Guru-Guru
Kecil
Bulan Ramadan telah tiba.
Bulan di mana hati dilembutkan untuk menerima kebenaran dan setiap jiwa seolah
lebih terbuka untuk memperbaiki kesalahan. Semua orang berbenah. Semua pihak
berbenah. Banyak orang yang menjadikan Ramadan sebagai momentum untuk menjadi
lebih baik, menjadi titik balik untuk meninggalkan hal-hal yang buruk, baik itu
berlaku secara permanen, ataupun yang hanya temporer. Hal tersebut pun tidak
luput dari stasiun TV. Wajah TV di Ramadan setidaknya menjadi sedikit lebih
teduh dari hiruk pikuknya di luar Ramadan. Program-programnya kental dengan
nuansa islami, bahkan para pelakonnya juga menjadi terlihat lebih sopan dalam
mempresentasikan diri. Sebagiannya sih begitu...
Salah satu program TV yang
saya tunggu-tunggu kehadirannya di bulan Ramadan adalah acara Hafidz Qur’an di
Trans 7. Setahu saya, tahun sebelumnya, acara bernuansa sama sempat disiarkan
oleh RCTI. Awalnya saya hanya tidak tahu bahwa ternyata tahun ini kedua TV
tersebut memang menayangkan acara hafidz anak-anak di waktu siar yang
bersamaan.
Beberapa kawan saya bergiat
sebagai pengajar di beberapa sekolah Islam terpadu di kota kami. Jelang Ramadan
kemarin, mereka sering bercakap perihal anak-anak didiknya yang diikutkan dalam
lomba berskala nasional tersebut. Saya pun turut menyimak topik itu dengan begitu
excited. Saya ikut mendengar cerita
tentang keseruan di arena audisi yang penuh dengan kejadian menarik. Namanya
juga anak-anak, berbagai macam tingkah polah mereka menjadi begitu menyenangkan
untuk diikuti. Apalagi anak-anak shaleh yang dengan suara cadelnya begitu fasih
melantunkan ayat-ayat al Qur’an; super
cute, Masya Allah! (^_^)
Ada cerita tentang anak
yang sudah begitu mantap dengan hapalannya, namun saat naik ke panggung audisi
malah hanya terdiam bahkan menangis karena grogi. Ada juga yang demam panggung
luar biasa hingga tidak seayat pun yang bisa ia tampilkan di hadapan juri.
Namun, tidak sedikit pula yang sudah lebih bisa menguasai diri dan menunjukkan
performanya yang terbaik.
Satu hal yang bikin saya
greget dengan acara hafidz anak-anak itu adalah masalah jam tayangnya. Pertama,
dua program keren ini hadir di waktu yang bersamaan, dan itu lumayan bikin
galau. Akibatnya, kerjaan saya adalah bolak-balik channel TV antara Trans 7 dan
RCTI sehingga tentunya tidak bisa menikmati keduanya secara full. Kedua, untuk
wilayah Indonesia tengah, di tengah-tengah waktu tampilnya anak-anak shaleh
tersebut berada di jam saat masjid mengumandangkan shalat Ashar. Yah, harus
tetap shalat dengan konsentrasi dong ya... Tapi yah, begitulah..jadinya pun
tentu ada saja bagian yang terlewatkan. Ketiga, saya sering kesorean ‘terjun ke
dapur’ untuk menyiapkan buka puasa karena ingin menunggui kedua acara ini
sampai tuntas. *sigh*
Sebegitu menariknyakah
acara ini?
