
Jaim adalah sebuah istilah yang menunjukkan seseorang yang suka ‘jaga imej’, ‘rasa bahasa’nya kemudian menjadi negatif karena seringkali disandingkan dengan hal-hal yang fake –palsu, menipu, dan tidak alami. Orang jaim terkadang dinilai tidak menjadi dirinya sendiri. Bahkan, dalam taraf ekstrem, mereka sering disamakan dengan ‘munafik’. Padahal, ancaman untuk menafikin itu sangat mengerikan, tidak tanggung-tanggung: neraka Janannam!
Saya pun dulu berpikiran demikian. Namun kemudian, pemikiran itu kemudian berubah, di suatu hari bertahun yang lalu, saat saya masih mengenakan sehelai kain kecil sebagai penutup kepala. Dan malu-malu mengikuti musyawarah pertama di rohis sekolah semasa SMA. Masih dengan tampang polos tidak tahu apa-apa, sepanjang pengarahan awal diberikan oleh seorang kakak, saya tertunduk. Sok hikmat. Tapi, ada satu perkataan beliau yang hingga saat ini tidak akan bisa saya lupakan. Di masa selanjutnya, ia menjadi semacam pegangan yang sangat berarti bagi saya. Menjadi rem saat saya terlupa dan berjalan terlalu jauh dari ‘lingkaran’.
“Mulai sekarang,” ucapnya dengan suara lembut. Menatap kami satu-persatu, anggota-anggota baru yang akan dipimpinnya dalam sebuah departemen kecil di rohis itu. “Diena yang duduk di hadapan saya, bukan lagi Diena saja.” Lanjutnya. Saya yang sebelumnya menunduk, kemudian mengangkat pandangan. Mendapati dua bola mata yang memandang kami dengan lembut. Nampak berusaha untuk menjelaskan semuanya dengan perlahan.
“Diena, misalnya. Bukan lagi sekadar Diena saja. Orang-orang di luar sana akan mengikutkan embel-embel ‘rohis’, remaja mushalla, dibelakang nama ukhti.” Ia menarik napas panjang. “Jadi, kita semua, tidak boleh egois dengan menganggap bahwa segala hal yang kita kerjakan HANYA akan berimbas pada diri kita sendiri. Sebab, kita telah mewakili komunitas kita. Jika kita berbuat salah, orang di luar sana juga akan menganggap bahwa saudari-saudari kita yang lain, yang berpenampilan sama seperti kita, juga sama buruknya dengan kita.”, ujarnya. “Tapi, bukankah sebenarnya tidak semuanya seperti itu khan?” tanyanya. Kami mengangguk
“Orang-orang akan pukul rata yah, Kak?” tanya saya.
Kakak tadi tersenyum sambil mengangguk. “Ya, karena itu, kita harus berhati-hati dalam bersikap. Boleh dibilang, kita harus jaga imej. Bukan imej kita pribadi. Tapi imej muslimah-muslimah lain yang terwakilkan dengan diri kita.”, lanjutnya.
Saya terpana. Dan tetap akan terpana jika kembali mengulang kejadian itu hingga kini. Nasihat itu telah banyak membuka mata saya, betapa bahayanya jika kita tidak ‘jaim’. Artinya, kita dengan mudah melakukan sesuatu ‘suka-suka gue’, tanpa pernah berpikir bahwa mungkin saja, kesalahan kita hari ini, akan menghambat dakwah saudari kita yang lain di kemudian hari. Bahkan, bisa saja menjadi legitimasi oleh SEMUA ORANG untuk melakukan hal yang sama. Mereka akan berdalih, “Si ‘ukhti’ saja boleh begitu, kok kita tidak?”. Nah! Berabe khan!
