“Saya benar-benar menginginkannya, ukhti... Bahkan itu menjadi salah
satu doa yang saya panjatkan di depan Ka’bah..” ucap saudari saya yang
manis itu, menceritakan salah satu pengalamannya saat menjalani ibadah umrah.
Siang itu, kami berjumpa di
beranda sebuah masjid, lalu ia bercerita tentang seorang muslimah asal Perancis
yang mengenakan jilbab syar’i yang begitu menarik perhatiannya. Muslimah
Perancis itu sempat berpapasan dengannya beberapa kali. Namun, ia selalu merasa
malu untuk bertanya perihal jilbab yang ia kenakan, namun ia tetap menyimpan
keinginan yang besar untuk memiliki jilbab yang sama. Hingga dalam sebuah
kesempatan shalat di Masjidil Haram, ia berdoa kepada Allah, semoga
dipertemukan kembali dengan muslimah Perancis itu, setidaknya ia bisa bertanya,
di mana wanita itu membeli jilbabnya.
Dan Allah mengabulkannya (bahkan melebihi yang ia pinta).
Saat ia berdoa, ternyata di
sampingnya sedang shalat pula si pemilik jilbab idaman itu. Singkat cerita,
atas takdir Allah, Muslimah Perancis itu akhirnya memberikan secara cuma-cuma jilbab
tersebut pada saudari saya ini. Masya
Allah...
Saya hanya tersenyum-senyum
mendengar cerita tersebut. Tapi, yang membuat saya tertegun kemudian adalah
perkataan saudari saya itu selanjutnya.
“Jika untuk permintaan seperti itu saja langsung Allah kabulkan,
apalagi permintaan yang lebih penting lagi, ukhti!” sahutnya dengan
bersemangat.
Ingatan saya langsung terbang
kepada untaian doa yang saya titipkan padanya, menjelang keberangkatan umrah.
Doa yang saya yakin telah ia panjatkan di tempat-tempat mustajabah di Makkah
dan Madinah. Ya, maka untuk doa-doa
tersebut pun, saya yakin Allah akan mengabulkannya, dalam bentuk yang terbaik
yang patut saya terima.
Apakah ada doa yang selalu kamu panjatkan, namun belum terkabul hingga sekarang?
Diantara doa-doa itu kita tetap
menjalani hidup, menyaksikan waktu terus berlalu, bergelut dengan kegiatan
sehari-hari yang selalu memiliki tenggat waktu. Bahkan, mengatur jadwal-jadwal
sehari-hari pun tidak jarang berdasarkan tenggat waktu tersebut. Namun,
bukankah sebagai seorang hamba, kita harus tahu diri untuk tidak memberikan
Allah ‘deadline’ dalam mengabulkan
doa kita? Ya, sebab Allah yang paling tahu kapan saat yang paling tepat untuk
doa itu dikabulkan, pun dalam bentuk apa ia akan diijabah. Tugas kita, hanyalah
yakin dan berbaik sangka
“Berdoalah kalian kepada-Ku
niscaya Aku akan mengabulkan permohonan kalian.” ( QS. Al Mu'min: 60).
Apakah ada ujian yang selalu ditimpakan padamu, dan ia datang berkali-kali?
Seorang saudari yang lain
menasihatkan, bahwa jika ujian yang sama menimpa, maka kemungkinan karena kita
belum sempurna melewatinya dalam kesempatan sebelumnya. Maka jalanilah saja
terus, berusahalah saja terus, meski mungkin tidak mudah. Tugas kita, hanyalah
yakin dan berbaik sangka.
Tentu bukan tanpa sebab, jika
kemudian sejarah mencatat sirah tentang Perang Badar yang fenomenal itu. Dan di
sana, Rasulullah Shallalahu ‘alahi
wasallam mencontohkan, bagaimana keyakinan yang kuat, baik sangka yang tinggi
kepada Allah, menjadi satu hal yang sangat penting dalam kemenangan. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam, dengan
kecerdasan analisis perangnya tahu, bahwa pasukan Islam yang berjumlah sedikit,
tentu secara teoritis agak sulit
mengidamkan kemenangan menghadapi kafir Quraysy yang berjumlah berkali lipat
itu. Namun selalu, teori, hapalan, dan kecerdasaan otak, bukanlah pertimbangan
utama dalam memilih sebuah langkah. Justru dalam banyak hal, keyakinanlah yang
membuat kita akhirnya memulai. Because,
sometimes we win, we just need to fight. Dan semangat untuk memulai
perjuangan, bermula dari sebuah keyakinan.
