Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku,
maka (jawablah), bahwa Aku adalah dekat.
maka (jawablah), bahwa Aku adalah dekat.
Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku,
maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku)
dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.
(QS. Al Baqarah, :186)
Televisi rusak. Ada gambar, tidak
ada suara. Begitulah kira-kira cara beberapa orang menganalogikan orang lain
yang tidak begitu gemar berbicara. Manusia sebagai makhluk sosial agaknya
mempersyaratkan komunikasi sebagai satu hal yang mutlak. Dan komunikasi yang
paling jamak adalah dengan bicara.
Banyak orang yang gemar bicara.
Mereka berbicara apa saja. Kadang kecepatan lisannya melebihi kecepatan pikir
otaknya. Berbicara menjadi satu hal yang mudah dan tidak perlu terlalu panjang
pertimbangan. Kemanfaatan? Tidak jadi soal. Ada begitu banyak kata-kata yang
harus diucapkan, sehingga hitung-hitungan manfaat dianggap hanya akan membuat
segalanya menjadi kaku dan sulit saja. Celetuk sana dan celetuk sini adalah hal
yang biasa. Menyakitkan? Itu pun bukan menjadi bahan pikiran. Toh setiap orang
dianggap memiliki hak untung mempergunakan mulutnya.
Banyak orang yang berbicara
dengan begitu menyenangkan. Mungkin, kemampuan berpikirnya layaknya pembalap
F1. Kreatifitas dan wawasannya membuat berbagai macam topik dapat ia rajut dan
rapikan dengan begitu menawan. Duduk dengan siapa saja, kapan saja, dimana
saja, seperti disulap dengan mantra, dan.. aha! Ia langsung dapat membicarakan
banyak hal dan membuat suasana menjadi hingar bingar; terang benderang.
Orang-orang akan betah berlama-lama di dekatnya. Orang-orang akan dapat dengan
mudah merasakan kehangatan dan keakraban dengannya. Lisannya mudah memuji,
gampang bercanda, dan ringan pula bersimpati, apalagi sekadar bertegur sapa,
menanyakan kabar.
Banyak orang yang berbicara
seperti payung, atau daun pisang, atau beranda rumah di saat hujan; meneduhkan.
Bibir itu hanya sesekali saja berucap. Namun, sekali ia mengeluarkan suara,
maka begitu banyak telinga yang siap mendengarkannya. Ah, begitu banyak pula
hati yang dapat dirasuki oleh kesejukannya. Beberapa pasang mata bahkan hingga
berkaca-kaca. Kata-katanya menenangkan. Seperti menghapus noda-noda buram dan
menggantikannya dengan cahaya. Tiada perkataan yang sia-sia. Tiada kata yang
mengalir tanpa makna. Bahkan ada yang bersedia menuliskan, merekam-abadikan
tiap kalimatnya. Mungkin, saat sang pemiliki perkataan telah tiada, tiap
pembicaraannya bisa jadi masih dikenang oleh orang-orang yang pernah
mendengarnya, bahkan meski ia sendiripun tidak pernah benar-benar mengingatnya.
Banyak orang yang berbicara
dengan sayap, mengawang-awang. Indah, namun menyisakan kerutan pada kening.
Atau menyisa prasangka. Atau semacam getaran tak terdefinisi, tak pula pasti.
Entah apa maksud yang seperti ini. Mungkin, ia lebih sedang berbicara pada
dirinya sendiri. Mungkin, ia pun belum teramat yakin dengan yang sedang ia
bicarakan. Namun, ia menikmatinya saja. Mungkin suatu hari semua itu akan
terterjemah, dan saat masa itu datang, ia telah yakin dengan seyakin-yakinnya.
Dan ia akan membicarakannya dengan lebih jelas dan nyata. Maka nikmati saja. Toh, ia tidak sedang berdusta. Perkataan yang dusta, yang bohong
itu adalah yang tidak sesuai dengan kenyataan. Beberapa orang pun melakukan
pembicaraan yang bohong ini. Lalu ia dituduh berbohong, lalu ia membicarakan
kebohongan yang lain untuk menutupi kebohongan sebelumnya. Demikian seterusnya
hingga kebohongannya yang telah berderet seperti kereta api itu, akhirnya
terbongkar. Ada banyak cara sehingga aib terbuka lebar, diketahui oleh begitu
banyak orang. Sebaliknya, saat sebuah kebohongan dipercaya, itu bukan berarti
bahwa kebohongan itu telah berhasil menutupi dirinya, hanya saja, Allah belum
menakdirkannya untuk ketahuan saja.
Diantara itu semua, yang paling
indah adalah berbicara denganNya. Berbicara denganNya secara langsung dan tanpa
perantara adalah momentum yang luar biasa bagi setiap hamba. Beberapa orang
menyepelekannya. Namun yang lain begitu yakin akan kekuatan doa. Begitu banyak
orang yang terhindar dari putus asa atau pun tidak menjadi gila karena
keyakinannya bahwa; sebesar apapun sebuah masalah, meski tidak sanggup
diselesaikan oleh sekuat apapun, sehebat apapun, sebesar apapun, secerdas
apapun seorang manusia, namun masih ada Allah tempat mengadukan segala. Mereka mengadu bukan sebab menyangka Allah tidak tahu. Bukan. Namun, bersama dengan pembicaraan itu ada ketundukan yang setunduk-tunduknya, ada kemesraan yang tidak bisa ditukar dengan apapun juga. Berbicara
denganNya, adalah sebaik-baiknya percakapan. Itu saja yang bisa kita lakukan
kini. Namun, semoga nanti dapat ditambah dengan menatapNya secara langsung
pula, di syurga yang penuh keindahan. Semoga.
Makassar, 22 Mei 2013
bicaralah... |
“Nak, ayo kita lari ke syurga!”, ujar wanita itu kepada anaknya. Sang
anak hanya tertawa, tapi ada bulir bening di ujung matanya. Selalu begitu, mereka tidak harus bicara banyak, untuk bisa saling memahami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)