"Sepertinya jadi orang nyinyir itu gampang,
ya?", tanya saya suatu waktu pada adik saya.
"Kamu baru tahu?", jawab adik saya
dengan pertanyaan yang tidak perlu saya jawab.
Nyinyir.
Sebuah kata yang secara pribadi saya definisikan sebagai sebuah sikap dimana
seseorang menanggapi sesuatu dengan nada negatif dan dengan cara yang negatif,
tanpa ada solusi. Biasanya, dengan aroma-aroma membenarkan diri, pun dengan
meletakkan dirinya secara langsung ataupun tidak sebagai orang yang paling
benar, yang lainnya salah.
Setiap
manusia harus bisa bersosialisasi dengan baik di tengah masyarakat. Anjuran ini
bukan tanpa tujuan, namun memang memiliki banyak manfaat. Diantara manfaat itu
adalah sebab dengan bergaul, kita bisa belajar banyak hal dari tingkah laku
manusia. Manusia sebagai makhluk sempurna, nyatanya memang perlu menyempurnakan
dirinya dengan mengusahakan banyak hal, tanpa itu, maka manusia tidak lebih
dari makhluk hidup yang dicipta seplanet dengan tumbuhan dan hewan, tanpa ada
keistimewaan sama sekali. Dalam proses sosialisasi itu, kita akan mendapati
bahwa begitu banyak karakter pada diri setiap individu. Karakter nyinyir ini
salah satunya.
Orang-orang
nyinyir ini biasanya senang mengomentari sesuatu, diminta atau tidak diminta.
Saat berkomentar itulah, ia akan mengeluarkan kenyinyirannya, sesuai dengan
kadarnya masing-masing. Mengapa menjadi nyinyir saya sebut sebagai sesuatu yang
mudah? Ya, sebab melakukannya memang cukup dengan: mengatakan semua hal yang ingin kamu katakan. Ya, semudah itu saja!
Kata-kata
dalam bentuk ucapan adalah gambaran diri seseorang. Orang yang berpenampilan
menarik, rapi, necis, wangi, cantik atau ganteng, bisa saja menjadi terjun
bebas citranya jika ia tidak bisa menjaga bacot-nya dengan baik. Sembarangan
berkata-kata tanpa mempertimbangkan lawan bicaranya, dan tanpa mempertimbangkan
kapasitas dirinya, akan membuat seseorang menjadi kelihatan ke-nyinyir-annya.
Kita harusnya paham, tidak mungkin perkataan menjadi sesuatu yang penting untuk
kita jaga, jika ia bukan sesuatu yang kelak akan kita pertanggungjawabkan; di
dunia dan akhirat.
Orang-orang
nyinyir ini akan nampak seperti orang yang mengira mati-ya-mati-aja, artinya ia tidak memperhitungkan
pertanggungjawaban akhirat atas apa yang ia katakan. Ia tidak peduli perasaan orang lain ataupun dampak
dari perkataannya yang buruk. Bahkan, perkataan yang baik pun berkemungkinan
berdampak buruk jika dituturkan dengan cara nyinyir, apalagi yang memang sudah
buruk dari sananya. Orang-orang seperti ini hadir dalam berbagai varian, bukan
hanya yang dari sono-nya memang
terlihat (maaf) brengsek, tapi bisa saja justru adalah kaum terdidik dengan
titel berderet di belakang nama, bahkan ada juga yang penampakannya seperti
orang yang religius dan sarat dengan ilmu agama. Semua itu bukanlah sebuah
jaminan seseorang tidak jatuh dalam jurang kenyinyiran.
Salah satu ciri lain dari orang nyinyir
adalah, hanya mampu berkomentar, tanpa bisa bekerja, bahkan mengerjakan sesuatu
yang bisa ia komentari tersebut. Artinya, ia berbicara tanpa menakar kapasitas
dirinya, ia merasa tidak perlu ekspert di bidang yang ia komentari untuk
menjadi pantas berkomentar. Jangankan
bisa memberikan solusi dan mengerjakan yang lebih baik dari orang yang ia
komentari, memahami komentarnya sendiri saja belum tentu ia mampu. Maka wajar
saja jika senjata orang nyinyir adalah perkataannya saja, sebab memang hanya
itu yang ia bisa. Saya sarankan bagi yang merasa nyinyir, silakan segera
asuransikan mulut Anda!
Sepertinya pepatah itu masih berkalu
hingga kini, mungkin hingga seterusnya; tong
kosong nyaring bunyinya. Sebaliknya, air
yang tenang biasanya menghanyutkan. Kadang, jusru dari orang-orang yang
tidak banyak bicaralah karya-karya bisa tercipta. Mereka, lebih senang berbuat
sesuatu dalam keheningan.
Makassar, 26 November 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)