Baiklah, kuberi tahu
kepadamu, kawan. Jika kamu belum pernah menyaksikan Hafidz Qur’an dan Hafidz
Indonesia, cobalah sesekali menontonnya. Jika tak sempat, search-lah videonya
di Youtube. Lalu, dapatilah hati dan matamu gerimis dibuatnya. Lantunan
ayat-ayat suci yang dibacakan oleh lisan-lisan yang terjaga itu, dihantarkan
oleh hati-hati yang bersih itu, niscaya akan sampai kepadamu, mungkin plus
dengan perasaan malu jika membandingkan umurmu dengan umur mereka. Setidaknya,
itu yang saya rasakan. Dan belakangan, saya mendapati, bahwa kedua acara ini
bukan hanya membawa semangat al Qur’an ke dalam sanubari kita, namun juga
mengajarkan beberapa peri kehidupan lainnya yang sangat patut untuk kita
tafakkuri bersama. Nilai-nilai kebaikan yang terpampang jelas, meski tidak
disampaikan dalam bentuk retorika, bukan pula lewat kata-kata sistematis nan
syahdu dan puitis, tapi langsung oleh sikap dan contoh real yang dilakonkan oleh mereka; para guru-guru kecil.
1.
Musa; Mujahadah dan Ikhtiar atas al Qur’an
Saya tidak menyaksikan langsung penampilan Musa di TV, tapi jadi begitu
penasaran dnegan testimoni beberapa orang di sosmed, hingga saya menelusuri
videonya di Youtube. Anak lelaki itu bahkan belum berusia lima tahun, namun
saya yakin, ia telah sukses membuat setiap mata yang menyaksikan aksinya di
panggung Hafidz Indonesia hari itu menjadi tercengang. Secara fisik, ia biasa
saja. Persis seperti anak seusianya dengan jejeran gigi susu yang beberapa
nampak sedang tanggal, dan tingkah polos yang jauh dari pencitraan. Hal ini
pulalah yang ‘menipu’ para penonton yang seketika tersenyum, bahkan tertawa tidak
percaya saat ia ditanya tentang jumlah juz al Qur’an yang sudah ia hapalkan. Ah, anak ini mungkin sedang bercanda...
“Dua puluh sembilan juz...,”
ucapnya saat ditanya tentang jumlah hapalan al Qurannya. Dan saat jawabannya
itu diklarifikasi kepada ayahnya yang turut hadir, sang ayah membenarkannya.
Dan, barulah para penonton terdiam, dan saya yakin sebagian dari mereka masih
tidak percaya.
Maka, diujicobalah hapalan Musa oleh para juri dan beberapa penonton yang
memintanya membaca sambungan ayat yang mereka lafalkan. Dua bagian dari surah
al Baqarah, surah ar Rahman, serta surah Muhammad, dapat dijajal Musa dengan
sambungan ayat yang tidak meleset sedikit pun!
Musa bahkan masih sementara ‘meladeni’ tantangan sambung ayat dari seorang
penonton saat salah seorang juri yang merupakan doktor ilmu tafsir al Qur’an
nampak sudah mulai mengucurkan air matanya. Beberapa ibu pun terlihat tidak
kuasa menahan haru dan sibuk mengusap air mata mereka dengan ujung-ujung
jilbab.
Selanjutnya, part yang begitu menggetarkan ini bertambah luar biasa saat
Dr. Amir Faisal Fath yang sedari tadi menangis mendengar bacaan al Qur’an Musa
serta merta naik ke panggung dan mencium punggung tangan bocah itu dengan
takzim. Sebuah penghormatan terhadap ilmu dan bukti nyata betapa Allah memang
telah memudahkan perkataan-Nya untuk dihapalkan oleh manusia.
Musa adalah peserta lomba tahfidz Qur’an internasional yang diadakan di
Makkah al Mukarramah dan pada hasil akhirnya menempatkan dirinya pada posisi
keduabelas diantara dua puluh lima penghapal al Qur’an cilik dari berbagai
negara di seluruh belahan dunia, dengan nilai 90,83 dan dengan fakta bahwa dia
adalah peserta termuda di ajang internasional tersebut. Masya Allah...
