“Kenapa yah, aku bisa sayang padamu? Padahal, di saat aku bermain-main di pinggir jurang dan meminta pendapatmu tentang itu, kau bukannya menyelamatkanku, tapi malah mendorongku hingga aku terjatuh dan merasakan sakit. Hingga tersadarkan, betapa aku telah bersalah. Tapi nyatanya, kau selalu tetap berada di sana. Berdiri di bibir jurang, menungguku yang terseok-seok untuk bangkit kembali. Kau menungguku di sana, sambil melangitkan doa-doa. Mungkin karena itu, saat sesak ini bertambah-tambah, justru namamu yang kucari paling pertama.”
Kita harus setuju, bahwa hidup ini sederhana. Kita saja membuatnya terlalu
kompleks. Hingga pada akhirnya kita tersadar, hanya mampu menilai segala
sesuatu dari sisi luarnya saja. Apa yang tersimpan dalam hati orang lain, tidak
akan pernah sanggup untuk kita benar-benar pahami. Dan bahwa ada terlalu banyak
hal yang bisa dengan mudah untuk disembunyi.
Setiap senyuman tidak selalu berarti bahagia. Ia bisa saja menjadi benteng
terakhir untuk menghalangi semua semburat duka. Tetapi tidak semua manusia bisa
menyadarinya. Perlu pengetahuan yang menyeluruh tentang rangkaian perjalanan
dan semua liku-liku yang telah dihadapi. Perlu kesabaran hati dan pikiran untuk
menenangkan diri, dan tidak terlampau cepat menarik kesimpulan. Sayangnya,
tidak semua orang punya waktu untuk itu. Sehingga setiap senyum akhirnya
dimaknai sebagai bahagia dari hati, atau persetujuan atas keadaan yang ada. Lalu,
itu digunakan sebagai bahan untuk menilai banyak hal.
Tapi apa peduli kita?
Seberapa penting kita memikirkan pendapat manusia selama itu hanya menunjuk
pada pribadi kita saja?
Padahal pada akhirnya, hanya penilaian Allah saja yang akan paling
berpengaruh untuk kita, di akhirat kelak, pun di dunia kini. Kedudukan kita,
nyatanya hanya bergantung pada keimanan pada Allah. Tidak menjadi kurang karena
dicela manusia, dan pujian pun tidak bisa menjadi sebab meningkatnya kemuliaan.
Keimanan berimplikasi pada kedudukan di hadapan Allah, maka hanya Dia pula yang
dapat valid dalam menilainya.
Begitu banyak hal yang terjadi, rangkaian peristiwa yang kita lalui, yang
sungguh picik jika kita anggap begitu saja sebagai sebuah kebetulan. Sungguh
tidak ada yang terjadi karena kebetulan. Setiap perjumpaan menyimpan
perhitungan yang konkret, kombinasi antara ketepatan waktu, keterarahan
perasaan, kesesuaian kondisi, dan berbagai variabel penyusun lain yang
menyebabkan sesuatu bisa terjadi. Ia, terancang bukan oleh semesta yang luas
ini, bukan pula oleh konspirasi siapa-siapa atau apa-apa. Namun, semata-mata
karena memang telah ditakdirkan oleh Allah Azza wa Jalla.
Kita bisa saja memiliki keinginan. Kita, bahkan telah dicekoki dengan
anjuran untuk memiliki impian yang setinggi-tingginya. Kita, tentu harus
mengikhtiarkannya. Sebab mimpi tanpa usaha tidak lebih dari bunga-bunga tidur
yang tidak ada artinya. Kita harus meluruskan cara-cara yang kita pilih sebagai
jalan terbaik untuk meraih apa yang kita inginkan. Namun, apakah setiap impian
yang baik, yang juga pun telah diusahakan dengan baik, akan pasti memeroleh
hasil yang baik? Tidak. Semuanya kembali lagi kepada kehendak Allah. Lalu,
apakah dengan demikian segala usaha kita akan berarti sia-sia? Tidak juga.
Sebab apa yang kita raih, memang tidak selalu dari apa yang kita usahakan.
