Ting nong!
Ting nong!
Bel berbunyi. Fajar merekah.
Membuka pintu kamar dengan mata yang masih segaris. Menyusuri tangga. Sedikit
mempercepat langkah. Membuka pintu kamar yang lainnya. Menyalakan lampu.
Membuka resleting kelambu. Menuntun ke kamar mandi. Bersiap untuk membantu
mandi dan menyiapkan tempat shalat. Menuntun lagi, lalu memastikan mukenah dan
sarung terpakaikan dengan rapi. Menutup semua aurat yang harus tertutup.
Selesai. Kembali ke kamar sendiri, berwudhu, lalu shalat pula.
Matahari, pelan-pelan mulai
memancarkan sinarnya. Hangat, menembus kisi-kisi jendela. Membersamai setiap
langkah yang menderap ke tempat tujuan mereka masing-masing, pagi itu. Ia sudah
di sana. Diantara rak-rak berisi pil-pil dan tablet dalam kemasan. Belum nampak
siapapun. Sepertinya masih terlalu pagi untuk melayani. Tidak ada salahnya memulai
hari dengan menyapu lantai dan membersihkan debu-debu di rak-rak. Mengepel?
Bukan pilihan yang buruk. Dalam hidup ini, banyak hal yang harus segera diselesaikan,
tentu untuk kembali melanjutkan perjalanan.
Perjalanan itu cukup panjang.
Transit di ibukota, untungnya tidak kembali berhenti di kota yang lain. Tiba di
bandar udara. Dari tempat para pesawat datang dan pergi, menuju tempat
kapal-kapal melempar sauh dan berangkat. Manusia dimana-mana. Inikah tempat yang di sebut sebagai Serambi
Makkah itu? Wajah-wajah khas dengan hidung mancung dan alis tebal, kepala-kepala
yang tertutup jilbab. Gadis itu berjingkat-jingkat untuk naik ke kapal boat itu.
Menuju pulau tempat titik nol negara itu berada. Menyamankan tempat duduknya,
memperbaiki lipatan jilbabnya.
“Makassar?”, tanya lelaki berkumis tebal itu sambil tersenyum.
Matanya melebar pula. Gadis yang baru pertamakali ditemuinya itu mengangguk
sambil tersenyum. Suara ombak yang diterobos badan kapal mulai terdengar
berisik. “Makassar! Saudara jauh! Saudara
jauh!”, ujar lelaki berkumis tebal, kini ia tertawa. Seolah bertemu dengan
kerabat yang lama tidak berjumpa.
Kapal menyandar. Menghamparkan
pemandangan pelabuhan sebelah. Wajah-wajah lelah, adapula yang sumringah. Pulau
ini. Akhirnya ia tiba.
“Salak Sabang? Salak Sabangnya, Dik?”, seorang bapak menenteng
kerangjang penuh salak. Membetulkan letak kacamatanya, gadis itu kembali
tersenyum. Ia sudah sampai.
Pulau ini tak tampak terlalu
ramai. Tidak juga mewah. Rumah-rumah dan pekarangannya nampak sederhana saja.
Di beberapa titik memang terlihat beberapa penginapan-penginapan tempat para
wisatawan melepas lelah untuk kembali berjalan-jalan. Biasanya terletak di
tempat yang lebih tinggi. Menyajikan pemandangan laut biru, bersanding dengan
langitnya. Bapak walikota yang masih nampak sangat muda dan energik, tidak
henti-henti memaparkan tentang kebanggaan pemadangan pantai dan bawah laut
pulau itu. Pasir putih, laut biru dengan gradasi yang sempurna. Langit dengan
warna serupa, dengan awan yang nampak seperti kapas halus, tertata dengan
mengagumkan.
Hingga saat berpisah akan selalu
datang. Ia kembali menumpang pada sebuah kapal boat. Bapak penjual salak itu
kini berimprovisasi. Sebelum kapal benar-benar bertolak dari pulau itu, ia
mencoba peruntungan dengan naik ke kapal dan menjajakan dagangannya. Seolah
seseorang memberi komando, tidak satupun penumpang yang membeli salaknya, tidak
ada sebutirpun yang berhasil terjual. Kapal sebentar lagi berangkat. Ia
berjalan menuju pintu keluar. Tersenyum pada petugas kapal yang membalas
senyumnya dengan bonus lesung pipi. Ingat, tidak ada dagangannya yang terbeli,
tapi lamat-lamat suaranya masih bisa terdengar oleh gadis berkacamata itu. “Alhamdulillah...”, lirih penjual salak
itu sambil melompat meninggalkan kapal.
