Aku masih sibuk membuka payung yang dipinjamkan ibu saat kupandang kau
dibawah hujan. Berjalan berjingkat-jingkat menghindari genangan air di bawah
teduh payung transparan yang kau genggam kuat-kuat. Membersamaimu baik dalam
perjumpaan fisik maupun lewat dunia maya, membuatku seringkali berandai-andai;
tentu akan lebih baik, jika dimasanya kini, hadir seseorang yang dapat berdiri tegap
di sampingmu. Kau tau, tentu ini bukan hanya tentang tampilan secara raga, namun
juga jiwa. Jiwa tegap yang mampu tegas dalam kelembutannya. Yang dapat
memberikan keyakinan yang besar padamu. Yang dapat meneguhkanmu pada jalan
cahaya yang kau pilih. Singkatnya, yang dapat berjuang bersama denganmu.
Suatu malam sebuah pesan singkat darimu mendarat dengan sukses di
ponselku. Diawali dengan getaran yang kemudian membuatku tersenyum, demi
mendapati bahwa mungkin memang terkadang mimpi-mimpi dapat menjadi kenyataan
dengan begitu cepat; tanpa kita duga. Lalu kau bertanya, “Sudah bolehkah aku jatuh cinta?”
Dan aku pun tetap menggunakan rasionalitas dalam menanggapi tanyamu.
Maka kau ingat, bagaimana aku berpikir bahwa kedepannya masih banyak hal yang
bisa terjadi, maka tetap lebih aman untuk mengamankan perasaan; apapun itu.
Alih-alih mempersilakanmu, aku malah membuat sajak tentang cahaya merah muda,
untukmu; itu pun jika kau menyadarinya.
Lalu kemudian begitu banyak hal yang terjadi setelahnya, silih
berganti. Aku pun tak tahu mengapa perkiraan-perkiraanku yang dahulu lebih
sering meleset dan terjadi berkebalikan, justu sekarang ini menjadi lebih sering
tepat. Tapi aku selalu berharap akan adanya jalan yang lebih baik setiap kali
kita membicarakan tentang banyak hal itu. Lalu kemudian, tiba-tiba kau kembali
mengabarkan satu hal. Kali ini tidak lagi bertanya atau meminta persetujuan; kau
malah hadir untuk menginformasikan bahwa; “Sepertinya,
aku jatuh cinta,” ujarmu.
Dengarlah, selama ini aku selalu beranggapan; cinta butuh alasan. Maka
cinta kepadaNya dan cinta karenaNya bagiku telah terang benderang; karena alasan ketaatan. Cinta padaNya
yang mengantarkan kita pada keikhlasan,
juga cinta pada RasulNya yang membawa kita untuk menyusuri jalan keteladanan, keduanya adalah syarat mutlak jika kita ingin setiap
amalan kita tercatatkan; ikhlas dan ittiba’urrasul. Pada dua perkara itu, cinta
bekerja.
Bahkan cinta menjadi bagian dari tiga hal yang merupakan pilar ibadah.
Dialah cinta, yang menjadi serupa kepala seekor merpati yang melengkapi kedua
sayapnya yang berupa rasa takut dan harap. Cinta karenaNya pun bagiku menjadi
lebih mudah dipahami. Cinta karena Allah, cinta pada siapapun, kepada apapun
hanya karena alasan iman. Maka jika penyebab cinta itu tiada, maka tiada pula
cinta. Sebuah konsep yang sederhana.
Namun tersebab pengakuanmu itu, aku menjadi berpikir; jangan-jangan
ada yang kulewatkan tentang hal ini? Maka aku balik bertanya padamu; Sebenarnya, apa itu cinta? Hal ini membawaku
untuk memohon penjelasan dari Ibnu Qayyim al Jauziyah lewat Taman Orang Jatuh
Cinta-nya. Dan pencarianku belum selesai. Setidaknya sampai benar-benar
menyelesaikan bacaan itu seutuhnya. Ya, sesuatu yang mungkin akan terjeda,
sebab masih ada beberapa hal lain yang harus kukerjakan. Bulan Ramadhan akan
segera menjelang, bukan?
Maka tentang perasaan ‘cinta’ yang muncul pada lawan jenis itu,
sesuatu yang disebut dengan ‘kilik’, sesuatu yang dianggap bisa datang begitu
saja itu. Maka, diriku sendiri mencoba membuatnya untuk tidak didramatisasi.
