupan orang lain. Ia sudah cukup piawai untuk hanya
menjawab dengan senyuman atas setiap pertanyaan tentang peluang yang tidak ia
ambil atau tentang kesempatan yang tidak ia hiraukan. Ia belajar bahwa salah
satu cara menjalani hidup dengan tenang adalah dengan menerima segalanya.
“Di masa-masa sibuk dulu, kau selalu berdoa
semoga Allah memberikanmu kemudahan. Doa itu dijawabNya sekarang. Allah bahkan
memberikanmu pekerjaan bergaji surga. Surga yang paling tengah...” ujarnya
kepada bayangan di cermin saat ia terkadang merasa sesak menatap tembok dan
tembok dan tembok.
“Tapi jika keadaannya memungkinkan,
mungkin kau butuh sekali-kali pergi melihat sesuatu yang luas. Laut, misalnya.
Pergilah ke tempat itu kalau sempat, agar kau lebih segar. Wajahmu yang berseri
mungkin akan membuat perempuan itu tidak menangis lagi”, jawab bayangan di
cermin itu kepadanya.
Perempuan itu seharusnya tahu, bahwa anaknya seperti apa yang selalu
menjadi jawaban setiap ia menangis dan bertanya. Anaknya, baik-baik saja.
Makassar, 27 November 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)