Belakangan, beredar ‘rahasia’ perihal kemampuan Musa yang luar biasa
tersebut. Dari sana kita belajar, bahwa segala hasil yang nampak seperti
keajaiban memang memiliki cerita tentang mujahadah dan ikhtiar luar biasa di
baliknya. Dan, ini tidak lepas dari peran kedua orang tua Musa yang secara
konsisten menjalankan program harian di rumah mereka serta menjaga anak-anaknya
dari hal-hal yang tidak bermanfaat dan merusak.
Saban hari, Musa dibangunkan oleh ayahnya pada pukul tiga pagi untuk
menghapalkan Qur’an hingga subuh, terjeda shalat, lalu dilanjut lagi hingga
pagi tiba. Belum lagi jadwal muraja’ah yang juga dilakukannya dengan istiqamah,
dan didukung oleh pembawaan Musa yang dengan begitu mudahnya manut dengan
program dan time schedule yang dibuat
oleh ayahnya. Tak heran, jika di usia yang begitu belia, jumlah hapalan Musa
sudah demikian mencengangkan, dengan kemampuan menghapal dan daya ingat yang
juga luar biasa.
Maka, jika kita menjadi malu dan bertanya-tanya ke dalam diri; “Anak sekecil itu, kok bisa yah...?”
Cukup kita bandingkan saja ikhtiar dan mujahadah yang dilakukan oleh Musa
sekeluarga dengan apa yang sudah kita usahakan. Dari sana akan kita temukan
jawaban dari pertanyaan yang selanjutnya mungkin akan ikut terbersit; “Kok saya masih gini-gini aja?” *nangis
di depan cermin T_T*
2.
Nawala; Cahaya dari Hati
Bocah kecil berkulit putih bersih dari Tanah Rencong itu bahkan belum
membaca satu penggal ayat pun, namun mata saya sudah sukses berkaca-kaca. Saya
baru memperhatikan gelagatnya yang nampaknya memang tidak seperti para peserta
lainnya. Tapi, fakta bahwa Nawala dapat sampai ke panggung Hafidz Qur’an,
adalah bukti bahwa satu kekurangan justru bisa menjadi kekuatan besar yang
menginspirasi banyak orang. Nawala ditakdirkan oleh Allah memiliki penglihatan
yang istimewa, tidak seperti anak lainnya. Low-vision,
ketidakmampuan untuk menangkap objek saat cahaya tidak memadai. Hal yang sama
juga dialami oleh ayah Nawala, seseorang yang justru menjadi partner belajar al
Qur’an bersama anaknya itu. (Ini alasan
mengapa Ustadz Yusuf Mansur hingga menitikkan air mata dan ‘menegur’ para ayah
berfisik sempurna yang lalai mengajar al Qur’an kepada anaknya *ikut nangis
bombay*)
Maka, Nawala tidak perlu melafadzkan ayat-ayat menohok dari QS. ar Rahman,
namun kita seolah bisa menyaksikan ayat itu terhampar saat menatap guru kecil
kita itu. Fabiayyi ‘aalaa’i rabbi kuma
tukadzdzibaan... maka nikmat Tuhanmu yang mana lagi yang akan kamu
dustakan?
Beberapa anak di ajang tersebut mungkin memang punya hapalan yang lebih banyak
dan lebih kuat dari Nawala. Tapi buktinya, Nawala tetap bisa melakukan hal yang
sama seperti para penghapal cilik itu, dalam kondisi fisik yang mungkin bagi
kita akan menjadi satu alasan memadai untuk tidak bersungguh-sungguh membaca,
apalagi menghapalkan ayat Allah. Sesuatu yang seharusnya bisa membuat kita
terketuk, dan sekali lagi; malu.