Bahwa pada akhirnya, sebelum ada ikatan yang sah di hadapan agama ini, maka
perasaan kita adalah urusan kita sendiri. Dan perasaan orang lain terhadap
kita, juga urusan mereka sendiri. Bagiku, mencintai dan dicintai bukanlah
masalah sebab-akibat. Ia menjadi urusan kita masing-masing dan hanya patut
untuk ditanggung oleh diri kita sendiri. Harus balas mencintai sebab dicintai,
ataupun harus dicintai karena telah mencintai, menurutku saat ini, bukanlah
sesuatu yang mutlak. Cinta bukan barter.
Masa-masa penantian nan menggalaukan, romantisme perasaan, dan hal-hal
merah muda lainnya rasanya telah terlewatkan. Kita kini masuk ke fase
realistis. Bahwa saat ini, di hadapan kita terpampang begitu banyak hal yang
harus dipikirkan dan dilakukan. Maka tidak ada waktu untuk bergalau-ria.
Aku, ingin sekali merasai wujud cinta seperti Umar bin Khattab, yang
begitu mudah mengubah posisi cinta kepada Rasul-Nya yang tadinya berada di
bawah cinta pada dirinya sendiri, menjadi berada di atasnya; dalam sekejap.
Juga cinta Salman al Farisi yang langsung saja turut berbahagia saat wanita
yang ingin ia pinang, justru lebih memilih Abu Dzar al Ghifari yang
menemaninya, bahkan mendanai walimatul 'ursy mereka. Aku masih bertanya; dimana letak ‘perasaan’ disana? Ya,
perasaan yang sangat mungkin justu belum terlalu kita pahami itu. Kau ingat? Kadang
yang paling tidak kita mengerti adalah perasaan kita sendiri.
Aku mencintai orang shaleh meski aku bukan bagian dari mereka, aku
setuju dengan kekata Imam Syafi’i itu. Aku mencintai para saudariku di jalan
Allah, manusia-manusia yang siang-malam memikirkan urusan orang lain itu,
urusan ummat. Aku mencintai adik-adikku di jalan Allah, mereka yang terus berusaha
menjadi lebih baik, yang terus bermetamorfosis menjadi lebih indah itu.
Aku mencintaimu. Sebab agama yang ada padamu. Sebab ketaatanmu
padaNya. Sebab dirimu yang terus berusaha untuk menjadi lebih baik dari waktu
ke waktu. Dan cahaya keemasanmu yang membuat warna hatiku yang biru-kelabu ini,
bisa menjadi lebih cerah dari sebelumnya. Aku mencintaimu. Menginginkan
kebaikan untukmu, sambil berusaha untuk sedikitpun tidak menyakitimu.
Mengusahakan yang terbaik, bahkan lebih yang kuusahakan untuk diriku sendiri. Jadi,
seperti yang telah kuberitahukan padamu, setidaknya mungkin cinta yang seperti
itulah yang saat ini bisa kupahami.
Aku akan terus ada. Aku akan terus menjadi saudarimu selama iman itu
masih ada di dadamu. Aku akan selalu ada, apapun yang terjadi. Maka perkara
kegemaran menulis pun, termasuk menuliskan hal ini, juga merupakan salah satu
caraku agar kau tahu, aku tidak akan kemana-mana, bahkan meski diriku telah
benar-benar tak ada. Kau paham?
Setiap kita punya mimpi-mimpi yang berusaha kita raih. Tapi, tidak
semua dari itu ternyata bisa menjadi kenyataan. Ya, kau benar; hidup tidak
sesempurna itu. Tapi bukankah ajaib, saat kita bisa menjadi begitu bahagia karena kebahagiaan orang lain, dan juga bisa menjadi sangat bersedih jika melihat orang yang kita cintai tersakiti? Maka setelah apa yang terjadi kini, satu hal yang tersisa yang
bisa kulakukan adalah; memastikan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Berjanjilah,
bahwa kau akan baik-baik saja. Deal?
Makassar, 9 Juli 2013
Tulisan terakhir sebelum
memasuki Ramadhan
Ahlan, Ramadhan.
Selamat menikmati ibadah di
bulan penuh berkah (^_^)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)