“Adik-adikmu, Nak.. Mereka pasti kedinginan..”, ucap lelaki itu.
Menirukan kata-kata ibunya. Wanita yang sejak Ramadhan bertahun yang lalu tidak
bisa lagi ia lihat wajahnya. Wanita yang namanya berarti yang dirindukan. Wanita bersaudara kembar yang kerap membuatnya bingung
saat sepulang dari sungai, kerap tertukar.
Angin senja berhembus
sepoi-sepoi. Memainkan anak rambutnya yang makin menipis dan memutih.
Janggutnya yang ikut kelabu juga turut bergerak tiap ia bicara. Bergetar sedikit
sebab bibirnya bergetar pula mengenang dan mengucap kalimat itu. Pandangannya
mengarah ke sebuah kaligrafi kayu yang tertempel di dinding. Tapi pikirannya
menjelajah masa lampau, tentang ibunda, dan tiga adik terbungsu keluarga mereka
yang tidak sempat ia lihat bertumbuh dewasa.
Di hadapannya, telah duduk anak
perempuannya. Betapa gadis kecil bertubuh gempal dan berpipi tembam itu kini telah
menjadi seorang wanita dewasa. Wajah anaknya yang satu itu, menjiplak wajahnya
dengan sangat baik, dalam versi wanita. Anak perempuan sulung yang sangat
mengerti kapan ia marah. Bukan saat nada bicara dan volumenya meninggi, itu
normal saja. Tapi justru saat ia memilih diam, berbicara lewat lisan istrinya,
ibu dari anak-anaknya.
Suatu kali, ia melakukannya saat
gadisnya itu masih di bangku SMP. Ia menjemputnya sepulang les, dan mendapati
anaknya itu berjalan beriringan sambil berbincang dengan seorang kawan
lelakinya. Hal biasa, sebenarnya. Anak-anak lain juga melakukan sesuatu yang
sama. Tapi itu cukup membuatnya mendiami sang anak. Di kali yang lain, seorang
kawan lelaki gadis itu begitu intens menelepon ke rumah mereka. Ia pun
tahu, anak lelaki itu memang lebih banyak bergaul dengan anak-anak perempuan di
sekolahnya. Namun, ia tetap merasa tak aman. Terlebih saat anaknya meminta
izin lewat ibunya untuk ke bioskop. Beramai-ramai dengan kawan-kawannya yang mayoritas wanita. Tapi, anak lelaki yang selalu menelepon itupun ada di
sana.
“Pergilah, tapi ikutkan pula pamanmu..”, demikian mandatnya lewat lisan
sang istri. Sekali lagi, ia mendiamkan anaknya. Ke bioskop bersama paman? Lebih baik tak usah! Anak perempuannya
itu cemberut. Anaknya itu, secara fisik kadang dianggap lemah, namun ia tahu
anaknya itu mewarisi perangainya; keras.
“Kalau begitu, tidak usah ke bioskop. Nonton televisi di rumah saja!”
titah sang ayah telah jelas. Si anak hanya dapat berusaha memahami bahwa kedua
orang tuanya harusnya tahu, bahwa film bioskop baru akan diputar di TV saat
kadaluarsa.
Maka demikianlah caranya. Kadang
diamnya justru memberi pengertian yang lebih jelas. Itu ia sebut sebagai sikap.
Dan anak-anaknya kini sudah punya sikapnya masing-masing pula. Mereka,
untungnya tetap punya satu kesamaan; tidak senang membuat pusing kedua
orangtuanya. Maka kali itu, si anak perempuan sulung itu duduk tenang di
hadapannya, menyimaknya bercerita.
“Saat hujan turun di malam hari, nenekmu pasti akan mengucapkan itu...”,
ujarnya. Matanya semakin berkaca. “Ia
mengingat anak-anaknya yang sudah dikubur. Ia khawatir mereka kedinginan saat
hujan turun..”, lanjutnya.
Ya, ini cerita tentang
kehilangan. Kehilangan yang dirasakan seorang wanita tiga kali berturut-turut.
Wanita masa lalu yang tanpa keluh melahirkan berkali-kali. Telah tujuh kali ia
menempuh proses itu sebelumnya. Ketujuh anaknya tumbuh sehat, meski hidup dengan sangat sederhana. Suaminya hanyalah seorang guru bergaji rendah. Meski di masa depan, anaknya memperkenalkan lelaki itu kepada para cucu yang tidak pernah ia temui sebagai ilmuwan. Namun, di kali
yang kedelapan hingga kesepuluh, ujian itu datang. Tiga anaknya yang terakhir
tidak ada yang sempat melewati masa remaja. Saat kehilangan yang pertama, ia masih
bisa tegar. Kehilangan yang kedua mulai membuatnya berguncang. Hingga kehilangan
yang ketiga, ia membutuhkan waktu cukup lama untuk menerima nasibnya.
Kuburan-kuburan mungil itu disusun berderet di areal perkuburan keluarga. Ia
cukup tahu bahwa jasad-jasad kecil itu tidak lagi bernyawa. Namun naluri
keibuannya membuatnya merasa harus tetap melindungi ketiganya. Pada kehilangan
yang ketiga, mungkin itulah yang disebut dengan trauma. Setiap hujan turun,
terlebih di malam hari yang dingin, udara yang menusuk tulang di kampung itu,
ia akan selalu terduduk di depan jendela rumah panggungnya. Menetes-netes air
matanya tak tertahankan. Tiap ada dari anaknya yang menyapa atau sekadar
mengusap punggungnya, maka ia akan mengatakan hal yang sama;
“Adik-adikmu, Nak... Mereka pasti kedinginan,”, ucapnya dengan air
mata berderai-derai dan bibir bergetar. Tatapannya jauh menembus jarak menuju
pusara anak-anaknya.