“Alif laam miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: ‘Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka. Maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS. Al-’Ankabut: 1-3)
Maka antara doa, ujian, dan impian,
terkadang saling kait-mengait dalam kehidupan kita. Betapa beruntungnya kita
dianugrahkan orang-orang yang dari mereka kita bisa mengambil ilmu, sesederhana
apapun kisah yang mereka ceritakan. Betapa beruntungnya kita ditakdirkan untuk
menyusuri perjalanan kehidupan ini, dengan sungai-sungai bening yang siap kita
ciduk airnya kapan saja, memberikan lagi kesegaran pada jiwa kita yang
terkadang ditimpa musim kering. Bagi saya, sungai-sungai bening itu adalah
saudari-saudari di jalan Allah, yang bisa mengingatkan kita kapan saja.
Dan menjadi lucu –dan mengharukan
rasanya, saat musim kering itu datang, lalu kita membaca kembali apa yang
pernah kita tuliskan, atau diingatkan oleh orang lain tentang apa yang telah
kita tuliskan. Lalu ternyata, justru di sana kita menemukan jawaban dan
pencerahan, atas apa yang sedang kita alami. Sebab, hidup ini begitu berwarna,
segala hal datang silih berganti. Bukankah telah dikabarkan bahwa keimanan itu
akan naik dan turun? Maka saat ia sedang menukik menuju puncaknya, betapa
beruntungnya jika kita dapat merekam jejak dengan ‘mengabadikannya’ lewat
tulisan. Kita tidak tahu, siapa nanti yang akan mendapatkan manfaat dari
hal-hal baik yang tertuliskan tersebut. Bahkan bisa jadi –dan sudah seharusnya,
yang mendapatkan manfaat pertamakali adalah yang menuliskannya sendiri. Baik
saat ia mulai menuliskannya, atau saat selesai menuliskannya, atau pada masa
dimana kita menjadi orang yang paling membutuhkannya. Dan ya, sungai-sungai
bening itu juga nampaknya adalah tulisan-tulisan, yang bisa menasihatkan
kebaikan.
Keyakinan bahwa Allah saja yang
paling tahu yang terbaik bagi diri kita-lah, yang semoga selalu menuntun kita
pada setiap sangkaan baik atas takdirNya. Yang selalu membuat kita merasa hidup
dalam kedamaian sebagai seorang hamba. Sebab terkadang, apa yang kita inginkan –mimpi,
kebebasan, rencana-rencana masa depan, apapun itu!, bisa saja bukanlah sesuatu
yang kita butuhkan.
Pada titik tersebut, saya merasa
perlu untuk (membersihkan papan tulis di kamar) lalu menuliskan sebuah kutipan,
yang saya kutip dari tulisan saudari saya yang manis, yang ia pun kutip dari
suatu tempat. Semoga kini, esok, dan
nanti, kita dapat terus yakin, terus berbaik sangka.
![]() |
eventhough, sometimes being free means choosing not to go, but to stay |
Tulisan ini untuk seseorang yang menasihatkan saya agar mengejar
syurga. Dan untuk putri cahaya yang manis. Ukhti Agustina dan Ukhti Nurmayanti
Zain. Terima kasih sudah menjadi sungai yang bening.
Makassar, 18 April 2013
Masya Allah... Tabaarakallahu Ta'ala... Tak ada kata yang bisa terucap saat ini. Tahu alasannya? Sederhana, karena kata yang tak sempat terucap biasanya tersimpan dalam air mata :) Ukhtayya, uhibbukifillah <3 barakallahu fiik...
BalasHapusAhabbakilladzi ahbab tanii lahu.. wa fiik barakallah :)
Hapus