Di masa single dulu, frase 'mencari imam' sebagai gambaran keinginan untuk menikah sering dijadikan bahan cekikikan oleh sesama jomlowati. Meski pada kenyataannya, setelah menikah, menjadikan suami sebagai imam shalat, bukanlah sesuatu yang bisa selalu dilakukan. Ya, sebab idealnya, suami shalat di masjid, dan istri shalat di rumah.
Tapi, di masa sekarang ini, ada yang berbeda. Saya yakin, di antara kita, banyak yang kemudian mendapatkan kesempatan untuk bisa shalat fardhu lima kali sehari dengan diimami oleh sang suami. Ya, sebab di masa swakarantina seperti sekarang ini, para lelaki pecinta masjid, 'terpaksa' untuk shalat di rumah, dalam rangka menaati anjuran para ulama dan umara.
Gimana rasanya buibu?
Saya pribadi, terus terang merasa campur aduk. Masa ini tiba, masa di mana kita tidak lagi sebebas merpati untuk bisa keluar dari rumah kita sendiri. Sebagai seseorang yang tidak punya aktivitas rutin di luar rumah, pun tidak menjadikan jalan-jalan dan nongkrong cantik sebagai kebutuhan, bagaimanapun, kondisi ini tetap bukanlah yang saya inginkan. Bangun tidur dengan menatap jendela, bertanya-tanya apakah hari ini akan ada lagi korban yang akan bertambah di luar sana. Bertemu orang lain dengan menjaga jarak, khawatir jangan sampai ada virus yang ia bawa. Memikirkan betapa jerih payah para petugas kesehatan, dan adakah mereka akan tetap kuat hingga akhir perjuangan.
Sebab nyatanya, corona tidak mengenal menteri atau para pekerja harian. Corona tidak mengenal artis, atau fansnya. Corona tidak mengenal dokter atau pasiennya. Corona, hanyalah makhluk dengan ukuran yang berkali lipat lebih kecil dari manusia, tapi ternyata Allah mampukan untuk mengguncang dunia.
Berbagai macam himbauan telah disampaikan untuk penanggulangan keadaan ini. Setiap hari, kasus terus bertambah, tapi sayangnya, tidak dengan kesadaran kita.
Hati saya bergidik saat mendengar kabar bahwa di berbagai tempat masih banyak orang yang dengan santai keluar rumah tanpa kepentingan. Ada yang menyepelekan keadaan dengan fakta bahwa daerahnya belum-zona-merah. Ada yang menganggap corona hanya ditakuti oleh mereka yang lemah iman dan hampa tawakkal.
Hingga kini saya sampai pada titik di mana, rasanya hanya ingin menyelamatkan diri dan keluarga sendiri. Kami punya pilihan untuk tetap tinggal di rumah dan itu yang kami lakukan. Hingga lelah kita mengkritiki kebijakan pemerintah, atau menyumpah serapahi mereka yang masih bebal untuk tak mendengarkan arahan, nyatanya tidak membawa apa-apa. Pada akhirnya, upaya kita adalah tetap tinggal di rumah sembari terus berdoa di atas sajadah, semoga pendemi ini segera berlalu saja.
Hingga kini saya sampai pada titik di mana, rasanya hanya ingin menyelamatkan diri dan keluarga sendiri. Khawatir jangan sampai keadaan akan sampai pada fase seleksi alam. Jangan sampai akhirnya tenaga medis harus memilih pasien mana yang harus mereka selamatkan. Entah kapan kita akan sadar bahwa angka pasien yang tumbang itu adalah tentang satu nyawa yang sangat berharga. Apakah karena mereka bukan orang yang kita kenal? Ataukah karena mereka bukan diri kita sendiri? Haruskah kita sampai di titik itu untuk kemudian tersadar?
Hingga kini saya sampai pada titik di mana, rasanya hanya ingin menyelamatkan diri dan keluarga sendiri. Ya, bahkan di dalam rumahpun, jika ajal telah ditakdirkan, maka kita akan mati juga. Tapi bukankah tawakkal adalah selepas mengikat tali kekang unta? Ada ikhtiar dahulu yang harus dilakukan. Anjurannya sejatinya sangat ringan. Tinggal di rumah, makan bergizi, istirahat yang cukup, rajin cuci tangan. Apa yang lebih mudah dari itu? Mungkin yang berat hanyalah menghalau rasa bosan. Yang berat hanya merasa cukup dengan apa yang bisa kita nikmati di dalam rumah. Rasa bosan yang bisa membuat masa swakarantina ini justru bakal lebih panjang jika kita masih menyepelekan segala anjuran itu.
Hingga kini saya sampai pada titik di mana, rasanya hanya ingin menyelamatkan diri dan keluarga sendiri. Harapan saya, sesimpel saya ingin melihat kembali suami saya bisa bebas berjamaah di masjid. Sesimpel saya ingin kakak saya yang dirantau bisa mudik untuk bersama merayakan lebaran. Sesimpel saya ingin menikmati bulan puasa dengan normal, dengan kemeriahan jama'ah tarawih dan suara para penceramah di masjid-masjid yang ramai. Sesimpel saya ingin kembali bisa menghirup udara luar dengan tenang, bertemu orang lain dengan tenang, dan berjalan ke manapun dengan tenang.
Corona mungkin memang ingin kita menyingkir sejenak dari keramaian. Berteman dengan diri kita sendiri. Terpekur di atas sajadah dan merenungi segala keterbatasan kita sebagai hamba. Corona mungkin ingin kita jeda sejenak dalam hening. Pada hal-hal yang kemarin selalu kita anggap penting. Kita menyaksikannya menumbangkan raksasa China, kecanggihan Italia, bahkan meneror adidaya Amerika. Tapi tak secuil pun hadir di Gaza, membuat kita sadar, sebab dari dulu saudara-saudara kita di sana telah diisolasi oleh dunia, saat kini kita diisolasi oleh virus yang begitu mungilnya.
Hingga kini saya sampai pada titik di mana, rasanya hanya ingin menyelamatkan diri dan keluarga sendiri. Dan saya berharap kamu minimal juga punya pikiran yang sama. Dan akhirnya kita semua memikirkan hal yang serupa. Kemudian masa-masa berat ini akan berlalu, biidznillah...
*teriring doa, semoga mereka yang tetap harus keluar rumah berjuang untuk keluarga, senantiasa dilindungi dan disehatkan oleh Allah...
para lelaki pecinta masjid tapi karena ada uzur syari wabah tidak masalah :D
BalasHapus