Banyak orang yang merasa sedang berada di dalam barisan jihad, padahal sebenarnya tidak. Mereka menganggap dirinya telah melakukan yang terbaik, namun sebenarnya mereka adalah orang yang sangat merugi.
Jihad. Sebuah kata yang menghadirkan kesan tersendiri saat ia diucapkan.
Beberapa kalangan mungkin akan bergidik saat mendengarnya. Sebagian yang lain
menganggapnya sebagai hal yang biasa, bahkan merasa telah melakukannya setiap
harinya. Nah, adakah kita benar-benar telah memahami maknanya?
Jika kita merujuk pada definisi, maka tentunya tidak lepas dari dua
tinjauan. Aspek bahasa dan aspek istilah. Pada aspek yang pertama, kata jihad
terdiri atas tiga huruf; jim, ha, dan dal. Kata ini menunjukkan masyaqqah atau kesulitan, kesukaran, dan
hal-hal lain yang semisal dengannya. Di lain sisi, kata ini juga mengandung
makna potensi dan kekuatan. Pada kesimpulannya, secara bahasa, kata jihad
merujuk pada penggunaan kekuatan untuk mencapai tujuan dalam menghadapi
kesulitan.
Sedangkan dari aspek istilah atau syar’i, jihad bermakna memerangi
orang-orang yang menghalangi Islam dengan menggunakan senjata. Pada tinjauan
ini, jihad bermakna peperangan melawan orang-orang yang memerangi Islam. Tapi,
apakah jihad selalu bermakna demikian saja? Mari kita simak salah satu firman
Allah dalam al Qur’an;
“Maka
janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka
dengan Al Quran dengan jihad yang besar.” (QS. Al Furqan [25]: 52)
Jihad yang besar dalam ayat ini, justru
digambarkan dengan jihad menggunakan al Qur’an. Ya, jihad pun menyimpan makna
sebagai segala upaya untuk menegakkan dienullah
dan mencari keridhaan Allah. Makna jihad ini dapat menjadi jalan dalam
terwujudnya kemenangan dalam jihad dalam arti peperangan, sehingga jihad dengan
al Qur’an tidak boleh disepelekan karena anggapan bahwa baru dikatakan berjihad
jika telah menggunakan senjata dan menumpahkan darah. Dakwah pun adalah jihad.
Tidak membatasi jihad hanya dari makna perang
bukan pula berarti memudah-mudahkan makna jihad. Sebab hari ini, tidak sedikit
pula yang memahami jihad dengan cenderung menggampangkan diri menganggap
dirinya telah berjihad. Tentu sulit disebut jihad jika bersedekah seribu rupiah
sementara di dompet masih tersisa ratusan ribu banyaknya. Tentu aneh disebut
jihad yang diberikan hanyalah sisa-sisa waktu dan tenaga belaka.
Maka pertanyaannya, adakah kita telah berjihad?
Untuk menjawab itu, mari kita muhasabah diri ini, apakah kita sudah memenuhi
tiga komponen utama yang harus ada saat seseorang menyebut dirinya tengah
berjihad.
Pertama, kesungguhan. Kesungguhan berarti memberikan perhatian yang banyak pada sesuatu.
Jika sesuatu yang ia perjuangkan itu telah menjadi bahan pemikirannya setiap
saat dan setiap waktu, maka itu pertanda bahwa kesungguhan itu telah ada pada
dirinya. Bagaimana mungkin disebut sungguh-sungguh jika tidak ada perhatian dan
justru lebih banyak lupa? Astaghfirullah..
Kesungguhan juga berarti adanya persiapan.
Banyak orang yang kehilangan kesempatan untuk mendapatkan apa yang ingin ia
capai hanya karena tidak melakukan persiapan di dalamnya. Sebaliknya, seseorang
yang tidak benar-benar menginginkan sesuatu dengan sungguh-sungguh tentunya
akan malas untuk mempersiapkan dirinya. Demikian Allah menggambarkan kondisi
orang-orang munafik yang enggan untuk turut berangkat ke medan jihad.
“Dan
jika mereka mau berangkat, tentulah mereka menyiapkan persiapan untuk keberangkatan itu, tetapi Allah tidak menyukai
keberangkatan mereka, maka Allah melemahkan keinginan mereka. dan dikatakan
kepada mereka: "Tinggallah kamu bersama orang-orang yang tinggal
itu." (QS. At Taubah [9]: 46)
Hal lain yang berkaitan dengan masalah kesungguhan
adalah kontinyu dalam melakukan
sesuatu. Tidak hanya bersemangat di awal, lalu layu kemudian. Tidak hanya
membara pada permulaan tapi justru melempem di akhir-akhir perjuangan. Bukankah
Allah mencintai amalan yang sederhana namun selalu dijaga agar terus
dikerjakan?
