
Jika kau bertanya, apa kejadian yang paling tidak terlupakan di akhir tahun, di bulan Desember, maka saya akan menceritakan tentang hal itu. Tentang sebuah kejadian di sebuah pagi pada dua puluh enam Desember dua ribu empat yang lampau. Saat itu saya masih duduk di bangku SMP, sepertinya. Kabar beritanya pun sebenarnya baru saya dengar beberapa hari setelah petaka itu terjadi. Namun, hal itu tidak pula mengurangi kesan yang selalu muncul setiap tanggal itu berulang. Saya mengingat Aceh, dan Tsunami yang pernah menerjangnya.
Itu mungkin menjadi bencana alam yang paling dahsyat yang pernah kita saksikan. Saat berbagai macam material; mobil, pohon, kayu-kayu besar, bahkan rumah yang kokoh ikut terhanyutkan dalam kerasnya arus air yang terjadi. Ya, air yang dalam kondisi normal mungkin menjadi hal yang tidak terlalu mendapat perhatian kita. Namun hari itu, kita dapat dengan terbelalak menyaksikan, bagaimana jika kuasa Allah telah terjadi. Maka, berjatuhanlah korban jiwa hingga ratusan ribu nyawa. Seketika, anak kehilangan orangtuanya, ibu kehilangan anaknya, dan mungkin, sebuah generasi telah lenyap seketika.
Saya, mungkin tidak punya koneksi apapun dengan tanah serambi Makkah, kecuali karena nama depan saya yang mirip-mirip dengan pahlawan wanita dari tanah Aceh itu; Cut Nyak Dien. Tapi, entah mengapa saya selalu merasa terenyuh jika kembali diingatkan tentang kejadian itu. Dan pada masa tersebut, saya selalu menghabiskan hari sepulang sekolah dengan menyaksikan tayangan MetroTV yang memang paling sering memberikan informasi terbaru tentang bencana tersebut.

Setahun kemudian, dalam sebuah event Penulis Masuk Sekolah, sekelompok penulis menghadiahkan saya sebuah buku; Aceh Dukaku, Sebuah Tanda Kabung. Bersama ketiga buku luar biasa lainnya, beliau-beliau memberikan buku yang begitu menyentuh tersebut, setelah saya menuliskan dan membacakan puisi di hadapan mereka. Ya, Aceh Dukaku memuat beberapa puisi dan esai yang memotret keadaan Tsunami Aceh; kegetiran, kesedihan, kehilangan, bahkan secercah harapan yang masih tersisa.
Kisah Seorang Penjual Kafan
Oleh: M. Aan Mansyur
Tidak seperti di kiri dan di kanan
Tokonya selalu sepi pelanggan
Meski ia juga menjual kain
Seperti toko-toko yang lain
Kalau ada orang yang mati
Apalagi penguasa yang suka korupsi
Ia sungguh bersenang hati
Sebab kainnya laku dibeli
Begitulah dari jaman ke jaman
Ia hanya berjualan kain kafan
Agar hidupnya bisa terus berjalan
Dan anak istrinya bisa makan
Semalam ia lihat dari tv disiarkan
Di Aceh sebuah musibah datang
Dimana-mana mayat berserakan
Mengiris hati, sungguh menyedihkan
Ia menangis, dan berucap pelan,
“Sungguh, itu bukan doaku, Tuhan!”
(Aceh Dukaku, pg. 144)
Saya juga selalu ingat peristiwa ini :(
BalasHapusselalu bayangkan bagaimana klo ada k' di posisi mereka saat itu :(
Sudah baca bukunya tere liye yg hafalan shalat delisa? klo belum, bacami. atau sekalian pergi ke bioskop nntn filmnya..sedikit banyak bercerita tntang peristiwa ini.
*eh, atau jgn2 sudah mi kita baca bukunya n tonton filmnya ;D
@MamaRani: Belum baca novelnya pun nonton filmnya, dek. Kayaknya cuma bakal tunggu sampai ditayangkan di tipi :p
BalasHapus