Tanah yang diberkahi. Mereka menyekatnya bukan dengan apa-apa, tapi dengan syariat yang ditegakkan. Plus, sejarah panjang yang membentang tentang kemuliaan, kemenangan, juga duka dan
trauma yang dikenang pada dinding-dinding monumen. Cerita itu akan selalu
mengikut, tidak ada seorang pun yang akan melupakannya. Cara menceritakannya
saja yang kini mulai berubah. Tidak ada lagi tangis. Ketegaran, mungkin itulah yang muncul kemudian.
“Salah satu sultan paling dihormati di tanah ini, menikah dengan seorang
gadis yang seasal denganmu. Sultan itu, sesuai kata dan tindakan. Bahkan
menghukum sendiri anaknya yang bersalah dengan syariat Islam.”, ujar lelaki
berpeci itu. Ia perantau. Lelaki di sampingnya, yang tetap berkonsentrasi pada
kemudi juga seorang perantau, mengangguk-angguk membenarkan kawannya.
“Di sini tidak ada uang panaik seperti di tempat kita. Mereka lebih
mementingkan mahar, biasanya berupa emas. Biaya pernikahan ditanggung kedua
belah pihak.”, lanjut lelaki berpeci. Hari itu, ia mengenakan jubah merah
tua. Lelaki yang menyetir di sampingnya tersenyum. Ikut bercerita tentang
pengalamannya menikah dengan gadis asli dari tanah itu.
“Semoga selamat sampai tujuan...”, lelaki berpeci itu menuntaskan
bantuannya hingga memastikan semua tetek-bengek penerbangan telah tuntas. Gadis
yang hari itu berjilbab biru tua, membetulkan letak kacamatanya, mengatupkan
kedua telapak tangan di depan dada sambil tersenyum. Senyum perpisahan.
Hawa dingin menyeruak seketika.
Turun dari burung besi, lalu dibawa oleh roda empat menuju sebuah dataran yang
lebih tinggi. Sebuah apel raksasa nampak dikeliling oleh kanak-kanak yang
bermain di taman itu. Apel hijau besar. Dikelilingi hewan-hewan raksasa yang
tersenyum –mereka terbut dari semacam semen, masih di lokasi yang sama. Mobil
itu tidak singgah di sana. Ia segera melaju ke penginapan. Sebuah penginapan
dengan pekarangan yang luas. Pemandangan yang indah. Dan udara sejuk yang
berhembus sesekali. Kata orang di sana, sekarang ini sudah lebih kurang dingin
dibanding dulu. Efek polusi? Global
warming?
Ia membunuh waktu dengan
berkeliling di taman. Duduk-duduk di kursi kayu. Berkeliaran kemana-mana. Hingga seorang ibu berjilbab
dengan nametag yang terkalung di
lehernya, menyapanya.
“Sampeyan ini siapa?”, tanya ibu itu. Sedikit mendelik, ada
kecurigaan pada nada bicaranya. Gadis itu mengusahakan senyuman; sebuah awal
yang baik untuk memulai penjelasan apapun, menurutnya.
“Kita seharusnya memulai perkembangan ilmu itu dari sini!,” lelaki
bertubuh tambun namun kharismatik itu menyelesaikan penjelasannya. Telah tuntas
ia memaparkan tentang ulul albab,
sesuatu yang mendasari gerak dan tindakannya. Tidak ada yang mengantuk. Tidak
ada yang bosan. Semua orang terkesima jika tidak disebut terhipnotis. Seolah
sesegera mungkin menyusun rencana-rencana pembaharuan di tempatnya
masing-masing. Hawa semangat berhamburan di udara.
Tidak banyak yang ia eksplorasi
di kota dengan penduduk berbahasa halus itu. Dengan medhok yang khas dan seolah tidak bisa ketinggalan dari tiap ucapan
mereka. Tapi, sepertinya ada keterkaitan yang saling berhubungan, antara suhu
udara, cara bercakap, dan iklim belajar di sana. Ia menatap kantong kertas
berisi oleh-oleh yang dijinjingnya. Memastikan bahwa keripik dari beraneka buah
tidak alpa dari sana, juga oleh-oleh buku yang dibagi-bagikan oleh bapak
kharismatik tadi. Ia akan menyusuri langit lagi; terbang.
Setiap pendaratan akan membawa
kesan yang melegakan. Bahkan meski tersisa gendang telinga yang seolah menebal
akibat perbedaan tekanan udara. Gadis itu menyusuri bandar udara yang nampak
cantik itu. Kesana kemari, naik turun eskalator. Hingga tiba di gerbang
kedatangan. Lalu langsung mendapati seorang ibu berbadan tinggi dengan kulit
putih dan senyum manis. Kacamata bergagang tipis menumpang di atas hidungnya
yang mancung. Menjabat tangannya, menyapanya dengan aksen melayu yang khas.