Kedua, berjihad tentu mengandung pengorbanan.
Tidak dapat disebut berkorban jika tetap merasakan yang nyaman-nyaman saja.
Tentu akan terlewati pula masa-masa yang sulit, atau harus dipertaruhkan
berbagai kepentingan lain, segala potensi yang ada, bahkan hingga hal-hal yang
sebenarnya kita cintai. Bagaimana disebut jihad jika yang diberikan hanyalah
yang sisa-sisa? Yang bahkan meski kita kehilangannya, kita tidak akan merasakan
kerugian apa-apa? Bukan. Itu bukan pengorbanan. Bahkan, para shahabat yang
mulia pun membenci perang. Fitrah mereka sebagai manusia biasa pun tidak senang
dengan anyir darah dan beratnya perpisahan. Namun memang demikianlah jihad, ia
adalah berkorban.
“Diwajibkan
atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci.
Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia
amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”. (QS. Al Baqarah [2]: 216) .
Yang terakhir adalah kesulitan. Kesulitan memang
sangat dekat maknanya dengan kata jihad. Kesulitan untuk menghadapi segala hal,
mulai dari perasaan yang tersakiti, hingga melayangnya nyawa. Kesulitan yang
merupakan ujian yang juga turut menjadi saringan yang akan memisahkan antara
mereka yang memang benar-benar ingin berjuang dan dengan mereka yang hanya bisa
mengucapkan perjuangan itu sebatas di bibir saja.
“Apakah
kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah
orang-orang yang berjihad diantaramu dan
belum nyata orang-orang yang sabar.” (QS. Ali Imran [3]: 143)
Penyebutan kata ‘sabar’ setelah kata ‘jihad’
dalam ayat ini memperjelas makna ‘kesulitan’
yang terdapat dalam jihad.
Tersebutlah cerita tentang sepasang suami istri
yang menempuh perjalanan 700 km dengan menggunakan sepeda motor. Apakah yang
hendak mereka tuju? Adakah harta yang dijanjikan di tempat tujuan itu? Ataukah
mereka bisa memeroleh popularitas dengan perjalanan yang berat lagi sulit itu?
Apakah waktu dan tenaga mereka akan terbayar jika telah sampai? Bahkan, mereka
sempat harus mengalami kecelakaan di jalan, juga turut membantu orang yang
mengalami kecelakaan pula. Sepeda motor itu digantungi dengan perbekalan yang
bahkan disantap sambil kendaraan sedang melaju, sang istri menyuapi suaminya
yang tetap menjalankan motornya, demi menghemat waktu. Ada pula pompa ban
manual yang mereka siapkan sekiranya ban motornya kempis di jalan. Kehabisan
bensin? Jangan ditanya, tentu hal itu kerap kali mereka alami dalam perjalanan
panjang nan melelahkan itu. Lalu, apa sebenarnya yang mereka cari?
Kesungguhan,
pengorbanan, dan kesulitan telah terhimpun dalam cerita ini. Ya, mereka tengah
berjihad. Mereka menuju tempat dimana mereka yakin akan menemukan tambahan
ilmu, sekaligus melaporkan keadaan dakwah yang tengah mereka rintis. Tidak usah
persoalkan tentang pengadaan dana yang seharusnya disiapkan untuk keberangkatan
itu, sebab nyatanya, mereka telah berusaha mengumpulkannya, hingga akhirnya
menyanggupi untuk menggunakan jalur yang dianggap paling hemat. Bahkan cerita
ini pada awalnya tidak ingin mereka bagi pada siapapun. Sebab ya, jihad itu
karena Allah, tidak perlu pula penilaiaan dari siapa-siapa yang hanya setingkat
makhlukNya. Tapi Allah menakdirkan cerita ini sampai kepada kita, tentu
bukanlah sesuatu yang sia-sia.
Sungguh, sudah sepatutnya kita berhenti sejenak
dalam arus detik kehidupan kita. Sudah seberapa sering kita menganggap diri
kita berkorban dalam jihad. Seberapa banyak kita telah merasa ikhlas dan
menilai diri tengah berjuang. Tapi adakah itu semua telah terisi dengan
kesungguhan, pengorbanan, dan kesulitan? Maka setelah kita memahami makna
perjuangan, dan menemukan cerita nyata yang hari ini terjadi dan dilakukan oleh
saudara-saudara kita, mari kita mematut diri di hadapan cermin. Menatap pada
bayangan yang terpantul di sana, lalu tanyakan padanya; sudahkah kau berjihad?
Oleh-oleh dari sebuah pagi di 4 Januari 2014
Makassar, 10 Januari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)