Saya jadi mengingat sebuat video yang juga menguras air mata, berisi
wawancara seorang pemuda Arab yang masih belia, seorang kanak-kanak penghapal
Qur’an yang juga seorang tunanetra. Dalam kesempatan itu ia menyatakan, bahwa
ia tidak pernah meminta kepada Allah untuk mengembalikan penglihatannya. Ya,
tidak pernah. Ia bahkan bersyukur kepada Allah dengan keadaannya tersebut dan
sebab Allah telah merahmatinya dengan al Qur’an. Ia ingin, itu menjadi
hujjahnya di hadapan Allah kelak, serta akan mengurangi adzab yang ditimpakan
kepadanya, sebab ia tidak perlu mempertanggungjawabkan tentang penglihatan yang
tidak pernah ia miliki itu. Ah, bagaimana dengan kita ini? Orang-orang dengan
nikmat berupa penglihatan yang sempurna, namun jangankan menghapal, kerap kali
masih malas pula untuk sekadar tilawah dan mempelajari cara membaca al Qur’an
dengan benar. Maka izinkan saya mengutip perkataan Syaikh Fahad yang
mewawancarai anak tersebut. Pertanyaan yang patutnya saya tanyakan pada diri
sendiri; ‘Apa yang akan menjadi alasan
kita di hadapan Allah di hari kiamat kelak?’ T_T
Maka benarlah, mungkin memang bukan mata ini yang buta, tapi hati ini...
3.
Febry; Bukti Hidayah dan Istiqamah Ibunda
Anak itu nampak begitu gagah dengan senyuman menawan dan lantunan al Qur’an
serta hapalan yang baik. Tidak ada beban yang terlihat di wajahnya saat ia
harus menunjukkan kemampuan hapalannya di depan banyak orang; kemampuan yang
sudah pasti ia raih atas rahmat dari Allah, lalu dari ikhtiar dan semangat
pantang menyerah, serta tentu dukungan dari orangtuanya.
Febry nama anak itu, sepertinya sama saja dengan para peserta Hafidz
Indonesia lainnya. Usianya juga tidak pula terlampau muda. Namun, ada satu hal
yang dibeberkan oleh juri selepas ia menunjukkan hapalannya hari itu. Febry, lahir
dari rahim ibunda yang merupakan seorang muallaf.
Ya, sang ibu tidak dilahirkan dalam keadaan Islam. Agamanya saat ini
bukanlah warisan orangtuanya seperti kebanyakan dari kita. Wanita itu pernah
hidup dengan keyakinan agama lain, hingga kemudian ia sendiri yang menemukan
cahaya Islam ini atas hidayah dari Allah.
Meski awal-awal masuknya ia dalam Islam ia merasakan ketenangan, namun
tidak dapat pula ia pungkiri bahwa itu adalah masa yang berat. Menjalani
kehidupan beragama yang baru, dengan rangkaian ibadah yang tentu harus ia
pelajari dari nol, adalah sesuatu yang mau tidak mau harus ia hadapi pasca
bersyahadat.
Namun, lihatlah dia wahai para wanita yang telah menjadi muslimah begitu
keluar dari rahim ibunya! Lihatlah bagaimana ia yang tidak lahir dengan Islam
justru mampu melahirkan dan mendidik seorang anak yang begitu baik akhlaknya,
hanif jiwanya, dan bersemangat dengan al Qur’an. Maka, benarlah bahwa hidayah
itu adalah hak Allah. Tidak pantas bagi kita menganggap orang lain lebih
rendah, sebab kita tidak pernah tahu kepada siapa Allah akan tunjukkan hidayah.
Kita tidak patut memandang remeh mereka yang nampak tertatih untuk
menjalankan perintah agama ini, sebab bisa jadi justru ia yang kelak akan melejit
dengan ikhtiar dan keistiqamahannya. Dan, panggung hafidz Indonesia menunjukkan
itu kepada kita, lewat Febry dan lewat ibundanya yang begitu luar biasa. Masya
Allah!
4.
Naila; Akhlak dan Iffah Muslimah Kecil
Kita
Saya tidak menyaksikan penampilan bocah perempuan imut ini sejak awal.