Bajunya juga seirama, melayu sekali.
“Ibu tak ikut?”, tanya ibu berkacamata saat mobil yang mereka
kendarai mulai melaju. Perbincangan pun bergulir. “Saya dulu berobat di sana. Alhamdulillah Allah memberi kesembuhan”, ujarnya kemudian, lalu ia bertukar nomor ponsel dengan gadis di
sampingnya, gadis itu berusaha menghilangkan raut lelah dari wajahnya.
Menanggapi setiap informasi seantusias mungkin.
Lancang kuning menghias dimana-mana. Terutama pada bangunan-bangunan
publik yang berdiri kokoh, sepanjang jalan raya yang nampak teratur dan tidak
begitu sesak. Hotel yang berdiri megah itu pun tidak ketinggalan. Meski
semuanya nampak modern, namun petugas yang berlalu lalang tidak ketinggalan
dengan busana melayunya. Lengkap dengan ramah tamah yang tidak akan tertinggal. Ia ditempatkan di tingkat yang cukup tinggi untuk menangkap sepotong pemandangan kota itu dari atas.
Tidak banyak pula tempat yang
sempat gadis itu kunjungi di sana. Hanya saja, pada tempat-tempat umum,
terutama wilayah-wilayah sarat aroma pendidikan, para ibu-ibu selalu nampak
anggun dengan baju kurung dan bawahan dan jilbab yang senada. Meski mungkin
menggunakan stelan dengan celana panjang akan terlihat lebih lincah dan tetap
formal, tidak ada diantara mereka yang memilih menggunakannya. Mungkin, mereka
sedang mencontohkan, kepada para anak didik yang juga mengenakan pakaian yang
sama.
Dan setiap kedatangan akan
diikuti dengan kepergian. Perpisahan adalah kawan karib dari setiap perjumpaan
yang akan datang bergiliran, tanpa perlu saling mempermasalahkan, apalagi
saling bertengkar. Ibu berbadan semampai dan berkacamata itu telah berjanji
akan mengirimkannya informasi tentang tempat pengobatan itu. Janji yang kelak
akan ia tunaikan begitu gadis itu tiba kembali ke tanah kelahirannya.
“Terima kasih ya, Dik, Kapan-kapan datanglah lagi ke sini...”,
ucapnya sebagai salam perpisahan.
“Saya yang harus berterima kasih, Bu.”, gadis itu menjabat tangan
ibu berkacamata. Entah kapan mereka akan bertemu lagi.
Memandang langit dari ketinggian
yang lebih. Tetap terlihat biru. Awan pun tetap saja putih. Rumah-rumah
berderet dan semakin lama terlihat semakin serupa kotak-kotak kecil. Lama
kelamaan tidak lagi dapat diindrai dengan mata. Hanya tersisa pemandangan biru
saja, semakin lama semakin menua. Malam melahap hari, menggantikan tahta biru dengan kelam di langit. Gadis itu menghembuskan napas. Memastikan seat-belt terpasang dengan sempurna. Mencoba memejamkan mata
sesaat.
Matahari sudah mulai meninggi,
meski belum begitu menyengat sinarnya. Jalanan mulai hiruk pikuk. Kios penjual
aneka makanan di depan sana nampak sudah siap pula menerima pelanggan.
Seseorang memasuki pintu. Disambut dengan senyuman. Lalu tanpa merasa perlu
membalasnya dengan hal yang sama, ia mengeluarkan secarik kertas dengan
coretan-coretan di atasnya.
“Ada?”, ia bertanya.
Lelaki yang menerima kertas itu
mencermati tulisan yang ada di sana. Sejurus kemudian mengangguk dan mengiyakan
pertanyaan tadi. Mengetik sesuatu di komputer di hadapannya, lalu melayangkan
kertas tadi ke meja belakang. Gadis itu menerimanya segera.
“Tolong disiapkan ya..”, ujar lelaki itu sambil mempersilakan
pembelinya menunggu.
Tanpa harus mengatakan apa-apa,
gadis itu mengambil sachet plastik di salah satu laci, lalu mulai mengedarkan
matanya pada tiap rak obat.
“Nak...”, suara lain memanggilnya. Ia tidak sedang berada diantara
rak-rak, tidak pula sedang memegang selembar resep. Ia masih di sana. Tidak
kemana-mana. Baru saja menyelesaikan shalat subuh dan singgah sebentar di depan
layar TV yang memutar tayangan tentang sejarah. Ia sedang menatap derap kaki
kuda di padang pasir.
“Tolong buatkan susu kedelai...”, lanjut suara itu.
“Iya, bu..” Ia segera ke dapur, mengambil mug dan sendok. Mulai
membuat susu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)