Layaknya Siti Hajar yang berlari-lari dari Shafa ke Marwa untuk mendapatkan
air, ikhtiarnya berlari itu tidak mendatangkan hasil, air yang ia cari tak jua
muncul pada lintasan tempat ia berlari. Namun, Allah memberikan karunianya
justru dari hentakan kaki-kaki kecil bayi Ismail yang dari tanahnya muncul mata
air. Maka kita berusaha, lalu tunggulah keajaiban atas kehendakNya. Kita tidak
akan mati, sebelum menikmati semua jatah rezeki.
Maka atas apa yang Allah beri, sudah seharusnya kita ridha. Apa yang Allah
beri adalah yang terbaik menurut ilmuNya, meski mungkin tidak menurut pendapat
kita. Lalu apakah ridha atas takdirnya adalah akhir dari segalanya? Bukan.
Ridha atas takdir justru adalah awal untuk sebuah ikhtiar yang baru. Saat kita
kembali lagi memulai menjalani apa yang telah digariskanNya, dengan sebaik-baik
cara.
Tidak ada yang salah dengan segala masalah dalam hidup. Seperti sedang
mengikuti sebuah ujian, soal yang diberikan tidak pernah salah. Yang membuat
runyam adalah jika jawaban kita yang tidak benar. Maka dalam hidup, yang salah
bukanlah persoalan yang diujikan Allah kepada kita. Namun, yang harus kita
perbaiki adalah cara kita dalam menyikapi persoalan tersebut. Ada dua
kemungkinan di sana, kita dapat menghadapinya dengan cara yang benar. Atau
justru dengan cara yang salah. Dan, keduanya adalah kemungkinan, yang kita
menentukan pilihan atasnya.
“Dan jika Allah menimpakan
suatu bencana kepadamu, tidak ada yang dapat menghilangkannya selain Dia. Dan
jka Dia mendatangkan kebaikan padamu, maka Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.
Dan Dialah yang berkuasa atas hambaNya. Dan Dia Mahabijaksana, Maha Mengetahui.”
(QS. Al An’am:17-18)
Jika kita memang hidup hanya mencari ridha Allah, maka setiap celaan hanyalah
sebuah evaluasi, betapa masih lebih banyak aib kita yang Allah tutupi. Lalu
setiap pujian justru harus membuat kita semakin sadar diri, betapa besar
prasangka baik orang lain kepada kita, dan betapa keliru kita jika
menyalahgunakannya. Jika memang hidup
kita hanya untuk mencari ridhaNya, kita tidak akan peduli pada harta, jabatan,
kedudukan, pandangan manusia, yang semuanya tiada guna untuk kehidupan akhirat
kelak. Kembalilah kepada Allah. Allah itu dekat, hanya saja kita yang sering
menjauh. Kembalilah kepada Allah, dan
serahkan setiap urusan hanya kepadaNya saja.
Yaa hayyu yaa qayyum, bi
rahmatika astaghitsu, ashlihlii sya’ni kullahu wa la takilnii ila nafsi thar
fata ‘ain ~ Wahai yang Maha Hidup, Yang
Maha Terjaga, hanya kepada rahmatmu aku memohon keselamatan, perbaikilah
seluruh urusanku, janganlah Engkau serahkan aku kepada diriku sendiri, walau
hanya sekejap mata.
“Sakinah itu bukan pada suami. Bukan pada istri. Bukan pada keluarga. Sakinah itu ada dalam hati, yang selalu dekat kepada Allah. Seperti saat Abu Bakar membersamai Rasulullah di dalam gua, lalu mereka yakin, Allah selalu bersamanya. Sakinah itu sesederhana hilangnya haus, setelah meneguk air nan sejuk."
Makassar, 3 November 2013 /
29 Dzulhijjah 1434 H
.: A note to my self:..
suka sekali dengan kutipan terakhirnya: “Sakinah itu bukan pada suami. Bukan pada istri. Bukan pada keluarga. Sakinah itu ada dalam hati, yang selalu dekat kepada Allah. Seperti saat Abu Bakar membersamai Rasulullah di dalam gua, lalu mereka yakin, Allah selalu bersamanya. Sakinah itu sesederhana hilangnya haus, setelah meneguk air nan sejuk."
BalasHapusSetuju, saya juga suka sama quote terakhirnya
BalasHapus