Tahulah, saya baru saya ganti channel dari RCTI ke Trans 7 saat mendapati bahwa
yang sedang berdiri di atas panggung adalah Naila, bersama Sabrina, seorang
kawannya yang membuat saya menganga dengan hapalan QS. Al Qalam yang sempurna.
Namun ada yang manarik selain hapalan al Qur’an Nailah sore itu. Perempuan
kecil itu bermimik datar, bahkan terkesan tegas, meski bagi saya itu bukanlah
bentuk ketegangan. Ia seringkali hanya terus menatap lurus ke penonton, bahkan
meski sedang diajak ngobrol oleh salah seorang host lelaki yang berdiri di
sampingnya. Kesan cuek itu tak pelak membuat si host menjadi bekerja ekstra
untuk menarik perhatian Naila yang hanya menjawab pertanyaannya dengan
celetukan pendek-pendek seperlunya.
“Kak Ali, Naila ini calon
ulama, dia itu menjaga pergaulan dengan lawan jenis.. Makanya jaga pandangan
sama Kak Ali...,” ujar
salah seorang juri sembari membacakan surah An Nur ayat 31. Saya hanya
tersenyum mendengar penyataan itu. Saya menduga bahwa mungkin Naila memang
adalah tipe anak yang tidak mudah akrab dengan orang baru, sehingga ia nampak
cuek bebek begitu. Saya tidak kepikiran bahwa sikapnya itu memang adalah
pengejawantahan dari ayat tersebut.
Dan tebakan saya tadi salah, dan juri itu yang benar. Hal ini tergambar
saat di akhir acara ternyata Naila keduluan oleh dua orang peserta yang dinominasikan
untuk wisuda hari itu (istilah acara ini untuk peserta yang dieliminasi) saat
menyambung ayat dari Ustadz Yusuf Mansur. Meski awalnya para juri sebenarnya
tidak menginginkan ada yang wisuda hari itu, namun kebijakan pihak
penyelenggara tidak memungkinkannya. Maka, Naila sebagai peserta yang tidak
bisa memenangkan tantangan juri, akhirnya diputuskan untuk diwisuda paling awal
dari teman-temannya di grup tersebut.
Host lelaki yang sedang berjongkok di samping Nailah secara spontan
langsung memeluk anak perempuan mungil itu karena sedih jagoannya harus
diwisuda. Saat dipeluk seperti itu, terlihat jelas perubahan ekspresi Naila
yang nampak tidak nyaman, saat pelukan itu terus berlanjut, tanpa merasa segan
Nailah langsung menegur si host lelaki sambil sedikit membelalakkan matanya,
tidak suka.
“Heh!”, serunya. Masya Allah.. Si host langsung
nampak keder sendiri dan melepaskan pelukannya sambil menunjukkan wajah ingin
menangis dan menjelaskan bahwa ia sedih karena Naila akan diwisuda. Kejadian
itu membuat host perempuan mendekatinya dan mengusap punggung Nailah sambil
mengatakan bahwa Naila harus pulang hari itu.
Tidak seperti yang sudah-sudah, di mana peserta-peserta kecil yang diwisuda
biasanya akan menangis layaknya anak-anak pada umumnya, Nailah dengan segala
kesadarannya tentang apa yang sedang terjadi, dan masih dengan eskpresi datar
yang belakangan saya lihat sebagai keanggunan, malah justru sujud syukur di
atas panggung. Saat mengangkat wajahnya dari sujud, tidak ada kesedihan ataupun
kekecewaan. Saya, membaca ketegaran.
Akhwat kecil kita, Naila, telah mengajarkan kepada kita, para perempuan muslimah,
tentang bagaimana ia yang masih begitu belia sudah sangat paham tentang batasan
pergaulan lelaki dan perempuan. Ia, benar-benar menjaga iffah dan izzahnya. Ini
bukan bentuk kesombongan apalagi jika dianggap ia kurang sopan karena menegur
host lelaki yang memeluknya. Namun, itu adalah bukti bagaimana kedua orang
tuanya telah berhasil menanamkan nilai kepada perempuan mungil ini tentang bagaimana
menjaga dirinya sebagai seorang muslimah yang berwibawa.