Tanyakanlah makna cinta pada
seorang ibu. Nampaknya itu benar. Bayangkan saja apa yang telah
dilakukan oleh para perempuan mulia itu. Mereka, meninggalkan sisi manusianya
untuk menghadapi sebuah momentum yang mulia; melahirkan sebuah jiwa.
Bahkan sejak rahimnya dititipkan
makhluk oleh Allah, maka perjuangan itu dimulai pula. Ingin turut merasakannya?
Konon, cobalah mengikatkan dua butir kelapa di bagian perut. Bawa ia
kemana-mana. Berjalan, duduk, tidur, makan, shalat, mandi, kemanapun!
Rasakanlah bahwa sungguh tiada posisi yang nyaman karenanya. Itulah yang
dirasakan seorang wanita dalam menanggung beban kehamilan.
“Melahirkanlah! Maka kalian akan mengerti mengapa seorang anak harus
berbakti pada ibunya!”, demikian kira-kira pesan dari seorang kakak saat
saya menjenguknya sehabis ia melahirkan. Ah, kejadian itu sungguh luar biasa.
Manusia, secara fitrah membenci ketidaknyamanan dan rasa sakit. Namun saat
seorang ibu melahirkan anaknya, ditanggalkannya semua itu jauh-jauh. Mungkin,
ada rasa takut. Namun, demi menatap wajah mungil yang ia kandung
berbulan-bulan; yang menyatu dengan tubuhnya, dengan darahnya, yang ia rasakan
detak jantungnya –maka rasa takut itu bisa ia tampik. Tak peduli meski segala
urat akan terputus atau misalkan perutnya harus dibelah dan ia terus menderita
di waktu-waktu setelahnya. Tidak peduli bahkan meski rasanya ia sudah berada di
penghujung nyawa, senyumnya akan tetap terkembang manakala manusia baru yang ia
lahirkan itu memulai tangisannya yang pertama. Betapa dahsyat cinta bekerja di
sana.
Beberapa waktu yang lalu, saya
mendengar berita tentang berpulangnya seorang senior sefakultas. Saya tidak
mengenalnya. Rasanya, tidak pernah langsung menatap wajahnya. Namun, bahwa
ramai saya dengar cerita tentang kenangan baik perihalnya, saya yakin, ia
seorang yang membuat banyak orang merasa kehilangan. Perempuan baik itu,
meninggal dunia saat proses melahirkan anaknya.
Seperti halnya bahwa meski kita
menjejaki tanah konflik dengan besarnya peluang syahid, maka tetap saja kenyataannya
tidak semudah itu. Tetap saja Allah akan memilih, siapa diantara hambaNya yang
berhak untuk mendapatkan sebaik-baik kesudahan. Bahkan meski kita telah berdiri
di depan moncong senjata kaum kuffar, jika tidak ada kepantasan bagi kita untuk
berpulang di jalan Allah, maka itu pun tidak akan terjadi.
Sama halnya dengan ini. Senior
itu, berkesempatan mendapatkan akhir yang baik, in syaa Allah. Ia pergi saat berada di medan jihadnya. Medan besar
yang bahkan tidak akan sanggup dihadapi oleh lelaki paling kuat sekalipun.
Semoga Allah karuniakan kepada beliau sebaik-baik tempat kembali. Aamiin...
“Mati syahid ada 7 selain yang terbunuh di jalan Allah: Orang yang
mati karena thaun, syahid. Orang yang mati tenggelam, syahid. Orang yang
mati karena ada luka parah di dalam perutnya, syahid. Orang yang mati
sakit perut, syahid. Orang yang mati terbakar, syahid. Orang yang mati
karena tertimpa benda keras, syahid. Dan wanita yang mati, sementara ada
janin dalam kandungannya.” (HR. Abu Daud 3111 dan dishahihkan al-Albani).
Maka tulisan ini adalah tentang
kekaguman saya pada sosok perempuan-perempuan tangguh. Mereka yang jihadnya
setiap waktu. Sungguh beruntung kita,
berada di bawah naungan Islam yang membawa manusia menjadi berperadaban.
Memuliakan wanita dengan pemuliaan yang begitu rupa. Kaum wanita yang tadinya
dipertanyakan kemanusiaannya, yang dikubur hidup-hidup saat masih bayi, yang
diungsikan saat menstruasi, yang ikut dibakar saat suaminya dikremasi, atau
yang diwariskan kepada anak lelaki. Betapa Islam telah menyelamatkan kita,
dengan penyelamatan yang terbaik.
Memberikan kita sebaik-baik
contoh, Rasulullah Shallalahu ‘alahi
wasallam yang begitu memuliakan anak-anak perempuannya, bahkan dihadapan para tamu-tamunya. Lelaki yang begitu
lemah lembut kepada istri-istrinya. Hidup hanya beristrikan Khadijah Radhiyallahu ‘anha bertahun-tahun lamanya, saat
masa itu, di masyarakatnya poligami bukanlah sesuatu yang aneh. Kemudian
membersamai istri-istrinya dengan seadil-adilnya cara, sambil terus mengenang
Khadijah sebagai wanita yang paling terbaik; membenarkanku saat yang lain tak percaya, memberikan hartanya saat yang
lain menahannya, dan melaluinya lahir anak-anak, saat dari istrinya yang lain
tidak.
Maka ada begitu banyak kriteria
menjadi lelaki yang baik. Jika tidak bisa memenuhi semuanya, pastikan,
setidaknya yang satu itu turut terpenuhi pula; mampu
memuliakan wanita. Hmm.., setuju? Wallahu
a’lam.
Makassar, 20 Agustus 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)