Saat itu, mereka baru saja
menyaksikan sebuah kejadian yang haru. Baru saja seorang ibu menemukan anaknya
yang hilang beberapa waktu. Anak itu masih dalam usia disusui. Kehilangan
permata hati tentu membuat sang ibu sedemikian kalut dan cemas. Tidak heran,
jika saat ia menemukan anaknya, ia langsung mendekapnya erat. Segera dipeluk dengan
hangat dan disusui dengan penuh cinta. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menyia-nyiakan momentum itu
untuk kembali memberi kita pelajaran nan indah. Beliau lalu bertanya pada para
shahabat yang membersamainya,
“Bagaimana menurut kalian,” , Sang Nabi memulai pertanyaannya,
“Apakah ibu itu tega melemparkan
anaknya ke dalam kobaran api?”
Maka tentu sama halnya
dengan apa yang kita pikirkan, serta merta para shahabat yang ditanya pun menjawab
dengan spontan. “Selama ia masih bisa
mempertahankan anaknya, tidak mungkin ibu itu akan melemparkan anak yang baru
ia temukan ke dalam kobaran api! Tidak mungkin!”.
Ya, sungguh jawaban yang
jelas dan terang benderang. Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam pun menanyakan hal itu tentu bukan sebab beliau menyangka
para shahabat tidak mampu menjawab secara benar. Namun sebelum kita menyibak
untaian hikmah dari kejadian itu, mari kita membawa ingatan dan pikiran kita
kepada satu sosok, wanita yang paling pertama kita rasakan kasihnya; Ibu.
Ibu. Sosok manusia biasa
yang mungkin bagi kita begitu sederhana. Di kala dewasa, kita bisa saja begitu
sibuk tumbuh dan berkembang dengan segala mimpi yang kita punya. Semoga
kesibukan itu tidak membuat kita lupa, bahwa wanita yang sangat kita cintai itu
pun terus menua.
Namun, bagaimana pun
kondisi ibu kita sekarang, tentu masa lalu tidak akan pernah berubah. Ada masa
dimana wanita itu menanggalkan semua sifat manusiawinya. Bukankah tiada yang
melebihi kesakitan saat seorang perempuan melahirkan anak? Lalu siapa pula
manusia di dunia ini yang rela bersakit-sakit dan berpayah-payah menanggung
derita? Ya, dialah Ibu. Yang dengan curahan tangis, peluh, dan darahnya, rela
merasakan derita hanya untuk menjadi jalan hadirnya kita di dunia. Bahkan saat
tangis kita pecah, ia dalam segala nyeri yang ia rasa, justru malah tersenyum
dan mendekap kita dalam pelukannya.
Dan waktu pun terus
berjalan, kita tiada henti menyusahkannya. Tidak cukup dengan kerepotan yang
kita timbulkan atasnya saat kita dikandung, kita kembali membuatnya susah saat
harus disapih dan disusui. Diperhatikan di kala terjaga, bahkan saat telah terlelap.
Seolah tidak boleh seekor nyamuk pun yang hinggap di kulit kita. Ditenangkan
dengan berbagai cara saat kita rewel, bahkan ibu rela sakit demi kita, rela
begadang, rela melakukan apa saja demi anaknya.
Demikian pula dengan ayah.
Lelaki itulah yang mencurahkan segenap kekuatannya demi kepingan rejeki yang
hanya untuk kita, anak-anaknya. Ayah menahan lapar meski ada uang di kantong
dan ada warung di hadapan, hanya agar bisa menikmati santapan rumah
bersama-sama. Ayah bekerja dan melindungi kita di waktu yang bersamaan. Ayah
rela tidak tidur, bahkan meski esoknya harus kembali bekerja, hanya untuk
menemani kita yang sedang sakit semalaman. Ayah membela kita, dan memberikan
kita rasa aman siang dan malam.
Betapa besar kasih sayang
keduanya kepada kita. Bahkan sejak kita belum dilahirkan, hingga kita telah
dewasa, tak putus-putus doa-doa mereka untuk keselamatan kita, bahkan meski
tanpa kita pinta. Dan saat kita tersalah, mereka mungkin akan sejenak marah dan
kecewa. Namun mereka memaafkan kita, bahkan sebelum kita meminta maaf. Bahkan,
meski kita lalai dan tidak merasa bersalah atasnya.
Maka mari kita kembali pada
kisah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam dan para shahabat di atas. Lalu bersama kita temukan bahwa
ternyata, ada yang melebihi kasih sayang keduanya.
Saat mendengar jawaban para
shahabat perihal ibu yang baru saja menemukan anaknya itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Allah lebih sayang kepada hambaNya,
dibandingkan kasih sayang ibu kepada anaknya tersebut!”
Ya. Allah-lah itu Sang Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang. Ar Rahman, Ar Rahim yang kasih sayangnya melebihi
kasih ibunda.
Maka kasih sayang itu
memang tidak selalu berarti pembebasan kepada kita untuk melakukan apa saja.
Pernahkah kita melihat seorang anak kecil yang bermain-main dengan pisau dapur?
Ia belum mengerti bahwa pisau itu berbahaya untuknya. Maka saat ayah atau
ibunya mendapatinya, tentu keduanya akan segera mengambil pisau itu darinya.