Akhlak dan izzah yang ditunjukkan secara spontan oleh Naila itu membuat
beberapa juri nampak berkaca-kaca dan tentu menjadi semakin tidak rela melepas
kepergian hafidzah cilik ini. Hingga, alhamdulillah, keputusan diwisudanya
Naila dianulir, dan ia tetap dapat melanjutkan perjuangannya menaklukkan
panggung Hafidz Qur’an. Namun di episode berikutnya, Naila menjadi satu dari
dua orang yang harus diwisuda hari itu. Dan kembali lagi sama seperti hari
sebelumnya, ia nampak sama sekali tidak bersedih dan hanya memasang mimik datar
sambil memeluk hadiah mushaf al Qur’an yang diberikan oleh juri. Naila, walaupun kamu sudah terleliminasi, tapi
kamu keren sekali, Sayang! Barakallahu fiik, Naila (^_^)/
Bersama Ramadan, kedua acara ini juga baru saja memasuki pertengahannya,
dan saya rasa list ini masih akan terus bertambah. Akan semakin banyak
pelajaran yang bisa kita petik dari para guru-guru kecil yang lugu, polos, dan
autentik itu. Saya bersyukur kepada Allah karena di negeri ini masih ada
orang-orang yang mau meng-create
program TV yang begitu baik dan edukatif seperti ini. Saya berdoa semoga wajah
TV yang teduh ini bisa terus bertahan hingga ke luar Ramadan, sehingga kita
bisa meraup inspirasi lebih banyak lagi.
Sebab hidup adalah harapan, maka menyaksikan para hafidz cilik itu mampu
menumbuhkan harapan kita tentang masa depan bangsa ini. Semoga mereka semua
tetap istiqamah, hingga dewasa kelak, hingga husnul khatimah. Seorang ulama mengatakan,
bahwa menghapal seluruh isi al Qur’an bukanlah akhir, namun justru awal dan
dasar kita untuk menyelami dalamnya ilmu ad-dien ini. Maka, semoga adik-adik
kita itu nanti akan tumbuh dan menjadi ulama-ulama besar yang membawa cahaya
kebenaran pada negeri ini, pada bangsa ini. Dan, semoga kita mampu untuk terus
membuka hati dalam menerima ibrah dari para guru kecil kita, menjadi pribadi
yang lebih baik, dan juga bisa menghasilkan keturunan seperti anak-anak
shalih-sholihah yang kita saksikan di layar kaca itu; cinta Qur’an, cerdas
bersama al Qur’an. Aamiin... J
Makassar, 14 Juli 2014
Zionis Israel masih meneruskan agresinya ke jalur Gaza. Terus teriring doa bagi saudara-saudara kita di bumi jihad sana, semoga Allah kuatkan, semoga Allah menangkan. Kami menjadi saksi, mereka adalah para ahlul qur'an! Allahu Akbar!
Zionis Israel masih meneruskan agresinya ke jalur Gaza. Terus teriring doa bagi saudara-saudara kita di bumi jihad sana, semoga Allah kuatkan, semoga Allah menangkan. Kami menjadi saksi, mereka adalah para ahlul qur'an! Allahu Akbar!
perlu tambah satu hafidzah lagi :D
BalasHapusKaisa dari acra Hafidz Qur'an Trans 7 :D
Kaisa? Wah, bgmn kisahnya? :D
BalasHapusAkhir2 ini seringnya fokus ke Hafidz Indonesia karena pesertanya tinggal sedikit :')
Nawala dari Aceh memang beda dan menjadi inspirasi bagi yg normal penglihatannya.
BalasHapus