Tulisan ini merasa perlu saya share setelah membaca status seorang senior yang bingung melihat sebuah fenomena yang ia saksikan, lalu kebingungannya itu ia ungkapkan dalam sebuah kalimat sederhana, tapi menghentak saya; Katanya dalam Islam tidak ada pacaran, tapi kenapa itu akhi-ukhti malah pacaran? Juga saat di suatu sore seorang adik bercerita pada saya tentang sebuah kesalahan yang memalukan, dilakukan oleh seorang jilbaber dan seorang pemuda yang berpenampilan alim. “Yang perempuan pakai jilbab kayak kakak, yang laki-laki juga gayanya kayak ikhwan-ikhwan, Kak.. Tapi kenapa mereka begitu?” tanyanya dengan tatapan bingung pada saya. Sepersekian detik saya menghembuskan napas. Terjadi lagi. Gumam saya dalam hati. Lalu saya mencoba buka suara,
“Dek, betapa banyak saat ini orang-orang yang terperangkap dalam tubuhnya sendiri”, saya, mencoba menatap berpasang mata adik-adik yang dipenuhi rasa ingin tahu. Berharap apa yang saya sampaikan akan sampai di pikiran. Sampai di hati mereka. “Mereka itu, pernah berilmu, namun kemudian lupa bahwa keimanan itu perlu terus di upgrade karena ia bersifat dinamis. Menurun dengan maksiat, dan bertambah dengan ketaatan. Saat mereka berada di posisi ‘turun’ mereka merasa tidak dapat mengubah penampilannya lagi. Mungkin, karena faktor masih adanya rasa malu, atau faktor lainnya. Dan mereka pun terperangkap. Penampilannya masih akhwat-ikhwan, tapi mindsetnya mungkin sudah beda. Dan mereka itu butuh didoakan, bukan hanya sekadar disalahkan. Mereka itu hanya oknum, dan tidak semua yang berpakaian yang sama dengan mereka juga melakukan hal demikian.”, ujar saya panjang lebar.
Adik-adik itu nampak mengangguk. Dan hati saya masih terus menderu, dan kembali tersadar betapa mahalnya harga hidayah. Betapa mahalnya sebuah kesadaran untuk tampil baik, bukan untuk mengundang rasa kagum orang lain. Tapi semata-mata sebagai wujud pencitraan kita terhadap komunitas kita, lebih luas lagi, terhadap agama kita.
Ustadz Dr. Syafi’ie Antonio, seorang pakar ekonomi syari’ah yang juga muallaf dari kepercayaan Kong Hu Chu, hingga saat ini masih terus berusaha mengajak ayahnya masuk Islam. Sebab ayahnya mempersyaratkan, baru akan masuk Islam, jika ummat Islam itu bisa menjaga kebersihan mereka. See it? Ini semua masalah pencitraan. Terserahlah, apakah kita merasa bahwa kita nyaman dengan keadaan kita sendiri, seburuk apapun itu. Tapi lihatlah, mungkin saja karena kesalahan ‘kecil’ kita, ada orang lain yang akan terhalang dari hidayah Allah; karena kita. Naudzubillah.
Maka biarkan jaim=jaga imej tetap terpelihara bagi diri kita. Sekali lagi, bukan untuk pribadi kita sendiri. Bukan untuk menipu dengan kebohongan agar nampak ‘wah’ dari sisi packaging-nya, namun ternyata busuk di bagian dalamnya. Bukan. Tapi untuk mengembalikan kembali citra. Bukan citra siapa-siapa, tapi citra ISLAM. Agama kita.
__________________________________________________________________
“Kak, bukankah itu berat? Jaga imej itu, hanya menjadi beban bagi diri kita sendiri!” tanya saya, dibarengi semacam protes.
Kakak tadi mengangguk takzim. Seolah sangat paham bahwa pertanyaan itu akan keluar dari bibir saya. “Berat, dek. Tapi bukankah ia menjadi pengingat? Awalnya mungkin kita terpaksa, merasa bertopeng dan sedang akting belaka. Tapi semoga, ia menjadi semacam pembelajaran, pembiasaan. Dakwah kita, bagi diri kita sendiri. Setelah terpaksa, berusaha membiasakan, semoga kita suatu saat dapat membuka topeng itu, lalu mendapati wajah kita ternyata jauh lebih indah dari topeng yang kita pancangkan. Insya Allah.”, jawabnya. Saya mengangguk.
“Berdoalah, agar dimudahkan.”, tutupnya.
(Di sini, langitnya terlihat jelas sekali. Senjanya telah menguning. Indah. 24 April 2011)
gambar: devianart.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)