Anak kecil itu mungkin akan menangis meraung-raung karena tidak terima. Ia akan
memelas dan meminta agar ‘mainan’-nya itu dikembalikan padanya. Apakah
perbuatan orang tuanya itu salah? Apakah itu pertanda bahwa anak itu tidak
disayangi? Tentu saja tidak. Justru sebab rasa sayang itulah, harus ada
larangan yang bertujuan untuk menjaga kesalamatan sang anak. Harus ada aturan,
yang berfungsi agar si anak tetap aman dan terhindar dari keburukan.
Maka demikian pula dengan
perintah dan larangan dari Allah. Allah Subhana
Wata’ala telah menurunkan petunjuk kepada kita, bukan untuk membuat kita
sulit. Bukan untuk mengekang kebebasan kita. Bukan untuk memenjarakan kita
dalam tembok-tembok yang menyedihkan. Allah menurunkan Al Qur’an sebagai
petunjuk bagi kita, sepanjang masa.
“Thaha.Kami tidak menurunkan Al Quran ini kepadamu agar kamu menjadi sengsara” (QS. Thaha [20]: 1-2)
Sungguh.
Allah menurunkan Al Qur’an sebagai wujud sayangNya kepada kita semua. Tak
berbeda dengan petunjuk yang disampaikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Pernahkah kita merasa berat untuk
mengerjakan sunnah? Adakah kita terkadang heran dengan larangan-larangan yang
terpatri dalam hadits-hadits beliau Shallallahu
‘alaihi wasallam? Adakah Rasul adalah orang yang kejam yang bisa membuat
kita menjadi berada dalam malapetaka? Atau menjadi kampungan dan tertinggal
dari roda jaman? Sekali-kali tidak! Bahkan beliau telah disifatkan oleh Allah
sebagai seorang yang amat besar kasih sayangnya.
“Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul
dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan
(keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap
orang-orang mukmin.” (QS. At Taubah [9]:128)
Allah memerintahkan kepada
kita berbuat kebaikan, Allah memerintahkan kepada kita untuk senantiasa
berdzikir mengingatNya. Allah, Rabb yang menciptakan kita yang paling tahu
bahwa tidak mungkin ketenangan dan kebahagiaan akan hadir kecuali kita
berdizikir kepadaNya. Dan hanya dengan amal shalih kita bisa memeroleh
kehidupan yang baik. Allah memerintahkan kita shalat, puasa, zakat, menutup
aurat, berakhlak baik, menjaga kesucian dan pergaulan, dan berbagai amalan
lainnya, untuk membuat hidup kita menjadi selamat. Sebab hidup ini hanya
sekali, hidup ini sungguh fana, dan begitu merugi kita jika menyia-nyiakan
kesempatan yang ada di dalamnya.
“Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah
hati menjadi tenteram.” (QS. Ar Ra’d [13]: 28)
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh,
baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan
Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik
dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang
lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”
(QS.
An Nahl [16]:97)
Seorang ayah tentu akan
marah jika anak gadisnya keluyuran di malam hari. Seorang ibu tentu akan tidak
senang melihat anak lelakinya merokok. Keduanya melarang anak-anak mereka dari
hal-hal yang buruk, bukan untuk membuatnya terlihat kuno dan kolot. Namun sebab
mereka sangat menyayangi anaknya, dan tidak ingin melihatnya berada dalam
kesalahan. Jika logika ini dapat kita terima, maka tentu kita pun bisa
memahami, mengapa Allah melarang kita berbuat maksiat? Mengapa Allah menurunkan
berbagai macam larangan yang sekilas nampak membuat hidup ini susah dan ribet
untuk dijalani. Dengarkanlah, Allah paling tahu, bahwa perbuatan buruk hanya
akan membuat hidup kita sempit, bahkan membawa hal-hal buruk itu hanya akan
kita sesali di hari akhir nanti. Apakah kita menyangka bahwa kita akan hidup
selamanya? Ataukah kita kita bahwa setelah kematian tidak akan ada pertanggung
jawaban atas setiap perbuatan?
“Dan
barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya
penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam
keadaan buta." (QS. Thaha [20]: 124)
Semoga kita tidak menjadi
orang-orang yang terburu-buru untuk membantah perintahNya. Semoga kita
terhindar dari sifat sombong, menolak kebenaran dan meremehkan orang lain,
hanya sebab sedikit kedudukan dan gelar yang menyemat pada nama kita. Semoga
kita termasuk dalam barisan orang-orang yang beruntung, yang memandang segala
aturanNya sebagai sesuatu yang begitu indah. Sebab, kita sedang berhadapan
dengan kasih sayangNya.
“Sesungguhnya jawaban oran-orang mukmin, bila
mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di
antara mereka ialah ucapan. "Kami mendengar, dan kami patuh." Dan
mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Nur [24]:51)
A
note to my self. Dituliskan berdasarkan
ceramah singkat Ustadz Muhammad Nuzul Dzikry. “Melebihi Cinta Ibu kepada
Anaknya” di Yufid.TV
Makassar, 12 Rabiul Awwal 1435 H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)