‘Sekiranya mereka yang di luar sana itu tau, seberapa besar keutamaan
yang dijanjikan Allah pada orang yang ada di sini, mereka pasti akan ikut pula
berada di sini.”, ujar seorang ukhti dalam sebuah majelis ilmu.
Pernyataan itu tentu mengikuti
penjelasan dan dalil-dalil tentang keutamaan orang-orang yang mengikuti majelis
ilmu. Pertama kali ikut dahulu, satu dalil yang selalu saya ingat sampai
sekarang dan tetap terasa ‘aha-effect’-nya adalah tentang betapa nama orang-orang
di dalam majelis ilmu akan dicatat malaikat, lalu disebut-sebut oleh Allah
kepada makhluk yang ada di sisinya! Juga tentang malaikat yang bertugas khusus
untuk turut menghadiri majelis ilmu agama, mereka merendahkan sayap-sayapnya,
mereka turut bermajelis pula. Suatu hari
kami mengingati riwayat tersebut saat tiba-tiba, -mungkin dari sarang burung di
atap mushala yang rusak, jatuh perlahan dengan menjuntai dimainkan semilir
angin, semacam sehelai bulu unggas ditengah-tengah majelis yang sedang
berlangsung.
“Barangsiapa yang menempuh
suatu perjalanan dalam rangka untuk menuntut ilmu maka Allah akan mudahkan
baginya jalan ke surga. Tidaklah berkumpul suatu kaum di salah satu masjid
diantara masjid-masjid Allah, mereka membaca Kitabullah serta saling
mempelajarinya kecuali akan turun kepada mereka ketenangan dan rahmat
serta diliputi oleh para malaikat. Allah menyebut-nyebut mereka dihadapan para
malaikat.” (HR.Muslim)
Tentang hal itu saja, tentu
jelas, pemahaman tentangnya berkaitan erat dengan perkara-perkara yang tidak
ditangkap oleh akal manusia yang begitu terbatas. Tapi hati kita, dapat
memahaminya dengan baik, dengan lebih mudah.
Dalam beberapa hal yang lain, ini
pun terjadi. Misalnya tentang janji ‘akan dibangunkan rumah di syurga’, untuk
orang-orang yang istiqamah tegakkan shalat sunnah rawatib yang 12 raka’at itu.
Atau tentang ‘sesuatu yang lebih baik dari dunia dan seisinya’ tentang shalat
sunnah fajar. Secara logika kita (yang sekali lagi, terbatas ini), mengapa ‘hanya
dengan’ rukuk dan sujud saja, kita bisa mendapatkan balasan yang begitu rupa?
Dan sekali lagi, hati kita akan lebih jago untuk menjawabnya.
“Siapa yang selalu shalat 12
rakaat setiap hari dan malam, maka dibangunkan baginya rumah di surga. yakni
empat rakaat sebelum shalat zuhur dan dua rakaat setelahnya, 2 rakaat setelah
shalat maghrib, 2 rakaat setelah shalat isya dan dua rakaat sebelum shalat subuh.”
(HR an-nasaa’i dan dishahihkan al-Albani dalam Shahih al-Jaami’ no. 6183)
Maka ini masalah keyakinan.
Sebab terkadang, ada hal-hal yang
dapat lebih dahulu diterima oleh nurani kita yang lurus, dibandingkan oleh
logika kita, secerdas apapun ia.
Kita tentu ingat tentang
peristiwa yang membuat tersematlah gelar ‘Ash Shiddiq’ di belakang nama Abu
Bakar Radhiyallahu ‘anhu. Ya, saat beredar kabar tentang Isra’ dan Mi’raj-nya
Sang Rasul. Sesuatu yang terdengar begitu tidak sesuai dengan logika manusia.
Perjalanan dalam semalam menuju Masjidil Aqsha, lalu membumbung ke Sidratul
Muntaha. Namun, Abu Bakar langsung membenarkannya!
"Demi Allah, jika benar ia mengatakannya, maka ia benar. Apa yang
membuat kalian heran? Demi Allah, sesungguhnya ia memberitahukan kepadaku bahwa
wahyu telah turun kepadanya dari langit ke bumi saat malam atau siang hari. Ini
lebih besar dari masalah yang membuat kalian terheran itu!" sahut
lelaki mulia itu, tegas.
Itulah keyakinan!
Maka hari ini, mungkin kita telah
membaca begitu banyak teks, mengetahui begitu banyak hal, melihat dan
menyaksikan begitu banyak kejadian, namun mengapa tetap ada rasa malas atau
bahkan mungkin meragu saat kita hendak berkebaikan? Hmm..., mungkin salah
satunya karena keyakinan kita yang belum benar-benar tertancap dengan kuat. Segala
janji dan ganjaran pahala yang telah dikabarkan dengan shahih itu mungkin belum
kita ketahui, belum kita maknai, belum kita yakini.
Seberapa yakinnya kita pada
sesuatu akan tercermin dari seberapa ‘niat’nya kita menyiapkannya. Maka, jika
kita dapati diri hanya sibuk dengan dunia, maka mungkin kita memang belum
benar-benar yakin akan kekekalan akhirat, sehingga tidak pula menyiapkan bekal
akan kehidupan di sana kelak. Maka benarlah hakikat ilmu syar’i itu, ia
bukanlah apa yang sekadar berada di kitab, tapi yang ada di dalam hati kita.
Jelaslah pula mengapa orang-orang yang berilmu itu adalah mereka yang paling
besar rasa takutnya kepada Allah. Sudahkah kita?
Dan demikian (pula) di antara
manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang
bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di
antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi
Maha Pengampun.” (QS.
Fathir:28)
Makassar, 5 Juni 2013
kali itu pun, yakinlah.. |
Pada saat mengalami perpisahan yang serupa, ingatlah perbedaan perasaan antara yang dulu dan yang kini. Setelah itu, engkau akan dapatkan jawaban, kemana kau harus pulang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)